Biaya Logistik Nasional Masih 24 Persen

Tergolong Tinggi di Asia Tenggara

Rabu, 22 Oktober 2014 – 07:51 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Biaya logistik nasional dinilai masih sangat tinggi sehingga belum mampu mendongkrak daya saing produk Indonesia di era perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).

Pemerintahan baru Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) harus bekerja keras untuk menurunkannya.
       
Staf Ahli Bidang Logistik dan Multimoda Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Sugihardjo mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir negara tetangga di kawasan Asia Tenggara sudah mampu melaksanakan efisiensi sehingga biaya logistik beransur-ansur turun. Sementara biaya logistik di Indonesia tidak banyak bergerak.

BACA JUGA: Bank DKI Ingin Beli Saham Bank NTT

"Bicara daya saing, logistik performence index kita sekarang rangking 59 dari 155 negara, tapi biaya logistik tiga tahun terakhir masih 24 persen dari PDB (product domestic bruto)," kata Sugihardjo, kemarin (21/10).
       
Dia mencontohkan, ongkos pengiriman via darat di Indonesia jauh lebih mahal dibanding Malaysia.

"Dengan jarak yang sama sekitar 55 kilometer, dari Pasir Gudang ke Tanjung Pelepas di Malaysia biayanya sekitar USD 450 dengan waktu 1-2 jam. Sementara biaya logistik yang dibutuhkan untuk satu kontainer dari Cikarang ke pelabuhan Tanjung Priok biayanya USD 600 dan memakan waktu 4-8 jam perjalanan, apalagi kalau macet," katanya.
       
Bukan hanya perjalanan darat yang memakan biaya dan waktu, pengiriman barang melalui jalur laut juga sangat mahal. Ongkos pengapalan dari Padang menuju Tanjung Priok sebesar USD 600 per kontainer, sementara ongkos pengapalan dari Singapura ke Tanjung Priok hanya USD 185 per kontainer.

BACA JUGA: Kemenpera Estimasikan Backlog Perumahan Tuntas 2030

"Ini memunculkan kekhawatiran pada saat MEA nanti kita hanya akan menjadi penonton saja," sebutnya.
       
Sugihardjo juga menilai bongkar pasang dan penyandaran kapal di pelabuhan memakan waktu yang cukup lama. Pelabuhan Indonesia (Pelindo), lanjutnya, masih memiliki rata-rata bongkar pasang dan keluar masuk pelabuhan sekitar tiga hari dari idealnya hanya dua hari.

"Selama ini kita memang lebih konsentrasi terhadap pergerakan orang, tapi bagaimana pergerakan barang tidak di perhatikan. Padahal pergerakan barang sangat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional," tukasnya.
       
Untuk menekan biaya logistik, kata Sugihardjo, jalan satu-satunua hanyalah membangun infrastruktur yang memadai. Harus dibangun jalan tol khusus yang menghubungkan kawasan industri dengan pelabuhan. Disamping itu, perlu juga diperbanyak jumlah pelabuhan. Setidaknya ada satu pelabuhan setiap 40 kilometer garis pantai.

BACA JUGA: Bambang Lengser, Teman Kuliah Jokowi Pimpin Perhutani

"Sistem logistik nasional juga harus didukung pengembangan teknologi informasi, seperti national single windows dan Inaport," katanya.
       
Wakil Ketua bidang Logistik Kadin Carmelita Hartoto menilai kontribusi biaya logistik yang 24 persen dari PDB (product domestic bruto) merupakan angka yang sangat fantastis jika dibandingkan negara-negara lain.

"Kita harus mengakui bahwa saat ini Singapura, Malaysia, Vietnam dan Thailand adalah empat negara yang memiliki system logistik lebih" baik di kawasan Asean, jadi kita harus waspada dengan mereka," tandasnya.
       
Hingga saat ini, kata dia, sejumlah hambatan masih terjadi yang meliputi buruknya kondisi infrastruktur, alat angkut penunjang logistik serta kondisi regulasi logistik yang belum mendukung kepentingan industri.

Oleh karena itu, pada pemerintahan baru ini, pihaknya berharap ada keseriusan untuk membenahi Sistem Logistik Nasional (Sislognas) yang sudah ada.

"Kita sudah tidak memiliki waktu panjang untuk membenahi logistik nasional," jelasnya. (wir/agm)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dicopot jadi Dirut Perhutani, Bambang Bantah Terkait Kasus Suap


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler