jpnn.com, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan mayoritas publik menyambut positif wacana reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN. Hal itu sesuai dengan hasil survei lembaganya pada periode 2014-2019.
Dorongan terhadap gagasan itu juga datang dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Forum Rektor Indonesia, Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS), Organisasi Kemasyarakatan dan Organisasi Keagamaan mulai dari PBNU, PP Muhammadiyah, hingga Majelis Tinggi Agama Konghucu.
BACA JUGA: Bamsoet Ajak Masyarakat Sukseskan Vaksinasi Covid-19
Gagasan tersebut juga telah direkomendasikan MPR periode 2009-2014. Kemudian ditindaklanjuti MPR periode 2014-2019 dengan memunculkan gagasan melakukan amendemen konstitusi terbatas, yaitu dengan mengembalikan wewenang MPR untuk menetapkan pedoman pembangunan nasional model GBHN, yang dalam rekomendasi MPR 2014-2019 disebut dengan nomenklatur Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
"Aspirasi senada juga saya terima pada saat memenuhi undangan berbagai forum akademik yang diselenggarakan di beberapa perguruan tinggi di Jakarta, Bali, Aceh, Riau, dan Surabaya," ucap Bamsoet saat mengisi materi Latihan Keterampilan Manajemen Mahasiswa Tingkat Menengah (LK II) FH Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar secara virtual dari Jakarta, Selasa (3/8).
BACA JUGA: Arief Poyuono: Masih Ada Allah, Rakyat Jangan Cuma Andalkan Pemerintah
"Alasan yang paling kuat, karena saat ini pelaksanaan pembangunan nasional dianggap tidak berkesinambungan serta tidak memberikan peta arah dan haluan yang berkelanjutan bagi pembangunan nasional," lanjutnya.
Menurut mantan ketua DPR itu, dalam perspektif hukum administrasi negara, asas pokok penyelenggaraan pemerintahan adalah 'besturen is planen' atau memerintah adalah merencanakan, yakni menegaskan pentingnya makna sebuah perencanaan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
BACA JUGA: Reza Indragiri pun Bingung dengan Status Anak Akidi Tio, Ada 2 Misteri Ini
"Terlebih saat ini kita sudah menapakkan kaki pada tahap akhir periode pembangunan jangka panjang nasional 2005-2025. Sudah saatnya kita melakukan kontemplasi dan evaluasi mengenai perencanaan pembangunan nasional ke depan, agar dapat membawa kemanfaatan dan berdampak nyata bagi sebesar besarnya kesejahteraan rakyat," jelas Bamsoet.
Wakil ketua umum Partai Golkar ini menerangkan, bentuk hukum yang ideal bagi PPHN sebagai bintang penunjuk arah pembangunan bangsa adalah melalui ketetapan MPR, bukan melalui undang-undang (UU) yang masih dapat diajukan judicial review melalui Mahkamah Konstitusi. Juga bukan diatur langsung dalam konstitusi.
Karena PPHN adalah produk kebijakan yang berlaku periodik dan disusun berdasarkan dinamika kehidupan masyarakat, serta bersifat direktif, maka materi PPHN tidak mungkin dirumuskan dalam satu pasal atau satu ayat saja dalam konstitusi.
Menurut dia, pemilihan Ketetapan MPR sebagai bentuk hukum yang ideal bagi PPHN mempunyai konsekuensi adanya amendemen terbatas, sekurang-kurangnya berkaitan dengan dua pasal dalam konstitusi.
"Antara lain, penambahan ayat pada Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN, serta penambahan ayat pada Pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN yang diajukan oleh presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN," tutur Bamsoet.
Bamsoet mengatakan Pasal 37 Konstitusi mengatur secara rigid mekanisme usul amendemen konstitusi yang tidak dapat dilakukan secara serta merta, melainkan harus diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR atau paling sedikit 237 pengusul, diajukan secara tertulis, dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya, serta melalui beberapa tahapan sebagaimana diatur dalam Tata Tertib MPR.
BACA JUGA: 2 Pendamping Sosial Penilap Dana Bansos PKH Jadi Tersangka, Jumlah Uangnya Fantastis
"Dengan demikian, tidak terbuka peluang menyisipkan gagasan amendemen di luar materi PPHN yang sudah diagendakan. Seperti misalnya penambahan masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi tiga periode. Karena MPR RI juga tidak pernah membahas hal tersebut," terang Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI itu menggambarkan, secara substansi, PPHN hanya akan memuat kebijakan strategis yang akan menjadi rujukan atau arahan bagi penyusunan haluan pembangunan oleh pemerintah.
Selain itu, hadirnya PPHN sama sekali tidak akan mengurangi ruang kreativitas bagi presiden untuk menerjemahkannya ke dalam program-program pembangunan, dan justru menjadi payung yang bersifat politis bagi penyusunan haluan pembangunan yang bersifat teknokratis.
BACA JUGA: Temukan Fakta Baru Kasus TWK KPK, Komnas HAM Sampai Menunda Penyerahan Rekomendasi
Idealnya, lanjut Bamsoet, substansi PPHN harus dapat menggambarkan wajah Indonesia 50 tahun bahkan 100 tahun ke depan, mampu menjawab kebutuhan Indonesia di era milenial yang sangat dipengaruhi revolusi industri 4.0 dan era society 5.0.
"Mampu menjawab berbagai tantangan pembangunan serta mampu menggambarkan megatrend dunia yang meliputi kemajuan teknologi, dinamika geopolitik dan geoekonomi global, demografi dunia, perdagangan internasional, keuangan global, persaingan sumber daya alam, dan perubahan iklim, yang semuanya akan berpengaruh pada pembangunan Indonesia," pungkas Bamsoet. (*/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam