Bermaksud Olah Buah Anggur Malah Jadi Bom

Minggu, 07 April 2013 – 00:16 WIB
Laboratorium - Adrian Ishak di dapur profesionalnya. Foto : Ahmad Baidhowi/Jawa Pos.
Dapur memasak dan laboratorium fisika-kimia ibarat dua dunia yang berbeda. Molecular gastronomy memadukan keduanya. Hasilnya, terciptalah menu kuliner yang membuat geleng-geleng kepala. Di Indonesia Adrian  Ishak adalah spesialisnya.
   
-----------------------------------------------
AHMAD BAIDHOWI, Jakarta
------------------------------------------   
   
Ruang itu tidak terlalu besar. Ukurannya sekitar 4x6 meter. Dua dinding kaca menyekat sisi depan dan kirinya. Kaca di sisi kiri penuh coretan spidol. Isinya komposisi bahan dan rumus-rumus kimia. Di dinding kanan dan belakang terdapat rak-rak berisi botol-botol kaca dan plastik berisi cairan berbagai warna.
   
Di pojok ruangan terdapat tabung nitrogen cair volume 35 liter dengan diameter sekitar 50 cm dan tinggi 70 cm. Di bagian atas tabung yang berbentuk mirip piramida itu, terdapat pipa besi berbentuk letter U terbalik. Di samping tabung, seperangkat rotary evaporator (alat penyuling) dengan bejana dan pipa kaca berada di atas meja.
   
"Inilah dapur profesional saya," ujar Adrian Ishak kepada Jawa Pos saat ditemui di Restoran Namaaz Dining, Jakarta Selatan, Rabu pekan lalu (27/3).
   
Mengusung aliran molecular gastronomy, pria 36 tahun yang dikenal dengan nama Chef Bodin itu kini memperkaya khazanah kuliner Indonesia dengan sesuatu yang berbeda. Dengan sentuhan kreasi dan imajinasinya, dia menyajikan masakan/minuman khas dari berbagai wilayah Indonesia menjadi menu yang mengundang decak kagum.
   
Ingin tahu" Ini salah satunya: es teh panas. Selama ini, minuman itu hanya muncul akibat slip of tongue atau keseleo lidah atau guyon. Dengan teknik molecular, Adrian berhasil mewujudkan menu paradoks tersebut berupa sajian minuman teh panas dan es teh dalam satu gelas, tanpa penyekat. Cara minumnya pun harus pas di tengah supaya lidah kanan merasakan teh panas dan lidah kiri merasakan es teh. "Itulah sensasinya," ucapnya.
   
Bagaimana awal mula dia menggeluti molecular gastronomy" Adrian menceritakan, orang tuanya adalah pengusaha katering. Tapi, meski sejak kecil akrab dengan bumbu dapur, Adrian tidak pernah berniat untuk mewarisi jejak orang tuanya itu. Sejak muda, lulusan Akademi Pariwisata Bandung tersebut lebih banyak menghabiskan waktu di dunia seni musik.
   
Namun, takdir berkata lain. Adrian mau tidak mau harus meneruskan usaha katering keluarga sepeninggal kedua orang tuanya. Dia merasakan jatuh bangun dalam usahanya. Dia pernah gagal mengembangkan restoran di kawasan Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Tapi, dia kemudian membuka Restoran Magali di kawasan Jakarta Selatan dengan menu-menu otentik khas Indonesia. Dari sinilah bisnisnya mulai berkembang.
   
Meski begitu, capaian itu tidak lantas membuat penyuka musik bergenre hi-tech experimental tersebut cepat puas. Dia ingin terus mengeksplorasi menu-menu yang lain daripada yang lain. Maka, Andrian lalu tenggelam berselancar di internet. Jarinya bergerak di atas keypad komputer tablet yang ditentengnya ke mana-mana, mengetik alamat situs yang memuat review tentang the best restaurant in the world (restoran terbaik di dunia). Hasilnya, muncullah nama El-Bulli di urutan pertama. Itu adalah sebuah restoran di Catalonia, Spanyol, yang menyajikan menu molecular gastronomy.
    
Molecular gastronomy merupakan studi ilmiah mengenai gastronomi atau cabang ilmu yang mempelajari transformasi fisiokimiawi dari bahan pangan selama proses memasak dan fenomena sensori saat mereka dikonsumsi. Dari situ, Adrian mulai terpikat. Dia pun mempelajari ilmu sendiri (otodidak). Buku-buku karya maestro molecular gastronomy dunia dilahapnya. Di antaranya, Modernist Cuisine karya Ferran Adria dan On Food and Cooking karya Harold McGee.
   
"Ferran Adria adalah salah satu yang terhebat di molecular gastronomy," ucap Andrian sambil menunjuk foto berukuran 30x40 cm yang menempel di dinding "laboratorium"-nya.
 
Tahap berikutnya, Adrian mulai berburu peralatan dan bahan-bahan. Karena di Indonesia belum ada, alat dan bahan harus diimpor melalui distributor peralatan laboratorium di Jakarta. Begitu alat dan bahan siap, eksperimen dimulai. Tidak butuh waktu lama bagi Adrian untuk menyerap dan menguasai ilmu itu. Bahkan, dia langsung mempraktikkan menu istimewa tersebut di Restoran Namaaz Dining yang dibukanya pada Mei 2012. Resto itu berada di lantai 2 Restoran Magali yang juga miliknya.
   
Sejak awal, Adrian mengusung konsep molecular gastronomy untuk masakan Indonesia. Tentu hal itu tidak ada dalam buku referensinya. Beruntung, hobinya dalam seni musik dan seni lukis membuat otaknya terampil berkreasi dan berimajinasi. Kuliner khas, seperti oncom, asinan betawi, mi aceh, hingga sate klopo khas Surabaya, diolah dan disajikan dengan cara yang benar-benar berbeda.
   
Namun, di antara sekian banyak imajinasi eksperimennya itu, ada beberapa jenis kuliner yang hingga kini belum bisa diciptakannya. Bahkan, salah satunya pernah membuat Andrian hampir celaka. Apa itu?
   
Menurut Adrian, molecular gastronomy yang diolah menggunakan peralatan dan bahan yang biasa dipakai di laboratorium fisika/kimia memang memiliki risiko lebih tinggi jika dibandingkan dengan cara memasak biasa. Misalnya, nitrogen cair yang memiliki suhu minus (-) 196 derajat Celsius jauh lebih berbahaya daripada minyak goreng mendidih sekalipun. Karena itu, ketika memasak dengan nitrogen cair, Adrian harus menggunakan sarung tangan tebal. Bahkan, terkadang harus memakai kacamata tebal seperti yang biasa digunakan orang untuk menyelam.
   
"Kena percikan nitrogen air jauh lebih sakit dibanding kena minyak goreng. Apalagi kena mata," ujarnya.
   
Ayah dua putra itu pernah mengalami kejadian yang membuat jantungnya berdegup kencang. Ketika itu, dia bereksperimen membuat buah anggur bersoda melalui proses karbonasi dengan karbondioksida (CO2). Tabung berisi anggur dan CO2 diletakkan di ruang restoran yang dipisahkan dinding dan kaca dapur.
   
Tidak lama berselang, terdengar ledakan cukup keras. Ruang restoran dan dapur yang terletak di lantai 2 sampai bergetar. Isi buah anggur muncrat ke seluruh penjuru ruangan. Kejadian yang begitu cepat itu membuat Adrian terkaget-kaget.
   
"Rupanya, secara tidak sengaja saya telah membuat bom. Untungnya, saya di dapur, agak jauh dari ledakan. Kalau saya ada di ruang restoran, mungkin akan celaka," ujarnya sambil menunjuk atap dan dinding restonya yang masih retak-retak. "Itu akibat ledakan karbonasi anggur," katanya sambil geleng-geleng kepala.
   
Menu lain dengan tingkat kesulitan tinggi adalah kertas doa. Adrian masih terus mencari formula untuk membuat kertas dari bahan makanan. Menu kertas doa itu harus tipis, bisa ditulisi dengan tinta, bisa dibakar, dan tentu saja aman dikonsumsi. Konsep menu tersebut: pelanggan akan diberi "kertas", lalu menuliskan doa di kertas itu, kemudian membakarnya. Setelah itu, abu kertas akan dimasukkan ke dalam air putih atau kopi, baru bisa diminum.
   
"Saya terus melakukan eksperimen itu, tapi belum ketemu formulanya," ujarnya dengan mimik serius. Dahinya tampak berkerut.
   
Di antara puluhan menu di resto uniknya itu, yang jadi andalan Adrian adalah Dragon Breath alias Napas Naga. Dia lalu mendemonstrasikan cara memasaknya. Setelah memakai sarung tangan tebal, Adrian mengambil panci kecil berdiameter 15 cm. Panci itu diarahkan di ujung pipa tabung nitrogen, memutar tuas on, dan sejurus kemudian uap nitrogen tebal mengepul. Sambil melirik timer di sampingnya, 30 detik kemudian, dia memutar tuas off.
   
Nitrogen yang terisi ke dalam panci tampak seperti air yang mendidih, asap tebal masih mengepul dari panci. Adrian lalu memasukkan meringue yang terbuat dari tepung, telur, dan gula ke dalam nitrogen. Setelah 15 detik, meringue diambil dengan sumpit dan diserahkan ke Jawa Pos. Ternyata, rasanya sangat dingin, seperti es. Ketika dimakan dan dikunyah, uap dingin langsung membuncah. Karena itu, ketika bernapas, uap tebal menyembur dari mulut dan hidung pemakannya. Persis gambaran seekor naga dalam film-film legenda.
   
"Makanan ini aman dikonsumsi. Sebab, nitrogen adalah unsur alam yang ada dalam udara yang biasa kita hirup. Uap itu dipicu oleh suhu dingin, seperti uap yang muncul ketika kita membuka pintu freezer atau kulkas," jelas dia.
   
Adrian pun melanjutkan aksinya. Dia membawa panci yang berisi nitrogen yang masih tampak seperti air mendidih dengan uap mengepul tersebut ke ruang restoran, lalu disiramkan ke lantai kayu. Nitrogen itu pun menjadi bulir-bulir cairan yang menggelinding seperti kristal, menyusup di antara kaki-kaki kursi dan meja, lalu perlahan menguap dan lenyap. "Magic," ucapnya sambil tersenyum puas.
   
Sensasi semacam itulah yang ditawarkan Adrian kepada para tamu. Respons masyarakat sangat positif. Restoran Namaaz Dining yang buka lima hari dalam seminggu tidak pernah sepi pengunjung. Hanya, karena proses memasaknya yang sulit dan kapasitas dapur yang terbatas, Adrian membatasi hanya delapan pelanggan setiap malam yang bisa menikmati menu spesialnya tersebut.
   
Pemesanan atau reservasi meja hanya bisa dilakukan secara online. Karena itu, jadwal untuk beberapa ke pekan biasanya sudah full booked. Padahal, untuk menikmati satu set menu molecular gastronomy yang terdiri atas 17 hidangan lengkap dari appetizer sampai dessert, setiap orang harus merogoh kocek hingga Rp 920 ribu!
   
Adrian pun punya keinginan untuk mengembangkan tema molecular gastronomy dengan berbagai menu masakan tradisional Indonesia. Beberapa kali dia meluangkan waktu untuk berkeliling ke beberapa daerah, melakukan eksplorasi kuliner setempat, lalu memformulasikannya dengan metode molecular gastronomy. "Ini salah satu misi saya, memperkaya khazanah kuliner Indonesia," ungkapnya. (*/c6/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gorong-Gorong Raksasanya Bisa untuk Konser Musik

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler