Biaya Isi Ulang Uang Elektronik Dinilai Kurang Tepat

Sabtu, 16 September 2017 – 07:43 WIB
Jasa Marga bakal berlakukan transaksi e-toll card di seluruh pintu tol. Foto dok JPG

jpnn.com, JAKARTA - Saat ini pemerintah masih dalam tahap edukasi mengenai Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT).

Karena itu, rencana pengenaan biaya isi ulang kartu uang elektronik dinilai kurang tepat. Pasalnya, biaya isi ulang itu bakal membebani masyarakat.

BACA JUGA: Pemerintah Kerja Ekstra Giat, Rupiah Pasti Berdaulat

Jika isi ulang uang elektronik langsung dikenakan, masyarakat bisa jadi tidak akan tertarik untuk menggunakan uang elektronik.

Pada beberapa titik isi ulang, masyarakat memang sudah dikenakan biaya. Di halte Transjakarta misalnya, setiap isi ulang kartu uang elektronik dikenakan biaya Rp 2 ribu.

BACA JUGA: Kontrak Baru Wika Sudah Capai Rp 94 triliun

Selaku otoritas yang menangani sistem pembayaran, Bank Indonesia (BI) pernah menyebutkan kemungkinan biaya isi ulang uang elektronik antara Rp 1.500 sampai Rp 2 ribu.

Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, perlu ada kajian yang lebih mendalam mengenai pengenaan biaya isi ulang ini. Sebab, meski murah, tidak semua orang mampu membayar biaya isi ulang tersebut.

BACA JUGA: BAV Dorong Pelaku Usaha Mikro Makin Mandiri

"Buktinya, di stasiun commuter line masih banyak antrean orang menukarkan Tiket Harian Berjaminan (THB). Artinya banyak orang yang merasa beli kartu uang elektronik Rp 25 ribu itu mahal. Kalau mereka masih dibebankan biaya isi ulang, akan berat," katanya kemarin (15/9).

Menurutnya, masyarakat tidak seharusnya dibebankan biaya infrastruktur GNNT. Hal itu seharusnya ditanggung oleh perbankan yang memang memiliki belanja modal untuk menciptakan pasar bisnis uang elektronik.

Direktur Program Elektronifikasi Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI mengaku, awalnya BI memang menargetkan aturan pengenaan biaya isi ulang uang elektronik pada Juli.

Namun hingga saat ini Peraturan BI (PBI) yang dijanjikan belum keluar. "Kami masih kajian soal itu. Tahun ini PBI-nya akan keluar," ungkapnya.

Menurutnya, bank butuh stimulus agar mau mendukung GNNT. Sehingga, memberi ruang bagi bank untuk mendapatkan keuntungan dari bisnis uang elektronik adalah hal yang wajar.

Presiden Direktur PT Bank BCA Syariah John Kosasih mengaku, selama ini bank memang tidak mendapatkan keuntungan sama sekali dari bisnis uang elektronik. Pada hakikatnya, bisnis uang elektronik adalah edukasi untuk manfaat jangka panjang.

"Kalau ada halte Transjakarta yang mengenakan biaya isi ulang uang elektronik, itu yang menerima ya pihak Transjakarta, bukan bank. Kami enggak dapat apa-apa. Kami tunggu saja aturan BI akan seperti apa nanti," urainya.

Pengamat perbankan Paul Sutaryono menilai, biaya isi ulang kartu uang elektronik akan menjadi sumber pendapatan berbasis biaya (fee based income) bagi bank.

Hal itu diperlukan untuk mengimbangi pendapatan bunga yang terus menurun. Bagi bank, hal itu baik untuk meningkatkan profitabilitas.

Namun, bank punya pesaing yaitu perusahaan start-up. Start-up tersebut juga masuk ke bisnis uang elektronik, namun yang berbasis server, bukan berbasis kartu. Sejauh ini tidak ada biaya yang dikenakan untuk isi ulang akun uang elektronik pada start-up tersebut.

Jika bank mengenakan biaya isi ulang pada produk uang elektroniknya, bisa jadi bank akan kalah bersaing.

"Sudah saatnya bank memerhatikan perkembangan perusahaan start-up yang bakal menjadi pesaing berat. Ini tantangan serius bagi bank, terutama dalam hal teknologi," ujarnya.

Terkait dengan pengenaan biaya top up e-money, Gojek yang pada Rabu lalu (13/9), sempat menyebarkan pemberitahuan tentang pemotongan nilai pengisian saldo Go-pay sebesar Rp2.500 melalui Bank Mandiri, telah mengkonfirmasi bahwa rencana tersebut tak jadi diberlakukan.

"Hal ini dilakukan atas kesepakatan Bank Mandiri dan Go-pay," ujar Manager of Public Relation Gojek Rindu Ragilia.

Menurut Rindu, dalam melakukan top-up, pelanggan dapat memanfaatkan berbagai metode, baik melalui mitra pengemudi maupun mitra bank dan jaringan ATM.

"Setiap metode top-up memiliki kebijakan yang berbeda terkait pengenaan biaya transaksi dan administrasi, termasuk pembebasan biaya," pungkasnya. (rin/agf/tau/res)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Wika Bukukan Kontrak Baru Capai 91 Persen dari Target 2017


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler