jpnn.com - JAKARTA - Inflasi tinggi sepanjang Januari yang mencapai 1,07 persen dinilai belum kuat untuk mendorong Bank Indonesia (BI) kembali memperketat kebijakan moneternya. Karena itu, Rapat Dewan Gubernur BI pada 13 Februari diproyeksi akan mempertahankan BI Rate di level 7,5 persen.
Ekonom Citibank Asia Pacific Helmi Arman mengatakan, inflasi memang menjadi salah satu parameter yang menjadi acuan kebijakan moneter bank sentral. Namun, dalam beberapa bulan terakhir parameter current account atau neraca berjalan selalu menjadi acuan utama.
BACA JUGA: Dahlan Minta PTPN VIII Ekspor Jambu Citra
"Dengan membaiknya neraca dagang periode Oktober hingga Desember, BI kemungkinan akan menjaga BI rate tetap di level 7,5 persen bulan ini," ujarnya kemarin (10/2). Neraca dagang merupakan bagian utama dari current account.
BACA JUGA: Investasi Labil, Jumlah Tenaga Kerja Asing Menurun
Menurut Helmi, selain inflasi, hampir semua data perekonomian Indonesia yang dirilis pada awal Februari memberi sinyal positif bahwa kebijakan BI dan pemerintah untuk merespons defisit neraca berjalan sudah cukup baik. "Karena itu BI akan memberi waktu yang lebih panjang untuk melihat dampak kebijakan moneter yang sudah diambil sebelumnya," katanya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia yang sebelumnya banyak menderita defisit, sepanjang Oktober hingga Desember 2013 berhasil mencatat surplus dengan tren naik, mulai dari USD 0,03 miliar, USD 0,79 miliar, dan terakhir Desember lalu USD 1,52 miliar.
BACA JUGA: Separo IUP Clear and Clean
Selain itu, posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Januari 2014 kembali menembus USD 100,7 miliar, atau naik USD 1,3 miliar dari posisi akhir Desember 2013 yang USD 99,4 miliar. BI menilai jumlah cadangan devisa tersebut cukup kuat dalam mendukung ketahanan sektor eksternal dan kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.
Sementara itu, meski Januari lalu sempat dibayangi sentimen negatif akibat pengurangan stimulus atau tapering off oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS), rupiah yang pada akhir tahun lalu bergerak liar dan fluktuatif, sepanjang Januari dan Februari ini sudah lebih stabil. Demikian pula pasar modal yang mulai mencatat tren positif.
Senada dengan Helmi, Ekonom UBS Investment Research Edward Teather menambahkan, pada tahun 2014 BI Rate diperkirakan akan stabil di level 7,5 persen. Setelah itu pada 2015 BI Rate diproyeksi baru sedikit turun ke level 7,0 - 7,25 persen. "Kenaikan BI Rate sepanjang tahun lalu sudah cukup," ujarnya.
Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) yang juga mantan Gubernur BI Darmin Nasution menilai, langkah BI yang tahun lalu mengerek BI Rate sebesar 175 basis poin ke level 7,5 persen sebenarnya patut disayangkan karena menghambat laju pertumbuhan ekonomi. "Tapi, karena defisit current account memburuk, itu tidak banyak opsi kecuali menaikkan BI Rate," katanya.
Menurut Darmin, jika tren surplusnya neraca dagang bisa dipertahankan dan potensi guncangan eksternal akibat tapering off bisa dimitigasi dengan baik, kebijakan pengetatan moneter yang dilakukan BI dirasa sudah cukup. (owi/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... LPPNU: FCTC Memaksa Diversifikasi Tanaman Tembakau
Redaktur : Tim Redaksi