Kehidupan yang keras di jalanan membuat Habib Wibowo berubah. Tidak hanya pensiun dari pekerjaannya sebagai pemulung sampah, kini dia juga menjadi bapak asuh bagi anak-anak jalanan.
BAYU PUTRA, Bantul
RUMAH Singgah Terpadu Panti Sosial Hafara bukan rumah singgah seperti yang banyak berdiri di berbagai kota. Rumah singgah di Desa Brajan, Kasihan, Bantul, Jogjakarta, itu merupakan kompleks asrama bergaya pedesaan lengkap dengan bisnis budi daya tanaman dan ikan hias.
Kompleks Hafara didirikan di lahan hampir 2 hektare. Di bagian depan terdapat pendapa berukuran 8 x 8 meter. Bangunan berbentuk joglo itu menjadi pusat kegiatan para penghuni rumah singgah tersebut. Termasuk, tempat beribadah sehari-hari seluruh penghuni.
Di sebelah pendapa, terdapat bangunan sederhana yang difungsikan sebagai asrama khusus untuk anak-anak jalanan perempuan. Di dekatnya ada sebuah garasi yang berisi dua ambulans untuk operasi panti. Di sisi selatan kompleks, terdapat rumah-rumah petak dari kayu yang dicat warna-warni untuk anak-anak jalanan laki-laki.
Di belakang kompleks, belasan kolam berjajar dengan ribuan bibit lele dan nila yang sedang dibudidayakan. Tidak jauh dari kolam, terdapat sebuah gubuk yang dijadikan tempat budi daya jamur tiram.
Sementara itu, di ujung timur kompleks tersebut, berdiri dua kamar berdinding tembok yang pintunya tertutup rapat. Dari jendela, tampak sejumlah perempuan dewasa sedang tiduran. Penampilannya lusuh. "Mereka gelandangan psikosis (pengidap penyakit jiwa, Red)," kata Habib Wibowo, pengelola Rumah Singgah Hafara, kepada Jawa Pos, Selasa (17/9).
Sudah tiga tahun ini Habib mengelola rumah singgah itu. Hampir semua penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) di Bantul dan sekitarnya ditampung di kompleks tersebut. Sebelumnya, Habib hanya "ngopeni" anak jalanan di rumahnya di Desa Gonjen, tidak jauh dari rumah singgah tersebut.
Di kompleks Hafara itulah Habib membina puluhan anak jalanan, keluarga pemulung, serta gelandangan psikosis. Saat ini, ada 25 anak jalanan (anjal) yang ditampung di Rumah Singgah Hafara.
Selain itu, masih ada 90 anjal yang menjadi binaan Habib. Hanya, mereka tidak mau tinggal di Hafara, tapi memilih hidup nomaden (berpindah-pindah). Meski begitu, mereka tetap berkomunikasi dengan Habib dan pengurus Hafara.
Lantaran hanya 25 anjal yang mau tinggal di rumah tinggal itu, merekalah yang dibina secara intensif agar tidak kembali ke jalanan. Mereka dididik formal di sejumlah sekolah negeri dan swasta di Jogja.
"Pendidikan bagi anak-anak itu menjadi cara saya untuk mencegah mereka hidup kembali di jalanan," tuturnya.
Untuk menyekolahkan mereka, Habib mengakui modalnya hanya nekat. Apalagi, sebelum menempati rumah tinggal tersebut, dirinya sempat mengalami kesulitan menghidupi mereka karena kondisi ekonominya yang pas-pasan. Habib, yang saat itu masih menjadi pemulung, mesti bekerja keras agar barang bekas yang dikumpulkannya laku dengan harga tinggi.
Berbeda dengan kondisi sekarang. Dengan sejumlah usaha pertanian dan perikanan yang digeluti, dia mampu menyekolahkan anak-anak asuhnya dengan baik. "Saya bersyukur, sekarang kondisinya terus membaik. Anak-anak bisa tenang bersekolah," tuturnya.
Niat Habib mengentas anak-anak jalanan itu tidak lepas dari latar belakang kehidupannya yang serba kekurangan. Pria kelahiran 1 Februari 1978 tersebut pernah merasakan penderitaan menjadi orang yang hidup di jalanan. Bertahun-tahun menjadi pemulung, dia menggambarkan masa-masa tersebut sebagai masa kelam.
Pada 2004, untuk kali pertama Habib tertangkap petugas trantib. Dia ditangkap saat tidur di pinggir jalan. Dia disangka gelandangan yang tidak punya tempat tinggal.
Dari penangkapan itulah, penderitaan makin lengkap. "Saya digaruk (dirazia) dengan menggunakan truk sampah," kenangnya.
Menurut Habib, perlakuan yang dialami saat ditangkap sangat tidak manusiawi, termasuk ketika berada di penampungan dinas sosial. Begitu selesai dibina, dia dilepas dan beroperasi lagi menjadi pemulung. Lalu, ditangkap lagi. Begitu beberapa kali terjadi. Pemkab belum mempunyai solusi untuk mengatasi para anjal dan gelandangan.
Namun, pengalaman pahit ditangkap berkali-kali itu menginspirasi dirinya untuk berubah. Habib ingin mengubah nasib. Karena itu, dia bertekad mentas dari jalanan dan hidup normal.
Benar saja, setelah hasil memulungnya cukup untuk menikah, Habib mempersunting perempuan pujaannya, Sulastri. Bersama istri tercinta itu, dia membangun rumah tangga sederhana.
Tekad untuk membantu sesama orang jalanan semakin besar begitu dia punya rumah sendiri. Dia lalu mulai mengumpulkan satu demi satu anjal untuk ditampung di rumahnya.
Tidak mudah meyakinkan anak-anak itu untuk lepas dari jalanan. Terlebih, sebagian sudah tidak punya orang tua. "Bagi yang masih punya orang tua, saya dekati orang tuanya. Lalu, saya ajak mereka bergabung di rumah saya," tuturnya.
Pelan tapi pasti kerja keras Habib dan istrinya membuahkan hasil. Seiring dengan makin banyaknya anjal yang mau bergabung, makin sempit pula rumah tinggal Habib untuk menampung mereka. Karena itu, pada 2010 Habib berinisiatif untuk membuat rumah tinggal yang luas di Desa Brajan. "Yang kami pakai ini tanah kas desa. Kami menyewa dan diperpanjang setiap dua tahun," ucapnya.
Dengan tanah yang luas, Habib mulai membangun rumah-rumah sederhana untuk menampung anak-anak asuhnya. Mereka tidak hanya disekolahkan. Tapi, juga dibina moral dan tata kramanya. Untuk menangani anak-anak itu, Habib dibantu 12 sukarelawan.
Untuk menghidupi anak-anak asuhnya tersebut, Habib membuat beberapa usaha. Mulai pembibitan ikan lele dan nila, produksi jamur tiram, hingga kebun sayuran. Dia bersyukur hasil ikan maupun sayurannya laris manis. Melalui usaha tersebut, dia juga mengajari anak-anaknya berwirausaha agar kelak bisa hidup mandiri.
Sejak menempati rumah tinggal yang lebih representatif tersebut, bantuan dari donatur mulai berdatangan. Operasional panti sosial itu pun makin baik. Bahkan, Habib mulai merambah usaha sosial lain, yakni jasa penyewaan dua mobil ambulans.
"Yang itu masih nyicil," ujarnya seraya menunjuk mobil Daihatsu Gran Max berlogo Hafara Team Rescue yang parkir di sebelah asrama putri. Sebuah mobil lainnya merupakan bantuan dari Pemkab Bantul.
Anjal yang telah dewasa diajari menyetir mobil dan diberi tugas untuk menyopiri dua ambulans tersebut bila ada yang membutuhkan. Dua mobil itu didedikasikan untuk masyarakat yang membutuhkan. Jika ada kondisi darurat, masyarakat bisa memanggil ambulans tersebut secara gratis 24 jam sehari.
Bukan hanya untuk warga, ambulans tersebut juga menjadi sarana antar jemput anak-anaknya saat sekolah. Dia khawatir, jika tidak diantar jemput, anak-anak kembali ke jalanan. "Dulu pernah sekali tidak dijemput, ada yang ngamen lagi," ujarnya.
Selain anjal, Habib memberikan tempat tinggal bagi keluarga pemulung yang tidak memiliki rumah. Mereka dibangunkan gubuk-gubuk kecil sebagai tempat tinggal. Di lahan tersebut juga disediakan tempat untuk mengepul barang bekas hasil memulung.
Dia juga menampung gelandangan psikosis. Secara bergiliran, mereka diinapkan di rumah sakit jiwa selama tiga bulan. Jika ada yang dinyatakan sembuh, mereka ditempatkan di gubuk-gubuk bersama para pemulung. Saat ini Habib merawat 18 orang penderita psikosis.
Habib masih memiliki impian yang belum terwujud. Dia ingin membeli tanah yang luas, kemudian membaginya dalam petak-petak dan mewakafkannya untuk anak-anak asuhnya yang sudah dewasa dan bisa hidup mandiri.
"Mereka nanti bisa membangun rumah di situ dan tinggal bertetangga dengan teman-temannya yang dulu juga menjadi anak jalanan," tandasnya. (*/c5/c10/ari)
BACA JUGA: Konsisten Jaga Mutu dan Bikin Pertunjukan Eksperimental
BACA ARTIKEL LAINNYA... Istri Maklumi Suami Bagi Kasih Sayang dengan Kuda
Redaktur : Tim Redaksi