Konsisten Jaga Mutu dan Bikin Pertunjukan Eksperimental

Kamis, 19 September 2013 – 07:12 WIB
WAKTU BATU: Salah satu lakon Teater Garasi yang menyedot perhatian dunia seni pertunjukan Indonesia. Teater garasi for jawa pos

jpnn.com - Usia 20 tahun bukan waktu yang singkat bagi perjalanan sebuah kelompok teater. Itulah yang dialami Teater Garasi yang telah bermetamorfosis dari sebuah komunitas mahasiswa pencinta teater di Jogjakarta menjadi kelompok seni pertunjukan papan atas Indonesia. Sejumlah capaian internasional pun mereka torehkan. 

BAYU PUTRA, Jogjakarta 

BACA JUGA: Krisis Ekonomi Tidak Membuat Pengusaha Kendur

PAPAN kecil kuning berdiri tegak di ujung gang di Jalan Bugisan Selatan, Bantul, Jogjakarta. Di gang selebar 2 meter itu, terletak markas besar Teater Garasi yang tersamar oleh aktivitas bengkel mebel kayu di bagian depannya.

Sepintas tidak tampak atmosfer seni di rumah kecil itu. Hanya sebuah pendapa terbuka berukuran 7 x 8 meter di bagian depan rumah. Rupanya, pendapa berlantai ubin itulah pusat aktivitas Teater Garasi sejak didirikan hingga saat ini. Pendapa tersebut pernah roboh terkena guncangan gempa bumi pada 2006.

BACA JUGA: MRT Jadi Andalan, tapi Kekumuhan Ada di Mana-Mana

Di ruang tamunya yang juga kecil, hanya ada meja bundar dengan empat kursi yang mengitari. Ruang tamu itu lebih menyerupai perpustakaan mini. Sebab, ratusan buku tersusun rapi di rak-rak yang mengelilingi dinding di ruangan tersebut.

Setelah diamati lebih jauh, buku-buku itu bukanlah sembarang buku. Kebanyakan buku tentang seni pertunjukan, seni rupa, sastra, budaya, dan pariwisata. "Boleh dibilang, perpustakaan ini merupakan salah satu perpustakaan buku-buku seni terlengkap di Indonesia," tutur Direktur Bisnis dan Keuangan Teater Garasi Kusworo Bayu Aji ketika Jawa Pos dolan ke markas Garasi pekan lalu.

BACA JUGA: Istri Maklumi Suami Bagi Kasih Sayang dengan Kuda

Salah seorang pendiri Teater Garasi itu tampak bersemangat saat menceritakan perjalanan 20 tahun kelompok seninya. Bersama dua rekannya, Yudi Ahmad Tajudin dan Puthut Yulianto, Kusworo mendirikan Teater Garasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM pada 4 Desember 1993.

Semangat idealisme yang tinggi membuat para penggawa Teater Garasi enggan meninggalkan komunitasnya meski telah lulus kuliah. Mereka malang melintang di teater kampus pada 1993"1998. Baru pada 1999 mereka keluar dari kampus dan menyatakan diri sebagai kelompok teater independen nirlaba.

"Waktu itu, kami menyebut Teater Garasi sebagai laboratorium penciptaan teater," kenang Kusworo.

Karena berawal dari mahasiswa pencinta teater, aktivitas Teater Garasi pun tidak jauh-jauh dari dunia akademis, yakni riset. Ya, riset menjadi salah satu ciri khas kelompok teater itu.

Mereka selalu melakukan penelitian mendalam setiap menciptakan garapan baru. Tepatnya setiap melakukan eksperimentasi teater baru. Baik dalam pembuatan naskah, penciptaan tokoh-tokoh, setting lakon, hingga model pendekatan garapannya.

Tidak jarang, riset tersebut memakan waktu cukup lama, bahkan hingga tahunan. Lakon berjudul Waktu Batu, misalnya, digarap melalui riset panjang pada 2001"2004 dan menghasilkan tiga seri pertunjukan Waktu Batu. Lakon yang menggambarkan problem identitas masyarakat Indonesia pada era modern tersebut terinspirasi mitologi Jawa.

Waktu Batu#3 (2004) yang disutradarai Yudi Ahmad Tajudin pernah dipentaskan di Singapura, Berlin (Jerman), dan Morishita Studio Jepang. Karya lainnya, Je.ja.l.an (2008) juga pernah manggung di Negeri Sakura. Tentu saja setelah dipentaskan di tanah kelahirannya (Jogjakarta) dan Jakarta untuk memantangkan.
 
Hingga kini, sedikitnya sudah sembilan lakon Teater Garasi yang pernah "mengguncang" dunia teater tanah air. Selain tiga lakon Waktu Batu (2001"2004), Garasi sukses mementaskan Endgame karya Samuel Beckett (1998 dan 2013), Repertoir Hujan (2000), Mnem(a)syne (2006), J. e.ja.l.an (2008), Tubuh Ketiga (2010), serta Goyang Penasaran (2011"2012).
 
"Itu tidak termasuk lakon-lakon yang kami bawakan semasih menjadi teater kampus, lho," ujarnya.
 
Menurut Kusworo, Teater Garasi tidak mengikuti pakem aliran tertentu. Mereka mempertontonkan seni teater dalam berbagai bentuk sesuai dengan tema garapan yang diusung.
 
"Kami membuat naskah, baru menentukan aliran mana yang akan digunakan untuk mementaskan naskah tersebut," terangnya.
 
Pijakan bermain Teater Garasi itu berbeda dengan kebanyakan kelompok teater pada umumnya yang menetapkan aliran yang dipakai, baru mencari lakon yang cocok. Cara pentas yang tidak fokus pada pakem tertentu seperti Teater Garasi itulah yang membuat kelompok tersebut mendapat perhatian dari kalangan pencinta seni pertunjukan. Penonton tidak akan pernah tahu cara pendekatan apa yang akan ditampilkan Garasi untuk setiap lakon hingga pertunjukan dimulai.
 
Kusworo masih ingat, kali pertama Teater Garasi pentas pada 1995 di Gedung Purna Budaya, Bulaksumur. Kala itu, penonton langsung membeludak. Gedung berkapasitas 600 orang penuh sesak.
 
Sejak itu, hampir setiap pertunjukan Teater Garasi ditunggu penonton. Sebab, mereka selalu menciptakan model-model pementasan yang berbeda, eksperimental, dan fresh. Tidak jarang pergelaran mereka menimbulkan kontroversi dan perdebatan dalam wacana penciptaan karya.
 
Sebagai kelompok teater yang konsisten pada filosofi pertunjukannya, Garasi telah melahirkan banyak seniman teater. Sayangnya, mereka "lupa" mendata siapa saja alumnus yang pernah berguru di laboratorium teater tersebut.
 
"Sebenarnya perlu juga ya kami data mereka yang pernah tumbuh di Teater Garasi," ucap Kusworo seraya merapatkan kedua tangan di belakang kepala.
 
Teater Garasi membebaskan setiap anggotanya untuk berkreasi sendiri, membentuk kelompok-kelompok baru di bawahnya, dan mengembangkan kemampuannya. Tujuannya, membuat Teater Garasi menjadi milik bersama. Tidak menjadikan sosok tertentu sebagai ikon, seperti halnya Nano Riantiarno di Teater Koma, Putu Wijaya di Teater Mandiri, atau Butet Kartaredjasa di Teater Gandrik.
 
Dengan begitu, nama Teater Garasi akan tetap ada meski nanti sudah tidak memiliki penggawa lagi. "Tapi, saat mereka keluar, mereka jadi orang," ucapnya. Proses itu dimulai sejak 2007.
 
Sejak awal 2013, mereka mencanangkan diri sebagai Garasi Performance Institut. Yaitu, inisiatif kolektif seniman Teater Garasi yang bertujuan menciptakan lingkungan kreatif yang berkelanjutan bagi seniman pertunjukan di Indonesia dan Asia. Tujuan itu diupayakan melalui penyelenggaraan program-program penyebaran dan pertukaran pengetahuan serta seniman tinggal.
 
Menjelang ulang tahun ke-20, Teater Garasi mendapat kado istimewa. Mereka memperoleh Prince Klaus Awards, sebuah penghargaan yang diberikan Prince Klaus Fund, organisasi terkemuka yang bermarkas di Amsterdam yang mendedikasikan programnya pada kebudayaan dan pembangunan.
 
Penghargaan itu diberikan atas kualitas kerja Teater Garasi yang prima dan sumbangsih yang signifikan terhadap pengembangan lingkungan. Bersama 10 individu dan organisasi lain dari berbagai belahan dunia, Teater Garasi akan menerima penghargaan tersebut pada akhir tahun ini.
 
"Kami tidak pernah mendaftarkan diri. Yang mendaftarkan itu agen Prince Klaus Fund yang memang disebar di berbagai negara," ungkap Kusworo. (*/c5/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Program Pertama, Sepuluh Siswa Pedalaman ke Ibu Kota


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler