Bermula Dari Gagasan Besar Soekarno

Kamis, 20 Agustus 2015 – 12:12 WIB
Fahri Hamzah. Foto: dok.JPNN

jpnn.com - JAKARTA - Konsep kawasan gedung parlemen yang ada sekarang sebetulnya berawal dari gagasan besar Presiden RI pertama Soekarno, tahun 1965. Ketika itu, Indonesia memutuskan keluar dari keanggotaan PBB, karena Malaysia yang sedang berseteru dengan Indonesia diangkat sebagai anggota Dewan Keamanan PBB. Bung Karno pun memutuskan membuat organisasi PBB tandingan bernama Conference of New Emerging Forces (CONEFO).

Konferensi kekuatan negara-negara baru (CONEFO) yang digagas Soekarno itu, mendapat dukungan dari negara-negara non blok yang baru merdeka di Asia, Afrika, Amerika latin, dan beberapa negara Eropa. Markas besar CONEFO itu dibangun di Senayan, berupa gedung Nusantara, tempat MPR, DPR, dan DPD RI sekarang bersidang tiap tahun. Gedung ini akrab pula disebut sebagai gedung kura-kura.

BACA JUGA: Kasus JIS, Dorong Jangan Kasasi

Dengan gedung CONEFO itu, Soekarno ingin menggugah perhatian para pemimpin dunia agar tidak terbelah dua menjadi blok timur yang dipimpin Uni Soviet dan blok barat dipimpin Amerika Serikat. Gedung itu juga sebagai simbol protes atas ketidakadilan global yang dipertontonkan Amerika dan Soviet atas negara-negara berkembang dan baru merdeka.

Dengan gedung itu, kian mempertegas keinginan Soekarno untuk menyatukan negara-negara yang baru merdeka sebagai kekuatan baru yang harus diperhitungkan. Kekuatan yang tidak menghamba ke barat, tidak juga menyembah ke timur. Soekarno pun ingin membangun gedung CONEFO jauh lebih mewah daripada gedung PBB di New York. Bahkan konsep bangunannya harus berbeda dengan Capitol Hills di Washington.

BACA JUGA: Keluarga OC Kaligis Datang ke Pengadilan Pakai Kaos #SAVEOCK

Bila gedung-gedung parlemen di dunia membuat kubah dengan pilar besar di luar secara vertikal, maka gedung CONEFO yang digagas Soekarno membuat kubah dengan pilar di dalam.

Kubah itu adalah bentang sayap mencekung berwarna hijau dengan dua pilar yang menjulur panjang secara horisontal di dalam gedung dari timur ke barat. Itulah uniknya. Dan gedung ini sedianya akan digunakan sebagai penyelenggara perdana CONEFO pada 1966.

BACA JUGA: Anggaran Polri Meningkat Jadi Rp 67,2 Triliun, Mau Buat Apa Ya?

Adalah Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah yang banyak memberi penjelasan atas riwayat gedung bersejarah itu.

Ditemui di ruang kerjanya Kamis (20/8), ia kembali menyegarkan ingatan kolektif bangsa atas sejarah dan konsep kawasan komplek parlemen yang ada sekarang. Menurut Fahri, gedung hijau kura-kura itu, sudah saatnya dijadikan cagar budaya dan tidak lagi digunakan untuk perhelatan politik-ketatanegaraan.

Selain kapasitasnya yang sempit tak mampu lagi menampung tamu undangan yang kian banyak, gedung itu juga sudah tua di atas 50 tahun. Jadi sebaiknya dijadikan museum parlemen.

“Berdasarkan UU, gedung ini sudah menjadi cagar budaya. Karena sudah jadi gedung cagar budaya, tentu tidak layak jika diperlakukan dengan cara lama, yaitu dibebankan sebagai tempat rapat-rapat politik anggota dewan. Kami ingin agar gedung tua ini dijadikan museum,” ungkap Fahri.

Fahri ingin mendudukkan persepsi publik pada tempatnya bahwa gedung ini peruntukkan dasarnya bukan gedung parlemen. Untuk itu, DPR ingin membangun konsep parlemen modern dengan membangun gedung parlemen yang lebih layak dan terpadu. Saatnya nanti, kata Fahri, Presiden terpilih dilantik di muka gedung kura-kura, tepat di atas tangga, tidak di dalam gedung yang sempit lagi.

“Kami sedang mengusulkan dengan pihak istana, agar nanti pidato pelantikan Presiden jangan di dalam gedung, karena terbatas daya tampungnya. Presiden pidato di halaman DPR, di atas tangga gedung. Di situlah Presiden berpidato pertama kali kepada rakyat Indonesia, sehingga yang datang bisa ratusan ribu dari Sabang sampai Merauke. Dan rakyat juga bisa melihat langsung penampilan presidennya yang gagah saat berpidato.”

Dijelaskan Fahri, ada tujuh tahap proyek pembangunan komplek parlemen. Tahap pertama, membangun alun-alun demokrasi. Filosofisnya, DPR adalah pusat aspirasi publik. Di alun-alun itulah nantinya masyarakat bisa menyuarakan langsung aspirasinya. DPR memfasilitasi aksi demonstrasi di tempat yang layak dan tidak mengganggu kepentingan publik. Lokasinya berada di sisi kanan gedung yang kini menjadi tempat olahraga (jantung sehat).

Tahap kedua, membangun museum. Gedung CONEFO atau kura-kura dijadikan pusat museum parlemen. Di dalamnya ada perjalanan sejarah parlemen Indonesia sejak kali pertama berdiri di era kolonial dengan nama Volksraad (Dewan Rakyat). Lalu ada parlemen di era awal kemerdekaan, era Orde Lama, era Orde Baru, dan era Orde Reformasi. Bahkan, lengkap dengan perjalanan sejarah DPRD dan DPD RI.

Tahap ketiga, membangun perpustakaan yang konprehensif. Di dalamnya ada literatur berupa buku-buku, media massa, dan lain-lain yang terkoleksi dengan baik sebagai bahan referensi kajian dan data.

Tahap keempat, membangun sistem akses. Jalan masuk ke kawasan komplek parlemen akan dibenahi, termasuk pusat layanan pengunjung. Ini untuk memudahkan para tamu dan pengunjung yang ingin ke parlemen.

“Gedung ini harus dijadikan tempat belajar dan wisata sekaligus. Seluruh anak bangsa dan wisatawan bisa masuk bila ingin melihat gedung parlemen. Selama ini, gedung parlemen tidak dikenal sebagai tempat wisata. Padahal, seharusnya bisa menjadi tempat wisata alternatif. Bila kita berkunjung ke luar negeri, gedung parlemennya selalu bisa menjadi destinasi wisata. Nah, di sini belum. Kita ingin membuat semua itu, agar bangsa lain bisa melihat kita,” terang Fahri.

Tahap kelima, membangun pusat kajian. Kelak, parlemen modern yang sedang dibangun ini, akan memiliki pusat kajian anggaran, pusat kajian legislasi, dan pusat kajian akuntabilitas keuangan negara. Ini penting bagi DPR sebagai dapur legislasi dan anggaran. Sudah ada Keppres yang mengatur hal ini.

Tahap keenam, membangun ruang kerja anggota dan tenaga ahli. Selama ini, ruang kerja anggota dan tenaga ahli di gedung Nusantara I sudah tak memadai lagi. Ruang terlalu sempit untuk menunjang kerja para anggota dewan dengan enam sampai tujuh staf pendamping, baik asisten pribadi maupun tenaga ahli. Untuk itu, perlu ruang yang lebih luas agar suasana kerja lebih nyaman.

Tahap ketujuh, mengintegrasikan kawasan secara utuh. Menurut Fahri, dalam konsep ini ada dua hal utama yang diintegrasikan, yaitu collective mind dan collective memory. Semua anak bangsa harus menyadarai bahwa parlemen merupakan pusat pengambilan keputusan sekaligus pusat pengetahuan. Para pendiri Republik ini sudah sejak lama menyadari pentingnya hal tersebut.

“Inilah tujuh hal yang akan kita kerjakan setahap demi setahap. Selesainya kapan, kita tidak tahu. Yang penting kita di sini menegaskan bahwa negara demokrasi yang besar, harus mempunyai proyeksi besar untuk membangun pilar-pilar demokrasinya secara serius. Saat ini, semuanya masih dalam tahap perencanaan, karena harus melalui sistem penganggaran dari APBN kita. Tidak bisa kita mengambil dana di luar APBN,” papar Fahri.

Semua anggota DPR sudah setuju atas rencana proyek pembangun ini. Proses selanjutnya, sambung Fahri, jatuh kepada kuasa pengguna anggaran, yaitu Sekretariat Jenderal DPR RI. Peran Pimpinan dan para anggota DPR hanya sebatas pada ide-ide besarnya, tidak ikut campur dalam teknis proyek dan penganggarannya. Semua sudah ada prosedur dan sistemnya sesuai aturan perundangan yang berlaku.

“Anggaran dibuat Sekjen dan diajukan ke pemerintah. Proses selanjutnya dibawa ke rapat Banggar dan komisi terkait. Lalu, disetujui masuk dalam APBN. Diketok bulan Oktober, ditender sekitar bulan November-Desember, dan baru dilaksanakan pada Januari. Itulah prosedur anggarannya,” imbuh Fahri lagi, seraya menambahkan, “Dan sistem penganggarannya menggunakan tahun jamak (multi years), karena itemnya banyak sekali.”

Tulang Punggung Demokrasi
Konsep pembangunan parlemen modern tidak membawa kepentingan pribadi siapa pun. Semuanya tunduk pada aturan main, dalam hal ini UU MD3 dan UU Keuangan. Di tengah perayaan HUT Proklamasi ke-70 ini, tak ada salahnya parlemen memoles diri untuk memperkuat pilar demokrasi. Inilah momentum yang baik untuk merefleksikan kembali pentingnya tradisi legislatif di negara ini.

“Tulang punggung demokrasi kita adalah DPR. Jika DPR tidak ada, maka kita mengatakan demokrasi di Indonesia sudah hilang,” tandas politisi PKS tersebut. Peran kamar legislatif kerap tertutup oleh dominasi kamar eksekutif. Selama ini, diakui Fahri, sejarah kekuasaan di Indonesia, memang didominasi sejarah kuatnya kamar eksekutif. Dominasinya bahkan sudah pada tingkat totalitarian.

Fahri mencontohkan, bagaimana Volkstraad sebagai cikal bakal dewan rakyat di era kolonial hanya dijadikan embel-embel Pemerintah Hindia Belanda. Kemudian muncul Orde Lama yang membangun pemerintahan demokrasi liberal dengan sistem parlementer dan UUDS 1950 sebagai dasar kosntitusinya. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945, secara tak sadar mengembalikan sistem ke polanya yang tidak ideal.

“UUD 1945 menempatkan kekuasaan eksekutif sangat besar atau eksekutif heavy. Muncul Orde Baru tahun 1966 yang menggunakan UUD 1945. Maka yang terjadi kekuasaannya totaliter. Kritik kita terhadap 32 tahun pemerintahan Orde Baru, karena kekuasaannya didominasi oleh eksekutif. Protes terhadap dominasi eksekutif muncul setelah reformasi. Muncullah keinginan kuat untuk melakukan amandemen terhadap konstitusi,” ujar Fahri.

Inti dari amandemen konstitusi kita, lanjutnya, adalah melemahkan kekuasaan eksekutif dengan cara “merampas” kekuasaan dari presiden dan diberikan kepada rakyat melalui penguatan DPR. Lalu, belakangan muncul penambahan kamar legislatif yang kedua, yaitu DPD sebagai perwakilan daerah.

“Di seluruh dunia, lahirnya kekuatan legislatif sebagai pertanda daulat rakyat dan penguatan demokrasi. Sementara kita Bangsa Indonesia belum pernah secara serius membangun kekuatan legislatif, itulah yang menyebabkan otoritarianisme kembali berulang-ulang. (fat/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jonan Ogah Mengurusi Uang Tunai Rp33,5 Miliar yang Ada di Trigana Air


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler