NESTAPA melanda Wattae, Kecamatan Panca Lautang, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan. Angin Puting Beliung berdurasi lima menit meluluhlantakkan 59 rumah milik warga. Empat meninggal dan puluhan warga luka-luka.
Menuju lokasi bencana tidaklah mudah. Sedikit gambaran geografis, lokasi tersebut terletak sekira lima kilometer dari persimpangan poros Sidrap-Soppeng. Kemudian dari ujung jalan beraspal, masih butuh satu kilometer perjalanan lagi untuk tiba di lokasi. Meski jalanan mulus dan mudah ditempuh kendaraan roda empat, namun akses menuju Wattae tidaklah mudah.
Pasca bencana, jalanan diblokir tepat di depan Masjid Raya Wattae. Sehingga, mau tidak mau perjalanan sejauh satu kilometer tersebut harus ditempuh dengan berjalan kaki.
Meski terik menyengat, sepanjang jalan dipadati warga yang turut penasaran menyaksikan langsung suasana tempat bekas amukan puting beliung tersebut. selain warga, mobil dinas berpelat merah juga ikut memadati jalan. Sehingga terlihat dari luar, sepintas Wattae seolah menjadi kunjungan penduduk baik Sidrap maupun daerah sekitarnya untuk berakhir pekan. Banyak pengunjung yang juga memberi bantuan di posko-posko sepanjang lokasi meski banyak juga yang hanya sekadar menuntaskan rasa penasarannya.
Tiba di lokasi, terpampang pemandangan yang begitu memilukan. Beberapa rumah terlihat bendera putih dengan sejumlah warga yang mempersiapkan pemakaman. Di sisi lain tepatnya di antara puing-puing rumah sebagian lain terlihat mengais-ngais mencari sisa-sisa harta mereka yang masih bisa diselamatkan.
Tepat di tengah reruntuhan rumah terdapat tenda berwarna oranye. Di dalamnya duduk pasangan suami istri dan anak mereka yang masih berusia lima tahun. Darna dan Basri nama pasutri tersebut. kepada Fajar ia menceritakan ihwal bencana yang mengobrak-abrik rumahnya.
Awalnya, kisah Darna, sekira pukul 17.30 wita Jumat, 24 Februari dari arah utara terlihat dua pusaran puting beliung disertai suara gemuruh bak pesawat terbang. Bingung dengan apa yang terjadi, Darna berempat dengan anak dan iparnya mengintip ke luar rumah. Ia kemudian melihat pusaran mengelilingi kampungnya. Hanya dalam durasi lima menit, 59 rumah serentak hancur.
"Pada saat kejadian itu, rasanya seperti hanyut terbawa arus. Saya terjatuh mengikuti posisi rumah yang ambruk ke sisi selatan. Untungnya saya tersangkut di pohon," ungkap Darna sambil memerlihatkan memar di tubuhnya.
Darna mengisahkan, saat kejadian dirinya hanya bisa mengingat bagaimana ia dan anaknya selamat. saat tersangkut pun, Darna yang kembali melihat pusaran angin berdiri menuju ke arah barat hanya tertegun. Pun ketika melihat tetangga depan rumahnya, Rasid, meninggal di tempat.
"Karena sok bercampur takut yang terpikir hanya bagaimana selamat. Tidak ada satu pun yang terpikir. Begitu juga tetangga, masing-masing menyelamatkan diri," katanya.
Meski demikian, Darna bersyukur saat kejadian listrik spontan mati. "Karena kalau tidak, semua orang akan mati. Apalagi, angin puting beliung disertai hujan deras dan kabel listrik putus dan menyentuh tanah," katanya.
Sementara Basri, suaminya mengaku menyaksikan angin puting beliung tersebut dari danau. Ia yang sedang mencari ikan untuk keperluan sehari-harinya melihat secara nyata empat pusasaran angin yang begitu cepat mengangkat lalu menghempaskan ke 59 rumah tersebut. Namun ia mengatakan tidak bisa berbuat apa-apa karena juga dihadang angin.
"Sejenak, kampung rasanya terisolasi. Barulah setengah jam kemudian ia baru bisa merapat. Begitu juga penduduk kampung tetangga dan bala bantuan lainnya baru datang setelah magrib," kata Basri. (*/pap)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mesuji Rusuh Lagi, Kantor BSMI Dibakar
Redaktur : Tim Redaksi