BI Intervensi, OJK Hindari Spekulasi

Rabu, 17 Desember 2014 – 07:33 WIB
Rupiah terus melemah. Foto: dok.JPNN

jpnn.com - JAKARTA - Pelemahan rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) dinilai sudah berada di luar batas kewajaran.

Kurs tengah Bank Indonesia (BI) kemarin (16/12) menunjukkan level Rp 12.900 per USD. Atau melemah 2,3 persen dibandingkan hari sebelumnya di posisi Rp 12.599 per USD.

BACA JUGA: Jaga Agar Dana di Pasar Obligasi dan Saham Tidak Hengkang

Anjloknya nilai tukar rupiah tersebut memicu otoritas moneter untuk kembali mengintervensi pasar keuangan dengan cara menambah suplai valuta asing (valas).
       
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengakui, intervensi BI terhadap pasar valas beberapa hari terakhir ini cukup besar. Misalnya meningkatkan pengelolaan likuiditas di pasar, dan mengerek intensitas lelang instrumen moneter seperti lelang sertifikat BI (SBI) tenor 9 bulan.

"Kami lihat pelemahan terlalu berlebihan. Makannya kami intervensi lebih banyak dan (nilai tukar) sudah kembali ke sekitar Rp 12.600 per USD. Kondisi kemarin (Senin, red) agak berat, tapi hari ini (Selasa, red) stabil," ujarnya di Kantor Kementerian Perekonomian, kemarin.
       
Merujuk data Bloomberg, rupiah kemarin sempat menyentuh level terendahnya di posisi Rp 12.938 per USD di pasar spot. Kemudian kembali melandai dan masuk ke posisi terkuatnya di Rp 12.650 per USD.
       
Di samping itu, tekanan juga terjadi di pasar obligasi. Berdasarkan laporan Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), kondisi yield atau imbal hasil obligasi Indonesia mencuat hingga 8,55 persen untuk surat berharga negara (SBN) acuan 10 tahun. Meningkat dibandingkan sehari sebelumnya yang berada di posisi 8,39 persen.
       
Perry menjelaskan, selain menjaga stabilitas di pasar valas, pihaknya juga mengintervensi pasar obligasi melalui pembelian di pasar sekunder. "Kami beli cukup besar. Senin (15/12) beli Rp 1,5 triliun dalam satu hari. Pagi ini (kemarin, red) kami beli hampir Rp 200 miliar. Tapi sekarang sudah tidak banyak yang lepas (obligasi)," ujarnya.
       
Pembelian SBN mencapai Rp 1,7 triliun dalam dua hari itu merupakan yang terbesar selama setahun terakhir ini. Meski, jumlahnya masih di bawah intervensi saat terjadi kontraksi ekonomi Mei-Juni 2013 silam.

BACA JUGA: Alihkan Subsidi BBM, Makin Yakin Kejar Target Proyek Besar

Yang jelas, menurutnya, kebijakan intervensi di pasar SBN cukup efektif memangkas yield SUN yang sebelumnya sempat mencapai level 8,7-8,8 persen.
       
"Yang perlu ditekankan, investor long term tetap stay. Yang jual besar itu investor short term, dan kemarin (Senin, red) memang ada penjualan SBN besar. Jadi kami belinya juga besar," terangnya.
       
Sejauh ini, tutur Perry, investor asing dengan portofolio jangka panjang cenderung terus memegang SBN. Sebab, mayoritas dari mereka lebih percaya terhadap fundamental ekonomi Indonesia. Misalnya optimisme terhadap current account deficit (CAD) atau defisit transaksi berjalan yang diprediksi turun dari akhir 2013 USD 29 miliar menjadi USD 25 miliar.
       
Sebaliknya, investor jangka pendek lebih banyak menjalankan aksi jual karena mereposisi portofolionya pada akhir tahun. "Biasanya awal tahun mereka mau balik lagi," tuturnya. Pada kuartal satu dan dua suplai SBN cenderung meningkat karena kementerian keuangan kembali menjual kembali SBN dalam rangka financing dari APBN tahun depan. "Kalau tahun ini target financing sudah tercapai, sehingga suplai dari SBN di pasar tidak terlalu banyak," jelasnya.

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, financial market saat ini tengah mengalami tekanan dipicu oleh antisipasi terhadap hasil rapat dewan gubernur The Federal Reserve atau bank sentral AS.

BACA JUGA: Curigai Ada Permainan di Pasar Uang

Rapat yang dikenal dengan Federal Open Market Committee (FOMC) itu digelar pada 16-17 Desember 2014. Dikabarkan bahwa pertemuan itu membahas arah kebijakan moneter AS pasca pembaikan pertumbuhan ekonomi di AS.

"Suku bunga AS yang sekarang 0,25 persen akan segera meningkat. Bisa di semester satu atau dua 2015. Jadi pasar lakukan antisipasi melalui pembelian dolar," ungkapnya.

Menurut Mirza, kontraksi ekonomi ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Namun juga melanda negara berkembang lain. Salah satu negara yang patut dicermati adalah Rusia. Jatuhnya rubel, mata uang Rusia hingga 48,8 persen year to date (ytd) memicu stabilisasi ekonomi oleh bank sentral Rusia. Yakni dengan menaikkan suku bunga acuannya hingga 650 basis poin (bps), dari 10 persen ke 17 persen.

"Yang pasti kita berbeda. Moneter kita lebih pruden. Pemerintah juga inisiatif dan displin melonggarkan ruang fiskal dan membuka investasi satu pintu untuk mengundang modal masuk ke Indonesia," jelasnya.

Di sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mengantisipasi pelemahan rupiah. Dari sisi pasar modal, Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad mengatakan, apabila indeks harga saham gabungan (IHSG) terus melanjutkan eskalasi, maka pihaknya siap menerapkan kebijakan untuk membeli kembali saham (buyback), dan menunda marked to market.

"Sudah ada peraturan kalau dalam tiga hari turun terus hingga 5 persen, maka kebijakan itu diberlakukan. Tapi mudah-mudahan tidak sampai (terjadi)," ungkapnya.

Menurut Muliaman, indikasi penurunan indeks sebetulnya terjadi di beberapa belahan negara lainnya. Misalnya indeks Nikkei Jepang yang drop 1,9 persen. Sementara indeks Strait Times Singapura yang anjlok 1,3 persen. Sementara Filiphina dan Jerman masing-masing drop 1,2 persen dan 2,7 persen.

Sedangkan indeks Inggris jatuh 1,87 persen. IHSG sendiri melemah 1,7 persen pada perdagangan Selasa pagi. "Artinya tidak hanya tercermin di nilai tukar. Tapi (kontraksi) juga di indeks pasar modal global terutama emerging market," paparnya.

Sementara itu, dalam hal industri keuangan, antisipasi yang dilakukan OJK adalah memperketat demand valas khususnya dolar AS melalui underlying. "Kami minta industri keuangan membantu agar tidak ada langkah yang bersifat spekulatif. Sementara ini memang belum ada indikasi spekulasi. Semua masih genuine demand," teranganya.

Ketahanan industri perbankan terhadap pelemahan rupiah juga dinilai cukup positif. Bank-bank kecil pada umumnya tidak memiliki eksposure valas karena bukan merupakan bank devisa. Sehingga, risiko terhadap pelemahan rupiah terhadap dolar AS kecil.

Sebaliknya, bank besar memiliki kemungkinan eksposure valas yang besar sehingga ada risiko. "Tapi kami sudah pantau seberapa terbuka dia (bank besar) dari eksposure. Dan mereka dalam keadaan baik. Semua under controlled," jelasnya. (gal)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Rupiah Melemah, Eksportir-Importir Terpukul


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler