Berdarah Madura, Kiai Ma'ruf Punya Nasab Ulama dan Umara

Jumat, 19 Oktober 2018 – 20:56 WIB
KH Ma'ruf Amin menerima pedang terbungkus dari pengasuh Pondok Pesantren Hidayatulloh Al-Muhajirin di Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, Bangkalan, Jumat (19/10). Foto: TKN Jokowi-Ma'ruf

jpnn.com, BANGKALAN - Calon Wakil Presiden (Cawapres) Kh Ma’ruf Amin mengunjungi Kabupaten Bangkalan di Pulau Madura, Jawa Timur, Jumat (19/10). Salah satu lokasi yang dikunjungi cawapres pendamping Joko Widodo itu adalah Pondok Pesantren Hidayatulloh Al-Muhajirin di Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, Bangkalan.

Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) Masduki Baidlowi yang mendampingi Kiai Ma’ruf mengatakan, lawatan tokoh kelahiran 11 Maret 1943 itu di Bangkalan membawa tiga pesan penting. Yang pertama, kata Masduki, ulama yang akrab disapa dengan panggilan Abah itu menelusuri leluhurnya.

BACA JUGA: Kickoff Cabor Sepak Bola Tandai Start Gala Desa di Bangkalan

“Abah bersilaturahmi untuk mencari akar dan asal usul nasab. Intinya, beliau ingin menyambung silaturahmi,” ujar Masduki.

Menurut Masduki, ketua umum nonaktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu merupakan keturunan ningrat Madura. “Abah adalah keturunan Nyai Arusbaya, nenek moyang raja-raja Madura,” katanya.

BACA JUGA: Zulkifli Minta Kepala Daerah Kader PAN Fokus Layani Warganya

Kedua, Kiai Ma’ruf hendak menebar semangat Hari Santri pada 22 Oktober mendatang. Cak Duki -panggulan akrab Masduki- menambahkan, Abah hendak menyemangati para santi sebagai generasi milenial agar punya cita-cita tinggi.

“Karena zaman sudah digital, maka santri harus melek digital. Mau menjadi ahli agama maupun santripreuneur, kita harus melek digital. Karena kalau tidak, kita akan tertinggal,” Cak Duki.

BACA JUGA: Prabowo - Sandi Tak Menguntungkan PAN dan Demokrat

Sedangkan pesan ketiga dalam kunjungan Abah adalah menyampaikan pemikiran tentang pentingnya ulama ikut mengurus dan menjaga negara. “Untuk mengatasi masalah-masalah kenegaraan negara,” tutur Cak Duki.

Acara di Pesantren Al Muhajirin dihadiri 110 kiai khas se-Madura, 750 alumni santri, Banser dan masyarakat umum. Hadir pula Bupati Bangkalan, Kapolres dan tokoh masyarakat se-Madura.

Kiai Ma’ruf pun mengaku bangga punya darah Madura. "Saya keturunan Madura,” katanya.

Cicit Syekh Nawawi al-Bantani itu menuturkan, Raja Bangkalan Kiai Demong Plakaran Arosbaya merupakan leluhurnya. Kiai Arosbaya memiliki putra bernama Raden Kiai Pragalba.

Selanjutnya, Kiai Pragalba memiliki putra bernama Suhra Pradoto yang menikah dengan Ratu Pambayun, putri Sultan Trenggono yang bertakhta di Kesultanan Demak. Sedangkan Sultan Trenggono merupakan cucu Sunan Ampel.

Pasangan Suhra Pradoto dan Ratu Pambayun melahirkan Nyai Narantaka atau Ratu Harisbaya. Selanjutnya, Nyai Narantoko diperistri Raja Sumedang Prabu Geusan Ulun.

“Yang kemudian diberi gelar Nyai Ratu Harisbaya, diambil dari (nama) Arosbaya. Dari sana kemudian lahir mbah-mbah saya," tutur Kiai Ma’ruf.

Salah satu putra Raja Sumedang dan Nyai Harisbaya adalah Pangeran Wiraraja I yang memiliki cicit bernama Raden Ayu Fathimah. Selanjutnya, Raden Ayu Fatimah dinikahi TB Mahmud yang cicit Maulana Hasanuddin, Sultan Banten, putra Sunan Gunung Djati, Cirebon, cucu Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran.

Karena itu, nasab Kiai Ma’ruf dengan banyak nama besar ulama dan umara itu kerap melalui jalur putri. Dari jalur ulama ada nasab Walisongo dari Sunan Gunung Jati dan Sunan Ampel.

Sedangkan dari jalur umara ada sambungan dengan Maulana Hasanuddin, Sultan Banten, Prabu Geusan Ulun, Raja Sumedang Larang dan Sultan Trenggono. Kiai Ma’ruf juga sempat mencermati prasasti berjudul Silsilah Keturunan Cakraningrat dan Bupati Bangkalan.

Dalam silsilah itu tertulis nama Kyai Demong Plakaran adalah cucu Raja Majapahit Prabu Brawijaya V.

"Karena saya berdarah Madura, mana mungkin saya lupa Madura," ucap Kiai Ma’ruf.

Kiai Ma’ruf dalam kesempatan itu menerima pedang terbungkus kain yang diserahkan KH Linul Qarbih Hamzah Amjad selaku pengasuh pondok. Kiai Linul merupakan keturunan Nyai Arosbaya.

“Pedang itu turun temurun dari buyut Arosbaya yang mengandung pesan keberanian untuk meraih kemerdekaan dan membela kebenaran,” ujar KH Cholil Nafis, ulama asal Sampang, Madura yang kinimengasuh Pesantren Cendekia Amanah di Depok, Jawa Barat.

Kiai Nafis mengatakan, penyerahan pedang itu merupakan simbol. “Itu berarti, pesantren menyerahkan kepemimpinan para kiai Madura kepada Kiai Ma’ruf untuk diperjuangkan lewat jalur struktural,” tuturnya.(jpg/ara/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sisa Setahun Menjabat, Banyak Janji Jokowi Belum Terealisasi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler