Biaya Mahal, Kualitas Pas-pasan

Mendikbud Akui Kelemahan RSBI

Kamis, 02 Februari 2012 – 07:32 WIB

JAKARTA - Tingginya biaya pendidikan seharusnya diimbangi dengan kualitas yang mumpuni. Hal itu, tampaknya, belum terjadi pada rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) yang ada di tanah air.

Dalam rapat kerja (raker) dengan komisi X DPR kemarin, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh mengakui, kualitas RSBI masih jauh dari mengesankan. Justru yang mencuat adalah stigma bahwa RSBI adalah sekolah bertarif internasional alias mahal.

Meski begitu, Nuh menyatakan bahwa program RSBI bakal jalan terus. "Meski belum selesai, yang saya tangkap anggota dewan bukan untuk membubarkan RSBI. Tetapi, memperkuat sistem evaluasi RSBI," ujarnya.

Mahalnya biaya sekolah RSBI bukan tanpa alasan. Salah satunya karena 63 persen anggaran kebutuhan RSBI ditanggung pemerintah. Jika ingin RSBI murah, pemerintah harus menggelontorkan subsidi lebih besar. Sehingga beban yang ditanggung orang tua siswa bakal turun.

Saat ini kucuran subsidi pemerintah untuk setiap sekolah RSBI adalah Rp 300 juta per tahun. Total sekolah RSBI di semua jenjang adalah 1.305 unit. Berarti, subsidi yang dikeluarkan pemerintah Rp 391 miliar per tahun. Uang ini digunakan untuk biaya pemenuhan delapan standar minimal pendidikan. Mulai dari ruang kelas, bahan pembelajaran, kualitas guru, dan lain-lain.

Masalahnya, lebih dari separo uang yang dikantongi sekolah RSBI habis untuk pemenuhan infrastrutktur. Mulai dari pengadaan AC, keramik ruang kelas, pagar, laptop, dan lain-lainnya. "Sebagian besar untuk pemenuhan sarana prasarana  pendidikan. Sisanya baru untuk pembelajaran," kata Nuh.

Nah, disinilah letak borok pengelolaan keuangan sekolah berlabel RSBI. Gelontoran duit besar yang hanya difokuskan untuk pemenuhan sarpras pendidikan itu membuat tidak ada peningkatan laju kualitas pendidikan di RSBI yang signifikan. "Perbedaan kualitas pendidikan dengan SSN (Sekolah Standar Nasional, Red) tidak besar," kata mantan Menkominfo itu.

Nuh mengatakan, hasil evaluasi terhadap RSBI tingkat SD menunjukkan sekolah ini lebih bagus 12 % dibandikan dengan SD berlabel SSN. Dimana label SSN ini berada satu grade di bawah RSBI. Untuk tingkat berikutnya, SMP RSBI hanya lebih bagus 15 % dibandikan SMP berlabel SSN.

Selanjutnya, kadar kualitas pendidikan SMA RSBI tercatat sekitar 19 % diatas SMA berlabel SSN. Terakhir untuk jenjang SMK, Kemendikbud menemukan fakta jika SMK RSBI lebih bagus 20 % dibandingkan SMK SSN. "Secara umum memang RSBI lebih bagus. Tapi nilainya tidak besar," tegas Nuh.

Selain urusan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah berlabel RSBI yang tidak signifikan, Nuh juga sudah ancang-ancang melalakukan perbaikan RSBI lainnya. Diantaranya adalah, tudingan jika RSBI dalam prakteknya tidak memberikan 20 % kuota untuk siswa pandai tapi miskin.

Di bagian lain, anggota Komisi X Popong Otje Djundjunan mengatakan, dia mendapati ada sebuah RSBI di kawasan Bandung yang mulai luntur jiwa nasionalismenya. Politisi dari fraksi Partai Golkar itu mengatakan, kini para siswa dan guru di RSBI lebih bangga menggunakan bahasa Inggris. "Saat saya kesana, mereka ternyata juga salah saat mengibarkan bendera merah putih," tandasnya.

Dia menjelaskan, penghapusan RSBI bisa berdampak baik. Tetapi juga bisa berdampak negatif terhadap psikologi kepala sekolah, guru, siswa, hingga orang tua siswa. "Yang lebih penging evaluasi yang teliti. Saya sepakat usulan RSBI baru distop sampai urusan ini benar-benar beres," kata dia.

Anggota Komisi X DPR lainnya Dedi Gumelar mengatakan, di lapangan banyak ada salah sistem pada pendidikan di tanah air. Dia mengatakan, praktek RSBI ini menempatkan anak pintar di didik oleh guru-guru pintar dengan fasilitas pendidikan jempolan. Sebaliknya, siswa tidak pandai hanya bisa sekolah di sekolahan dengan kualtias kelas dua.

"Jadi yang pandai makin pandai. Yang tidak pandai, semakin goblok," katanya. Dia berharap, Kemendikbud lebih fokus untuk melakukan pemerataan pemenuhan delapan SPM. (wan/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kriteria Sertifikasi Tak Jelas


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler