jpnn.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) bersikukuh uang elektronik merupakan alat pembayaran yang sah di mata hukum.
Meski bukan uang kartal berbentuk logam maupun kertas seperti UU No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, uang elektronik dalam bentuk kartu maupun akun virtual merupakan alat bayar yang menggunakan rupiah.
BACA JUGA: Penjelasan dari Jokowi soal Bayar Tol Pakai Uang Elektronik
”Rupiah itu ada yang bentuknya uang tunai, ada juga yang nontunai. Jika masyarakat bertransaksi dengan uang elektronik, kan sama saja dengan transaksi dengan perbankan. Bayar pakai kartu kredit, debit, transfer, semuanya nontunai tapi tetap rupiah sehingga itu sah,” ujar Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara, Jumat (13/10).
Dia menekankan, penyelenggaraan uang elektronik bertujuan memudahkan dan menghindarkan masyarakat dari tindak kejahatan.
BACA JUGA: Rupiah Berjaya di Perbatasan Indonesia-Papua New Guinea
Selain itu, aliran transaksi lebih mudah terlacak. Mirza memahami bahwa butuh waktu bagi masyarakat Indonesia untuk benar-benar menerima budaya transaksi nontunai.
Rencana penerapan wajib bayar tol secara nontunai tetap akan diberlakukan pada 31 Oktober 2017 sesuai kebijakan pemerintah.
BACA JUGA: Bank Bagikan Kartu Uang Elektronik Gratis Hingga 31 Oktober
Berbagai protes dari masyarakat tetap menjadi masukan, baik bagi bank, BI, badan usaha pengelola jalan tol, maupun pemerintah.
Namun, aturan tersebut tetap akan dilaksanakan sekalipun masih terjadi beberapa kendala dalam implementasinya di lapangan.
Sejumlah pihak memang mengajukan gugatan penerapan uang elektronik ke jalur hukum.
Pengguna jalan tol dan bus Transjakarta yang bernama Normansyah dan Tubagus Haryo Karbyanto melalui kuasa hukumnya dari Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) mengajukan permohonan keberatan atas Peraturan BI (PBI) Nomor 16/8/PBI/2016 tentang Perubahan Atas PBI Nomor 11/12/PBI/2009 Tentang Uang Elektronik.
Peraturan BI tersebut dianggap bertentangan dengan UU Mata Uang yang hanya mengatur mengenai uang kertas dan logam.
”Penolakan terhadap transaksi tunai adalah sebuah pembangkangan terhadap UU,” ujar kuasa hukum Fakta Azas Tigor Nainggolan dalam keterangan tertulis.
Selain itu, seorang advokat bernama David Tobing pernah melapor ke ombudsman.
Pengacara yang gemar melakukan adokasi layanan konsumen itu memprotes pengenaan biaya administrasi pengisian saldo (top up) uang elektronik.
Menurut David, top up uang elektronik seharusnya gratis. Jika ada biaya, semestinya tidak ditanggung konsumen.
”Seharusnya, yang diterima konsumen adalah efisiensi, bukan dikenakan biaya top up,” ucapnya saat melapor ke ombudsman pada 18 September lalu. (rin/c21/noe)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Minggu Depan, Bank Indonesia Hadirkan Kartu Khusus untuk Tol
Redaktur & Reporter : Ragil