Kriteria Sertifikasi Tak Jelas

Selasa, 31 Januari 2012 – 10:14 WIB

TASIKMALAYA – Sekitar 35 orang guru madrasah tsanawiah (MTs) dan madrasah aliyah (MA) se-Priangan Timur mendatangi sekretariat Sertifikasi Guru di gedung FKIP Sejarah Universitas Siliwangi, kemarin (30/1). Mereka mempertanyakan kriteria penilaian yang dilakukan panitia dalam pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG) atau sertifikasi guru.  

Alasannya, ada kesimpangsiuran informasi mengenai jumlah guru yang lolos dengan yang tidak. “Kami hanya ingin mengetahui kriteria ketidaklulusan itu seperti apa,” kata Rani Prihatin, salah seorang guru MA di Kabupaten Garut sebelum memasuki ruang sekretariat, kemarin (30/1).

Dia juga mempertanyakan status PLPG. Menurutnya, PLPG seharusnya berbentuk pelatihan sehingga memiliki keriteria yang jelas kelulusan guru yang ikut pelatihan. Rani dan teman-temannya menuding ada permainan data dari pihak panitia dalam pelaksanaan sertifikasi.

Seorang guru asal Tasikmalaya yang menolak menyebutkan namanya menyatakan, data Mapenda Kementerian Agama Kabupaten Tasikmalaya, menyebutkan ada sekitar 35 orang guru yang tidak lulus sertifikasi. Namun informasi tersebut berbeda dengan data yang diberikan panitia sertifikasi yang menyatakan hanya 3 orang guru di kabupaten yang tidak lulus sertifikasi. “Ini kan tidak jelas. Seolah ada kesengajaan untuk mendapatkan uang,” tandasnya, singkat.

Dikonfirmasi secara terpisah, koordinator lapangan PLPG Dedi Heryadi tidak bisa menjelaskan lebih rinci kriteria penilaian dalam PLPG tersebut. Menurutnya kriteria kelulusan mengacu pada buku acuan. Beberapa di antaranya nilai dari praktik mengajar tidak boleh kurang dari angka 65.

Proses penilaian sendiri menurutnya dilakukan oleh para instruktur yang ditunjuk langsung pemerintah. Mereka yang ditunjuk adalah para dosen dari Unsil, Universitas Galuh Ciamis, dan Uniga (Garut). Hasil penilaian kata dia dimasukkan dalam sebuah program yang menentukan lolos dan tidaknya guru yang bersangkutan.

“Penilaian kelulusan itu kan ada beberapa kriteria yang dipakai. Misalnya hasil workshop, seperti RPP, silabus kemudian ada proposal PTK. Itu semua dinilai oleh instruktur sesuai kriteria yang ada,” katanya.

Saat ini kata dia, untuk angka ketidaklulusan guru dalam PLPG yang dilakukan Unsil  berjumlah 22 orang. Selain itu dia mengaku tidak mengetahuinya. Sebab, kata Dedi, ada sebagian guru yang berada di bawah Kementerian Agama mengikuti PLPG di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Kota Tasikmalaya.

Dijelaskannya, ada beberapa mata pelajaran yang tidak bisa dilaksanakan di Unsil seperti seni budaya. “Kalau yang dilaksanakan di UPI saya belum bisa menjelaskan karena sampai sekarang masih proses,” tuturnya.

Disinggung tentang tuntutan para guru yang mempertanyakan adanya penentuan lulus dan tidaknya dalam sebuah pelatihan, Dedi tidak dapat menjawabnya. Alasannya, terlalu banyak buku yang mengatur tentang PLPG. Namun yang jelas, kata dia, pengambilan keputusan itu telah mengacu kepada peraturan yang terdapat di dalam buku.

“Kami di sini hanya pelaksana saja. Jadi kalau harus mengambil satu keputusan saya tidak bisa. Kalau sekarang mereka punya harapan (keinginan) silakan saja karena pada hakikatnya mereka itu bawahan Kementerian Agama atau Diknas,” pungkasnya. (pee)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Siswa Belajar dengan Atap Bolong


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler