Berlaku tidak adil – atau sebaliknya diperlakukan tidak adil – dapat menyebabkan seseorang mengalami tekanan mental. Demikian temuan dari kajian terbaru yang menggunakan metode pemantauan kondisi jantung.  Kajian ini memberikan bukti lebih besar kalau emosi ternyata memiliki peranan besar dalam pengambilan keputusan ekonomi manusia, demikian dikatakan ekonom Dr Uwe Dulleck dari Universitas Teknologi Queensland.
 “Kita akan merasa tidak nyaman ketika berlaku tidak jujur atau adil, dan tampaknya kita akan merasa lebih bahagia ketika bisa berlaku adil dan jujur,” kata Dr Dulleck. Sementara sejumlah terori ekonomi menyimpulkan kalau seorang individu hanya akan membuat keputusan berdasarkan kepentingan pribadi dan rasional, beberapa hasil riset yang menggunakan alat yang disebut Permainan Tawaran Ultimatum atau Ultimatum Bargaining Game justru menunjukan hasil yang sebaliknya.
Permainan ini melibatkan dua orang saling berbagi sumber daya ini seperti uang. Salah satu pemain (pemberi proposal) memberikan tawaran terhadap pemain lainnya (pemberi respon) sejumlah bagi hasil dari sumber daya yang ditawarkan. Pemberi respon kemudian akan menerima atau menolak tawaran teresbut atau kedua pihak tidak akan mendapatkan apa-apa ketika tawaran itu ditolak.
 “Jika kita menyimpulkan setiap orang berlaku egois dan rasional, maka pemberi proposal tidak akan memberikan penawaran apapun dan tentu saja pemberi respon tentu saja akan menerima semua tawaran yang disodorkan, sekecil apapun keuntungan yang akan diterimanya, karena sedikit uang tentu saja akan lebih baik ketimbang tidak menerima uang sama sekali,” kata  Dulleck.
 Namun, menurutnya dalam sejumlah kajian yang berulang kali dilakukan ditemukan ternyata pemberi respon biasanya menolak tawaran yang besarannya kurang dari 30%. Sementara kajian lainnya yang menggunakan alat pemindai otak menemukan kalau ketika sebuah tawaran bagi hasil yang disodorkan besarannya diatas 30% makan kondisi rasional otak akan otomatis diaktifkan, namun sebaliknya jika besaran tawaran yang diajukan kurang dari 30%, maka bagian lain dari otak yang mengatur emosi yang akan diaktifkan.
Dulleck dan rekannya ingin menggunakan metode yang lebih tidak intrusive dalam mengkaji perubahan psikologis yang mengikuti sebuah pembuatan keputusan yang bersifat ekonomis. Dan mereka menginginkan kajian yang mempelajari apa yang sesungguhnya terjadi pada pemberi tawaran maupun pemberi respon terhadap tawaran tersebut.
 Dalam hasil kajian yang dipublikasikan di Jurnal  PLOS ONE, mereka menggunakan monitor pengawas jantung bersensor tinggi terhadap para peserta dalam permainan Ultimatum Bargaining Game.
Mereka menempelkan monitor itu pada 600 orang, dimana setiap orangnya dipasangkan dengan pemain yang anonim melalui computer untuk memainkan permainan tersebut.
 Ketika tawaran disodorkan besarnya dibawah 50% dan mendekati 30%, kedua pihak baik pemberi respon maupun pemberi tawaran membangun semacam pola detak jantung yang mengindikasikan adanya tekanan mental, papar Dulleck.
"Ketika Anda mendekati batasan 30% ini, orang menjadi gugup,”
"Reaksi emosi sungguh terjadi dikedua pihak ketika kita membuat keputusan,”
Ini mematahkan fakta kalauu pemberi penawaran merupakan pihak yang memilih untuk membuat tawaran yang tidak jujur.
Rekan peneliti Dr Markus Schaffner, yang juga dari QUT mengatakan ‘ rasa bersalah’ yang dirasakan oleh pemberi penawaran ketika memberikan tawaran yang rendah merupakan hal yang bisa menjelaskan meningkatnya kondisi stres yang dialaminya.
"Kondisi speerti ini juga bisa dilihat sebagai bukti kalau setiap manusia sesungguhnya memiliki empati kepada orang dan menempatkan diri kita pada posisi orang lain yang menghadapi situasi seperti itu,” katanya.
Dulleck dan mitranya juga memonitor detak jantung untuk mempelajari respon orang ketika membayar pajak. 
BACA ARTIKEL LAINNYA... 90 Busana Bersejarah dari Desainer Ternama Dunia Dipamerkan di Adelaide

Berita Terkait