Berbalas Serangan sampai Culik-culikan

Minggu, 30 September 2012 – 18:12 WIB
Foto: Dok.JPNN
DINAS Pendidikan Kota Bogor jangan sampai lengah karena sibuk mengurusi tawuran SMK swasta. Kenapa? Karena perseteruan turun-temurun antara SMA Negeri (SMAN) 6 Bogor dan SMAN 7 Bogor ibarat bom waktu. Pasukan ‘putih abu-abu’ dari dua sekolah negeri itu sudah lazim berbalas serangan dan saling culik.
-----------------
LAPORAN: JULVAHMI
-----------------
Perseteruan turun-temurun, seperti SMAN 6 Jakarta dan SMAN 70 Jakarta bukan hanya terjadi di ibu kota. SMAN 6 Bogor dan SMAN 7 Bogor pun punya cerita serupa. Sudah tak terhitung berapa korban luka-luka akibat tawuran antara dua sekolah tersebut.

Eddy (nama samaran), salah seorang pelajar dari SMAN 7 Bogor menjabarkan sebuah pengalamannya dari serangkaian tawuran. Kepada Radar Bogor, pelajar kelas 12 itu bercerita santai, sesekali tertawa karena tergelitik saat mengingat beberapa kejadian.

“Entah sejak kapan, saya juga tidak tahu. Yang jelas, SMAN 6 sama SMAN 7 musuhan, sudah banyak tawuran terjadi, terakhir minggu lalu di sekitar persimpangan Warung Jambu,” kata Eddy saat ditanya sudah berapa lama pelajar dari dua SMAN itu berseteru. 

Menurut Eddy, setiap angkatan punya alasan sendiri untuk saling serang. Tapi intinya satu, atas nama setia kawan dan solidaritas para pasukan ‘putih abu-abu’. “Jadi begini, sering banget ada korban luka-luka, termasuk dibacok. Malah ada pelajar sampe koma karena tawuran, kami sebagai teman enggak bisa tinggal diam,” terangnya bersemangat.

Pemuda 18 tahun itu mengatakan, dirinya pernah menjadi korban pengeroyokan saat hendak menyelamatkan teman seperjuangannya. “Teman saya diculik di jalan, saat mau menyelamatkan, eh malah saya dipukuli oleh pelajar dan alumni SMAN 6,” ujarnya.

Tradisi saling balas tak terhindarkan, beragam kejadian, dari mulai penculikan, pemalakan hingga berebut tongkrongan tak terelakkan saat pelajar dari SMAN 6 Bogor dan SMAN 7 Bogor berpapasan. “Biasanya Kamis, kami berusaha lebih dulu untuk nongkrong di sekitar Kejaksaan (Jalan Djuanda). Nah, saat nongkrong itu adik kelas diajak dan diceritakan tentang kejadian-kejadian selama ini,” tutur Eddy.

Ada rasa bangga saat Eddy menceritakan pengalamannya. Setiap adegan tawuran di jalanan masih begitu berbekas di benaknya. Bisa jadi daya ingatnya lebih tinggi saat diminta untuk bercerita tentang tawuran, ketimbang soal mata pelajaran.

Bagaimana dengan sekolah, apa para guru tidak tahu? “Mereka sibuk dengan target-target nilai yang dibebankan pada kami, makanya kami mencari ruang ekspresi di luar sekolah. Soal tahu atau tidak, selama ini kami kucing-kucingan,” jawab Eddy, lugas.

Eddy menilai, ancaman untuk memberikan tindakan tegas kepada pelajar pelaku tawuran kurang ampuh, selama pelajar tidak mendapat ruang berekspresi cukup ndi sekolah. “Kalaupun dikeluarkan, malah pelajar itu bisa lebih leluasa memprovokasi dari luar sekolah. Jadi tidak menyelesaikan masalah. Apalagi, kalau sudah sakit hati,” tandasnya, menutup pembicaraan.

Tampaknya, pemangku kebijakan pendidikan harus benar-benar bijak. Apakah para pelajar lebih layak ditempatkan sebagai pelaku kekerasan, atau korban dari sebuah sistem pendidikan yang masih belum mesra menyentuh sudut emosional para anak didiknya. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menelusuri Jejak Sejarah Perkembangan Islam di Negeri Komunis Tiongkok (2-habis)

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler