BI Turunkan Suku Bunga Acuan, Begini Respons Presiden Direktur CBC

Senin, 24 Februari 2020 – 20:50 WIB
Presiden Direktur Centre For Banking Crisis (CBC) Achmad Deni Daruri. FOTO: Dok.pri

jpnn.com, JAKARTA - Di balik keputusan Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan (BI-7 Days Reserve Repo Rate), dinilai merugikan PT Bank Tabungan Negara (Persero/BTN) Tbk. Labanya dikhawatirkan tergerus.

Presiden Direktur Center for Banking Crisis (CBC) Achmad Deni Daruri menilai keputusan BI menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) dari 5% menjadi 4,75%, sangatkah tidak tepat.

BACA JUGA: Jokowi: Plafon KUR Naik jadi Rp 190 Triliun, Suku Bunga Diturunkan

“Terkesan kuat Bank Indonesia mengabaikan fakta bahwa likuiditas perbankan di Indonesia sudah sangat ketat,” tegas Deni Daruri dalam keterangan persnya di Jakarta, Senin (24/2).

Selanjutnya, Deni menyebut Bank BTN sebagai salah satu contoh. “Lihatlah permasalahan yang dihadapi oleh Bank BTN yang disebabkan oleh Loan to Deposit Ratio (LDR) yang sudah diatas 111 persen yang pada gilirannya menghantam labanya," ungkapnya.

BACA JUGA: Tingkat Suku Bunga di Australia Turun Jadi Satu Persen

Menurut Deni, dampak negatif dari penurunan tingkat suku bunga acuan, kerap diabaikan BI. Hal ini dapat terjadi, karena pembuat kebijakan moneter menganggap cost capital sebagai paradigma utama kebijakan tingkat suku bunga, dalam konteks penyaluran pinjaman dan bukan memperhitungkan suku bunga pinjaman dan suku bunga tabungan sebagai sistem bejana berhubungan yang tak terpisahkan.

Selain itu, lanjutnya, penurunan tingkat suku bunga BI semakin menghilangkan kesadaran bahwa penurunan tingkat suku bunga seakan-akan tidak berbahaya dan bahkan terpuji untuk dilakukan.

BACA JUGA: Bidik Milenial, Ekonom Achmad Deni Daruri Garap Aplikasi Khatam Alquran

“Dalam hal ini, BI sangat konservatif tanpa memahami esensi penurunan tingkat suku bunga itu sendiri. Apa yang dilakukan BI dapat dikatakan sebagai langkah latah, mengekor apa yang dilakukan otoritas moneter RRC yang menurunkan tingkat suku bunga, karena krisis corona virus,” ungkapnya.

Selain itu, kata Deni, BI melupakan fakta dasar bahwa LDR dari perekonomian Indonesia sudah memasuki wilayah yang sangat berbahaya. Sehingga potensi sejumlah bank bakal mengalami masalah, cukup besar.

Berdasarkan hasil estimasi ekonometrik, kata dia, memperlihatkan bahwa penurunan tingkat suku bunga bagi perekonomian Indonesia melahirkan enam masalah baru.

Pertama, penurunan suku bunga BI memberikan dampak kepada tingkat suku bunga mengalami tren penurunan secara akumulatif dari kuartal pertama hingga kuartal keduabelas.

"Kedua, penurunan tingkat suku bunga Bank Indonesia akan memberikan dampak negative secara akumulatif bagi pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedelapan hingga kuartal kedua belas, di mana akumulasinya penurunan yang semakin dalam dengan berjalannya waktu," ungkapnya. 

Ketiga, tutur Deni, penurunan tingkat suku bunga BI memberikan dampak negatif secara akumulatif bagi konsumsi swasta pada  kuartal ketujuh hingga kuartal keduabelas dengan akumulasi penurunan yang makin dalam dengan berjalannya waktu.

“Dengan demikian, penurunan tingkat suku bunga terlebih dahulu memukul konsumsi swasta sebelum akhirnya memukul pertumbuhan ekonomi,” tuturnya.

Keempat, penurunan tingkat suku bunga Bank Indonesia akan membuat Financial Account dalam Balance of Payments menjadi defisit secara akumulatif dari kuartal pertama hingga kuartal kesebelas dengan puncak defisit terjadi pada kuartal keempat

Kelima, penurunan tingkat suku bunga Bank Indonesia akan menekan Current Account dalam Balance of Payments untuk menjadi defisit.

"Tekanan deficit tersebut secara akumulatif menjadi semakin besar dengan berjalannya waktu. Berbeda dengan Financial Account yang puncak defisitnya terjadi pada kuartal keempat, pada Current Account puncak defisitnya terus bergerak meninggi dengan berjalannya waktu,” beber Deni,

Keenam, masih kata Deni, penurunan suku bunga BI membuat real effective exchange rate Indonesia semakin tidak kompetitif secara akumulatif pada kuartal keempat hingga keenam.

“Periode paling tidak kompetitifnya terjadi pada kuartal ketiga,” ungkapnya.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler