Berawal dari Teliti Gorila, hingga Diprediksi jadi Presiden

Kamis, 30 Juni 2011 – 22:19 WIB
Pria ini dianggap sebagai sosok di balik revolusi di sejumlah negara Timur TengahDia juga merupakan figur termuda di jajaran perencana politik di sekretariat negara AS dan digadang-gadang menjadi tokoh besar dunia pada masa depan

BACA JUGA: Prancis Suplai Senjata untuk Pemberontak Libya

Dialah Jared Cohen, sosok utama konferensi anti ekstremisme di Dublin.


Laporan KARDONO S., Rep Irlandia

SEBUAH e-mail datang ke akun Jack Dorsey pada Juni 2009
Pendiri dan chairman Twitter itu terhenyak

BACA JUGA: Indonesia Juara Konsep Kampanye

E-mail yang datang dari karibnya, Jared Cohen, tersebut berisi pertanyaan: Sadarkah bahwa Twitter kini mempunyai peran penting di panggung internasional?

Sebab, saat itu terjadi demonstrasi yang meluas pasca pemilu di Iran yang memenangkan Presiden Mahmoud Ahmadinejad secara kontroversial
Sementara itu, kandidat oposisi, Mir Hossein Mousavi, yang didukung kaum muda Iran menggunakan Twitter untuk mengungkapkan perkembangannya.

Secara bersamaan, Twitter tengah meng-upgrade situsnya, sehingga jejaring sosial berbentuk microblogging tersebut akan tutup sementara

BACA JUGA: Taliban Serbu Hotel, 19 Tewas

"Apa yang terjadi jika Twitter diam saja di tengah-tengah hari yang bergejolak itu?" kata Cohen kepada Jawa Pos mengenang masa itu.

Padahal, saat itu situs yang hanya bisa menyampaikan pesan 140 karakter atau kurang tersebut menjadi satu-satunya corongTelepon seluler diblokir dan sebagian besar saluran internet putus"But the prospect chilled the dissidents leaders (prospek tutupnya Twitter untuk sementara bisa membuat grogi para pemimpin demo, Red)," paparnya.

Akhirnya, Dorsey setuju untuk menunda penutupan situsnya dan dunia pun mengetahui perkembangan yang terjadi di Iran tiap detikPemerintah Iran sempat memprotes upaya itu dan menyebutnya sebagai bentuk intervensi.

Namun, pemerintah AS membela CohenMereka menyatakan tak ada yang salah pada tindakan staf perencana politik di sekretariat negara (State Department) AS itu"Kami tidak mengintervensiNamun, apa yang dilakukan Cohen sejalan dengan kebijakan nasional kamiYakni, membela kebebasan berpendapat dan berekspresi." Demikian pernyataan resmi pemerintah AS saat itu.

Saking terkenalnya peristiwa tersebut, CNN bahkan menyebutnya sebagai Top 10 Internet Moment selama satu dekade, sekelas dengan peluncuran Facebook dan iPhoneNamun, gaungnya tidak hanya di dunia internetNama Cohen sekaligus meroket sebagai tokoh muda baru yang sangat cemerlang.

Karena itu, kemudian penggunaan teknologi berbasis internet menjadi senjata baru politik luar negeri di Foggy Bottom (metonim untuk sekretariat negara AS)Sekarang saja, Sekretaris Negara AS Hillary Rodham Clinton mengungkapkan bahwa penggunaan teknologi oleh pihaknya merupakan 21st Century Statecraft, bahtera resmi negara abad ke-21.

Tapi, sosok Cohen memang luar biasa sejak awalBerdarah Amerika-Yahudi, ayah Cohen adalah seorang dokter keluarga dan ibunya mantan ilustrator buku yang kemudian menjadi agen realestatNamun, keduanya merupakan kolektor yang gigihRumahnya penuh memorabilia politik dan benda-benda seni etnik dari seluruh dunia.

"It is a house that makes you develop idiosyncrasies (itu adalah rumah yang membuat Anda menjadi aneh sekaligus istimewa, Red)," ungkap Cohen mengenang rumahnya.

Namun, darah neneknya membuat dirinya gemar bertualangSaat kecil, neneknya bercerita tentang serangkaian perjalanan ke Kuba sebelum Castro berkuasa dan Iran mengalami revolusiCerita-cerita itu begitu memesona CohenAkhirnya, saat SMA, dia memutuskan untuk pergi ke AfrikaKarena kesulitan komunikasi, dirinya meminta orang tuanya memberikan les pelajaran bahasa Swahili, sebuah bahasa yang digunakan banyak bangsa di Afrika.

Cohen kemudian berkuliah di Stanford UniversityDia meneliti budaya Suku Masai di KenyaSetelah penelitian, dia pergi ke RwandaKali ini penelitian dilakukan untuk mencari jejak gorilaTapi, Cohen memang tak bisa jauh-jauh dari politikKetika tengah meneliti gorila, dia malah terjebak dalam konflik genosida, yakni etnis Hutu membantai habis orang Tutsi pada 1994Dia berhasil lolos dengan menumpang truk pisang yang mengantarkannya ke Kongo.

Di dekat perbatasan Kongo, Cohen sempat melakukan wawancara panjang dengan tiga serdadu etnis HutuKonflik genosida Rwanda itulah yang menjadi bahan tesisnyaTesis tersebut kemudian menjadi buku pertama Cohen yang berjudul One Hundred Days of Silence: America and the Rwanda GenocideItu sekaligus merupakan kritik dirinya terhadap AS dan dunia yang terkesan diam saja melihat pembantaian sekitar 800 ribu orang Tutsi di Rwanda.

Pada 2005, dalam masa kuliahnya di Oxford, Cohen pergi ke Iran untuk mewawancarai para oposan politik guna melengkapi tulisannya mengenai hubungan AS dengan Timur Tengah pasca 9/11Namun, minatnya yang sebelumnya adalah politik murni bergeser ke sesuatu yang baru, yakni jejaring sosial di kaum mudaDia mengamati bahwa kaum muda di Iran berbeda jauh dari stereotip Barat yang menganggap penuh kemarahan, kekejaman, dan fanatik.

Sebaliknya, kamu muda Iran sangat tertarik pada kebudayaan Barat dan merasa jengah dengan rezim yang adaKarena itu, kaum muda Iran pun menjadi pengguna internet yang masifHal itulah yang kemudian membuat Cohen percaya bahwa teknologi bisa menjadi kendaraan bagi pemerintah AS untuk menemukan persamaan ide di negara-negara yang dianggap "berbeda".

Penelitian itu kemudian menjadi buku kedua Cohen, Children of JihadDalam buku tersebut, dia menyatakan bahwa kaum muda Islam sebenarnya tak terlalu dogmatis dan bersedia melihat konsep-konsep BaratJuga, populasi orang berusia kurang dari 30 tahun menjadi mayoritas di dunia muslimCohen percaya penggunaan teknologi akan mampu menjauhkan kaum muda itu dari radikalisme.

Dia kemudian menulis laporan tersebut ke WashingtonSekretaris negara saat itu, Condoleezza Rice, menyebut laporan tersebut sebagai salah satu laporan terbaik yang pernah dia terimaSaat itu, Rice langsung resmi menarik Cohen ke dalam jajarannyaDia pun menjadi staf politik termuda dalam sejarah AS (saat itu 24 tahun)Tugasnya jelas, yakni berfokus menemukan cara untuk mengarahkan kaum muda seluruh dunia menjauh dari dunia kekerasan dan ekstremisme, apa pun bentuknya.

Hal tersebut sangat menguntungkan pemerintah ASMedia sosial bisa mengerjakan tugas utama politik luar negeri AS tanpa pemerintah negeri itu resmi terlibat di dalamnya"Dengan teknologi, Anda tak perlu bercerita kepada banyak orang mengenai hebatnya ide-ide AndaCukup hubungkan orang-orang dan selanjutnya mereka sendiri akan mengetahuinya," papar Cohen.

Karena itu, sekretaris negara AS hanya perlu mendukung LSM-LSM agar 31 persen penduduk dunia yang akses internetnya masih terblokir rezim yang ketat lebih giat berjuangDengan demikian, para aktivis pemberani itu bisa menyuarakan suaranya melalui gadget tercanggihMinimal bisa menggunakan tiga jejaring sosial yang ternama, Facebook, YouTube, dan Twitter.

"Sekarang Anda mengetahui apa yang terjadi di Syria melalui courtesy YouTube kan," ujar Cohen, otak di balik diplomasi digital pemerintah AS saat ini.

Semua tokoh besar kini pun melirik sosok Cohen dan kiprahnya di duniaHingga akhirnya, Google membuat sebuah anak perusahaan baru bernama Google Ideas pada Oktober 2010Konsep besarnya adalah membuat pemikiran baru dan melakukan banyak hal untuk membuat dunia lebih baikCohen diangkat sebagai direkturnya.

Itu merupakan langkah besar bagi keduanyaBagi Google, sebuah perusahaan internet dengan tujuan bisnis murni beralih menjadi perusahaan sebagai agen perubahanBagi Cohen, hal itu mempermudah untuk mewujudkan visinyaSalah satunya, membuat konferensi melawan kekerasan ekstremisme (summit against violent extremism) di Dublin, 26-29 Juni lalu, yang dihadiri lebih dari 200 tokoh "mulai mantan anggota geng, ekstremis Islam, survivor aksi terorisme, serta para peneliti" untuk merumuskan gerakan dan menjadikannya lebih bergaung.

"He's extraordinaryAnd also young and bright (dia luar biasaJuga, masih muda dan masa depannya cerah, Red)," kata Eric Schmidt, chairman Google.

Banyak orang AS yang kini mulai menyebut Cohen sebagai presiden AS masa depan"Jika memang iya, saya akan mendukungnyaDia luar biasa," ungkap T.JLeyden, mantan pemimpin skinhead, geng Neo-Nazi di AS.

Cohen memang sosok yang out of the boxAwal 2010, dia dikirim ke Kongo oleh Hillary ClintonTujuannya, meneliti apakah metode-metode berdasar penggunaan teknologi canggih bisa mengurangi dan mencegah kekerasan seksual terhadap perempuanKetika di Kongo, Cohen berada dalam iring-iringan mobil untuk bertemu sejumlah audiensi wakil dari AS dan InggrisTapi, mendadak dia meloncat keluar dari iring-iringan tersebut.

"Tanpa meremehkan audiensi yang disiapkan, tapi saya rasa saya sulit untuk mengetahui apa yang terjadi sesungguhnya," tuturnya.

Karena itu, dia pun masuk ke mobil polisi dan menghabiskan waktu sepanjang malam berbicara dengan polisi Kongo yang dikenal korup itu dengan bahasa Swahili"Saya ingin tahu apa yang menjadi penyebab polisi-polisi Kongo kurang maksimal dalam pengamanan terhadap perempuan," tuturnya.

Tampaknya, para polisi di sana jarang mendapat gaji tepat waktuBahkan, gajinya pun kadang tak penuh serta minim mendapat insentifAkhirnya, sekretaris negara AS bersama pemerintah Kongo merumuskan sebuah sistem pembayaran polisi melalui handphone"Yang saya dengar sekarang, kabarnya angka kekerasan perempuan di Kongo menurun," papar pria yang bisa menyebutkan urutan siapa saja presiden dan wakil presiden AS secara terbalik tersebut.

Mengembangkan jaringan sosial, terhubung ke banyak orang, adalah kata kunci Cohen"Saya adalah petualang kapitalis dan mata uang saya adalah kontak-kontak orangIt is amazing what you can get, who you can meet with, if you just ask (Sangat menakjubkan untuk tahu apa yang Anda dapat, siapa yang bisa Anda temui, hanya cukup dengan memintanya, Red)," ungkapnya.

Cohen percaya, semakin besar jaringan seseorang, semakin besar pula perubahan yang bisa diciptakan"Dari mana saja saya mendapat kontak teman-teman di dunia silicon valley (kiblat IT dunia, Red)? Saya hanya tinggal angkat telepon," ucapnya.

Saking luasnya jaringannya, dia juga dikenal dekat dengan para selebritiDia berteman akrab dengan Whoopi Goldberg dan bersama-sama menjadi pemprakarsa konser amal untuk korban gempa HaitiCohen juga menjadi juri di Tribeca Film Festival dan pada 2010 bersama Aston Kutcher pergi ke Rusia untuk bertemu orang muda di sana.

Dalam Twitter-nya pada 28 Juni lalu, dia menulis: "Did u ever think the former president of colombia, 3 former violent extremists, & a former hostage would all sit on a panel together" #ave." Dulu, sulit membayangkan mantan presiden Kolombia yang bapaknya dibunuh FARC, tiga tokoh FARC, dan korban FARC bisa bertemu serta duduk bersama, saling menghormati dan membahas apa yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasanTapi, itulah kerja Jared Cohen(*/c5/iro)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sang Paus pun Kini Main Twitter


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler