Beras OP di Lumbung Spekulan, di Pasaran Jadi Oplosan

Pemerintah dan Pedagang Saling Tuding soal Penyebab Harga Naik

Minggu, 08 Maret 2015 – 11:16 WIB

jpnn.com - SEDIKITNYA 75 ribu ton beras operasi pasar yang digelontorkan Bulog lewat pedagang Pasar Induk Beras Cipinang sejak awal tahun menghilang dari pasaran. Harga beras pun membubung. Pemerintah menyebut itu ulah mafia.

Menteri Perdagangan (Mendag) Rachmat Gobel langsung mengerutkan keningnya saat menemukan beras operasi pasar (OP) Bulog dioplos dengan beras lain. Temuan itu muncul dalam inspeksi mendadak (sidak) di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC).

BACA JUGA: Tips Transaksi Aman Batu Akik ala Bos Bukalapak

Sementara dari sidak di beberapa gudang sekitar Jakarta, Mendag menemukan indikasi penimbunan beras OP Bulog. ”Itu ulah beberapa pedagang saja, yang saya sebut seperti mafia,” ujar sarjana ilmu perdagangan internasional Universitas Chuo, Jepang, itu Sabtu (7/3).

Seharusnya, papar Mendag, beras OP dari Bulog tersebut dijual langsung kepada masyarakat sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) yang ditentukan pemerintah. Bulog menjual beras OP kepada pedagang besar di pasar induk seharga Rp 6.800 per kilogram (kg).

BACA JUGA: Rupiah Jeblok, Investor Mulai Tunda Investasi

”Artinya, pedagang bisa mendapat keuntungan Rp 600 per kg jika menjual dengan harga Rp 7.400 per kg. Mereka mengoplos, terus dijual lagi pakai merek sendiri,” tutur dia.

Mendag juga menemukan bahwa puluhan ton beras OP Bulog masih disimpan di gudang milik pedagang besar di Penjaringan, Jakarta Utara. Dia langsung memerintahkan beras OP tersebut segera dilepas ke pasar. Sejak saat itulah, dia melarang Bulog menyalurkan beras OP kepada pedagang.

BACA JUGA: Dwi Tegaskan Pertamina Siap Kerjasama Kelola Blok Mahakam

”Saat itu saya melihat, penyaluran melalui Food Station (pengelola Pasar Induk Beras Cipinang, Red) tidak efektif,” kata dia. Namun, dalam rapat terbatas (ratas), Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) memerintahkan penyaluran beras untuk masyarakat miskin 300 ribu ton per bulan sekaligus membuka lagi OP melalui pedagang.

Jumlahnya mencapai 2 ribu ton per hari, sesuai dengan kekurangan pasokan beras harian di PIBC. JK juga membantah adanya mafia beras. ”Ada mafia atau tidak, yang pasti kami temukan ada indikasinya,” terang Mendag.

Pernyataan Mendag itu memicu protes keras pedagang beras. Ketua Umum Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Soetarto Alimoeso membantah adanya mafia beras. Yang ada hanyalah ulah sebagian pedagang besar maupun kecil yang menahan barang.

”Kalau pedagang spekulasi itu, dari lahirnya juga begitu. Oh, aku belinya seharga ini, caranya bagaimana supaya besok bisa untung. Jadi, tidak ada itu mafia,” ucap dia.

Pada musim paceklik seperti Januari–Februari, tutur Soetarto, pengusaha penggilingan padi atau pedagang besar berburu beras hingga berbagai daerah. Di mana ada petani yang panen, mereka langsung menawar saat itu juga. ”Pedagang-pedagang besar itu rebutan. Yang dari Jawa Timur ke Jawa Barat, yang dari Jawa Barat ke Jawa Tengah. Begitu dengar ada petani yang mau panen, antek-anteknya langsung meluncur,” sebut dia.

Dengan situasi seperti itu, petani mulai pasang harga kepada para pemburu beras. ”Siapa yang harganya lebih tinggi, baru dikasih. Itu sudah hukum ekonomi,” katanya.

Mantan Dirut Bulog tersebut menilai, rantai distribusi beras juga cukup panjang karena panen yang belum merata. Sebagai contoh, pedagang besar dari Lamongan, Jawa Timur, membeli gabah petani di Demak, Jawa Tengah, yang sedang panen. Gabah tersebut lantas diangkut ke Lamongan untuk digiling. Setelah jadi beras, baru dikirim ke Jakarta. ”Ongkosnya dobel, untuk biaya transportasi, kuli angkutnya, dan lain-lain,” katanya.

Karena harga beli di tingkat petani sudah mahal, menurut dia, wajar harga di tingkat pedagang daerah hingga pasar induk di Jakarta sangat tinggi. ”Di tingkat penggilingan padi, beras sudah dijual Rp 8.600 per kilogram. Dijual ke pasar induk, bisa jadi Rp 10 ribu per kilogram. Dijual lagi ke pedagang, ambil untungnya Rp 500–Rp 1.000 per kilogram. Jadi, wajar di konsumen mahal,” tutur dia.

Berbeda jika sudah memasuki masa panen raya pada Maret–April. Lahan padi yang panen bisa merata di setiap daerah. Dengan begitu, pengusaha penggilingan padi tidak perlu bergerilya hingga daerah-daerah. Cukup membeli gabah dari petani di daerahnya sendiri.

”Musim tanam dan panen itu antara Maret hingga Agustus. Musim paceklik itu mulai September hingga Februari. Jadi, kenaikan harga pasti rutin terjadi setiap tahun,” tambahnya.

Hanya, tahun ini kenaikan harganya relatif tinggi daripada biasanya, dari 10–15 persen menjadi 30 persen. Hal itu terjadi lantaran pemerintah tidak melakukan operasi pasar dan penyaluran beras untuk masyarakat miskin (raskin) pada November–Desember 2014.

”Beras OP dan raskin itu biasanya bisa menutupi 10 persen kebutuhan beras nasional. Tapi, karena tahun lalu tidak ada dan awal tahun ada tapi sedikit, ya harga otomatis naik,” ungkapnya.

Soetarto justru menyayangkan rencana pemerintah yang hendak menyetop penyaluran raskin tahun ini. Sebab, peran Bulog adalah menyeimbangkan pasar supaya pasokan dan permintaan terjaga.

”Kalau kebutuhan pasarnya dua ribu ton per hari, ya gelontorkan saja segitu. Kalau 60 hari (Januari–Februari), kan hanya 120 ribu ton. Sedangkan stok beras Bulog 1,4 juta ton. Kenapa mesti takut-takut?” tanya dia.

Dia mengatakan, saat dirinya menjadi Dirut Bulog, gejolak harga saat paceklik bisa diredam dengan OP besar-besaran serta penyaluran raskin. Menurut dia, tidak ada gunanya pemerintah gembar-gembor bahwa stok Bulog sangat banyak, tapi tidak digelontorkan ke pasar.

”Zaman saya dulu, kalau ditanya akan operasi pasar berapa, saya jawab sebanyak-banyaknya. Bukan hanya gertak sambal ke pedagang,” sambungnya. Menurut dia, pedagang tidak mungkin menahan barang jika pemerintah menggelontorkan beras OP dan raskin sesuai dengan kebutuhan pasar.(wir/ken/dim/res/c11/sof)
 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tarif Listrik Belum Naik hingga Tiga Bulan ke Depan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler