JAKARTA--Setelah gagal mediasi, Partai Bulan Bintang (PBB) menghadapi sidang ajudikasi (pembuktian) sengketa parpol peserta pemilu di gedung Bawaslu Rabu (23/1). Kuasa hukum PBB yang juga Ketua Dewan Syuro Yusril Ihza Mahendra mengancam akan menggugat SK No 5/2012 tentang penetapan parpol peserta pemilu jika proses sidang berlarut-larut.
"Kalau berlarut-larut, kami akan gugat ke pengadilan supaya pengadilan membatalkan SK tentang pengesahan parpol," ujar Yusril setelah sidang ajudikasi dengan KPU.
Yusril menyatakan, dalam upaya mediasi dan sidang ajudikasi pertama, terlihat sekali bahwa KPU terlalu kaku dalam menerapkan UU Parpol. Bukti yang dimiliki parpol sudah dikemukakan, namun tidak diterima. "Kami ini kan pernah menjadi pejabat. Kami enggak mau kaku. Ini baru jadi KPU kakunya luar biasa. Saya heran," ujarnya.
Dengan sidang ajudikasi, SK KPU tentang penetapan parpol peserta pemilu bisa saja dibatalkan oleh Bawaslu. Saat ini masyarakat sudah salah paham, seolah-olah sepuluh parpol yang lolos sudah fixed (pasti). "Kalau kami gugat ke pengadilan supaya membatalkan, bisa buyar semua," katanya.
Perlawanan dari segi hukum, ujar Yusril, bisa dilakukan dalam bentuk apa pun. Secara konstitusional, dia akan melawan keputusan KPU dalam penetapan parpol peserta pemilu. "Tidak akan ada yang ikut pemilu jika SK dibatalkan," ujarnya.
Yusril menyatakan, kecurangan dalam verifikasi yang juga mengandung unsur penipuan bukan sengketa pemilu. Ini harus tunduk pada mekanisme penyelesaian melalui Bawaslu, pengadilan tata usaha negara (PTUN), dan MA. "Tapi, sengketa tata usaha negara biasa," jelasnya.
SK KPU tentang verifikasi partai yang lolos atau tidak lolos, menurut Yusril, adalah keputusan pejabat TUN yang bersifat individual, konkret, final, dan membawa akibat hukum. Karena itu, SK KPU tersebut bisa digugat oleh perorangan di luar partai yang merasa dirugikan, tanpa melalui mekanisme penyelesaian sengketa parpol dengan KPU. "Kalau jadwal pemilu nanti berantakan, itu bukan salah saya. KPU yang bertanggung jawab," tegasnya.
Dia juga yakin, tidak seorang pun secara hukum bisa menghentikan dan menghalangi perlawanan yang dilakukannya. "Prinsipnya: tiji tibeh, mati siji mati kabeh (mati satu mati semua, Red)," tandasnya.
Gugatan Yusril yang mewakili PBB terhadap KPU dilakukan karena lembaga penyelenggara pemilu itu dinilai melakukan sejumlah kekeliruan dalam proses verifikasi faktual. KPU dinilai melanggar UU Parpol karena membuat peraturan tentang kuota 30 persen perempuan di kepengurusan partai dari pusat hingga daerah. Padahal, UU Parpol mewajibkan kuota 30 persen perempuan itu hanya berlaku di kepengurusan tingkat pusat.
Kekeliruan kedua, kata Yusril, KPU menganggap pengurus PBB di Kabupaten Bantul yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) otomatis menggugurkan hak PBB sebagai peserta pemilu. Padahal, PNS atau bukan PNS tidak diatur di dalam UU Parpol. "PNS yang bersangkutan hanya melanggar UU Kepegawaian Negara dan karenanya seharusnya diberhentikan, namun hal itu tidak menggugurkan hak PBB sebagai parpol," ujarnya.
Kuasa hukum KPU Ali Nurdin menerangkan bahwa dalam verifikasi faktual ditemukan pengurus PBB di Bantul yang berstatus PNS. Hal itu, menurut Peraturan KPU, dianggap tidak sah alias PBB dinyatakan tidak berhak menjadi partai peserta pemilu. "KPU diberi kewenangan oleh undang-undang untuk membuat peraturan, dan menurut Peraturan KPU, parpol yang pengurusnya PNS dianggap tidak ada," kata Ali Nurdin.
Sidang ajudikasi antara PBB dan KPU ditunda. KPU meminta waktu untuk mengumpulkan bukti sebagaimana gugatan PBB, termasuk memberikan jawaban tertulis atas gugatan tersebut. (bay/dyn/c1/agm)
"Kalau berlarut-larut, kami akan gugat ke pengadilan supaya pengadilan membatalkan SK tentang pengesahan parpol," ujar Yusril setelah sidang ajudikasi dengan KPU.
Yusril menyatakan, dalam upaya mediasi dan sidang ajudikasi pertama, terlihat sekali bahwa KPU terlalu kaku dalam menerapkan UU Parpol. Bukti yang dimiliki parpol sudah dikemukakan, namun tidak diterima. "Kami ini kan pernah menjadi pejabat. Kami enggak mau kaku. Ini baru jadi KPU kakunya luar biasa. Saya heran," ujarnya.
Dengan sidang ajudikasi, SK KPU tentang penetapan parpol peserta pemilu bisa saja dibatalkan oleh Bawaslu. Saat ini masyarakat sudah salah paham, seolah-olah sepuluh parpol yang lolos sudah fixed (pasti). "Kalau kami gugat ke pengadilan supaya membatalkan, bisa buyar semua," katanya.
Perlawanan dari segi hukum, ujar Yusril, bisa dilakukan dalam bentuk apa pun. Secara konstitusional, dia akan melawan keputusan KPU dalam penetapan parpol peserta pemilu. "Tidak akan ada yang ikut pemilu jika SK dibatalkan," ujarnya.
Yusril menyatakan, kecurangan dalam verifikasi yang juga mengandung unsur penipuan bukan sengketa pemilu. Ini harus tunduk pada mekanisme penyelesaian melalui Bawaslu, pengadilan tata usaha negara (PTUN), dan MA. "Tapi, sengketa tata usaha negara biasa," jelasnya.
SK KPU tentang verifikasi partai yang lolos atau tidak lolos, menurut Yusril, adalah keputusan pejabat TUN yang bersifat individual, konkret, final, dan membawa akibat hukum. Karena itu, SK KPU tersebut bisa digugat oleh perorangan di luar partai yang merasa dirugikan, tanpa melalui mekanisme penyelesaian sengketa parpol dengan KPU. "Kalau jadwal pemilu nanti berantakan, itu bukan salah saya. KPU yang bertanggung jawab," tegasnya.
Dia juga yakin, tidak seorang pun secara hukum bisa menghentikan dan menghalangi perlawanan yang dilakukannya. "Prinsipnya: tiji tibeh, mati siji mati kabeh (mati satu mati semua, Red)," tandasnya.
Gugatan Yusril yang mewakili PBB terhadap KPU dilakukan karena lembaga penyelenggara pemilu itu dinilai melakukan sejumlah kekeliruan dalam proses verifikasi faktual. KPU dinilai melanggar UU Parpol karena membuat peraturan tentang kuota 30 persen perempuan di kepengurusan partai dari pusat hingga daerah. Padahal, UU Parpol mewajibkan kuota 30 persen perempuan itu hanya berlaku di kepengurusan tingkat pusat.
Kekeliruan kedua, kata Yusril, KPU menganggap pengurus PBB di Kabupaten Bantul yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) otomatis menggugurkan hak PBB sebagai peserta pemilu. Padahal, PNS atau bukan PNS tidak diatur di dalam UU Parpol. "PNS yang bersangkutan hanya melanggar UU Kepegawaian Negara dan karenanya seharusnya diberhentikan, namun hal itu tidak menggugurkan hak PBB sebagai parpol," ujarnya.
Kuasa hukum KPU Ali Nurdin menerangkan bahwa dalam verifikasi faktual ditemukan pengurus PBB di Bantul yang berstatus PNS. Hal itu, menurut Peraturan KPU, dianggap tidak sah alias PBB dinyatakan tidak berhak menjadi partai peserta pemilu. "KPU diberi kewenangan oleh undang-undang untuk membuat peraturan, dan menurut Peraturan KPU, parpol yang pengurusnya PNS dianggap tidak ada," kata Ali Nurdin.
Sidang ajudikasi antara PBB dan KPU ditunda. KPU meminta waktu untuk mengumpulkan bukti sebagaimana gugatan PBB, termasuk memberikan jawaban tertulis atas gugatan tersebut. (bay/dyn/c1/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Marzuki Berharap Putusan MA Soal Aceng Segera Dieksekusi
Redaktur : Tim Redaksi