Bijak Bermedia Sosial dan Pertahankan Identitas Budaya, Saring Sebelum Sharing

Senin, 29 Januari 2024 – 09:31 WIB
Webinar Literasi Ditjen Aptika Kementerian Komunikasi dan Informatika. Foto: supplied

jpnn.com, JAKARTA - Penggunaan media sosial seperti WhatsApp, Instagram, Facebook, dan lain-lain perlu disikapi secara bijak untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan.

Wakil Ketua DPR Bidang Korpolkam Lodewijk F Paulus mengatakan media sosial perlu digunakan dengan bijak di era keterbukaan dengan tidak mengubah budaya Indonesia yang toleran dan ramah.

BACA JUGA: Media Sosial X Ditengarai Merugi Puluhan Juta Dolar AS Gegara Ini

"Kita, Indonesia terkenal dengan orang yang toleran ramah, tetapi, jangan gara-gara keterbukaan ini kita berinteraksi dalam media sosial, lalu kearifan lokal yang selama ini tertanam kepada kita menjadi hilang," ujar mantan Pangdam I Bukit Barisan itu dalam webinar Literasi Ditjen Aptika Kementerian Komunikasi dan Informatika pada Jumat (26/1).

Lodewijk menuturkan perubahan sosial pada masyarakat modern atau global pada umumnya lebih cepat terjadi dibandingkan masyarakat yang rasional, yaitu masyarakat heterogen yang memiliki sikap lebih terbuka kepada hal-hal yang baru.

BACA JUGA: Menjelang Pemilu 2024, Pemuda Mahasiswa Ganjar Mengajak Milenial Tangkal Hoaks di Media Sosial

"Kebudayaan masyarakat Indonesia yang sudah tertanam sejak dahulu bisa saja luntur akibat dampak globalisasi yang terus menerus berlangsung itu," tutur sekjen Partai Golkar ini.

Globalisasi sebagai sebuah keniscayaan bisa dihadapi dengan membentengi diri mempertahankan kearifan lokal dan memahami dampak negatif yang secara tidak langsung mempengaruhi karakter.

BACA JUGA: Heboh Video Porno Pelajar Wanita Tulungagung, Polisi Selidiki Penyebarnya

"Karakter itu dari mindset, dari pikiran, akhirnya menjadi tindakan. Lalu tindakan menjadi kebiasaan. Kebiasan itu yang membentuk karakter kita," jelasnya.

Media sosial juga memberi dampak negatif yang dinilai dapat menurunkan kemampuan sosial, menyebarnya cyber bullying dan mengubah pandangan body image seseorang.

Gambar penampilan yang diidealkan di media sosial, cenderung mengalami citra tubuh negatif, membanding-bandingkan sehingga bisa menimbulkan sejumlah gangguan psikologi.

"Paling penting adalah menjaga privasi kita. Terbukanya data pribadi kita sekarang bisa bocor ke mana-mana," katanya.

Beberapa kondisi pelanggaran privasi marak dijumpai akibat terbukanya media sosial seperti kebocoran data, cyber-stalking, mengambil dan mengunggah foto ataupun video tanpa izin, serta mengabaikan hak cipta.

Berikutnya muncul fenomena Fear of Missing Out (FOMO) yakni adanya kecemasan ketika kita tertinggal berita atau tren atau sesuatu yang baru dan viral.

Namun, juga bagi Lodewijk, sebagai sebuah budaya baru hadirnya media sosial ibarat pedang bermata dua.

"Di satu sisi ada manfaat positif yang kita rasakan. Kecepatan komunikasi, mengembangkan hubungan dan jaringan sosial, membuka kesadaran informasi terbaru dan isu-isu penting," kata Lodewijk.

Media sosial juga menjadi wadah untuk mengekspresikan diri dan mengembangkan kreativitas.

"Saya berharap kita dapat menjadi agen untuk memberikan sosialisasi tentang etika bermedia sosial. Mulailah dari lingkungan diri sendiri," kata Lodewijk.

Praktisi Literasi Digital Mochamad Hadiyana mengatakan risiko hadirnya ekosistem teknologi.

Ekosistem teknologi itu di antaranya internet of things, teknologi seluler generasi atau 5G, cloud computing, big data analytic dan terbaru adalah artificial intelligence (AI).

"Digitaltisasi ini menyebabkan penggunaan teknologi digital data dan interkoneksinya, mengubah aktivitas yang ada saat ini ataupun memunculkan aktivitas-aktivitas baru," kata Hadiyana.

Dia menuturkan digitalisasi ini mentransformasi budaya Indonesia.

"Dalam belanja misalnya, kita bisa melakukan pembelian suatu barang dari jarak dengan menggunakan pembayaran yang cashless, juga dengan cara belajar kita," urainya.

Dia menyebut saat ini telah memasuki revolusi industri, peradaban baru yang disebut masyarakat Society 5.0 atau Super Smart Society.

"Media sosial telah mengubah norma-norma nilai dan cara masyarakat berperilaku dalam kehidupan sehari-hari seperti etika moral dan budaya, cara berpikir bersikap dan bertindak," katanya.

Dia menambahkan media sosial juga dapat memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini publik terutama dalam konteks isu-isu sosial dan politik.

"Penggunaan medsos yang bijak dan bertanggung jawab itu diperlukan untuk memberikan dampak positif dalam masyarakat seperti meningkatkan konektivitas informasi dan partisipasi," katanya.

Dalam pandangan akademisi Dedi Darwis, kadang banyak sekali peluang dari sosial media ini digunakan sebagai lahan pekerjaan.

Karena itu, dia juga menyarakankan untuk membagikan konten yang positif, inspiratif, dan mendukung nilai-nilai sosial yang baik.

"Agar menghormati perbedaan dan menghindari perilaku yang merugikan, saring sebelum sharing," katanya. (rhs/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengamat Sebut Gibran Pertontonkan Atraksi Gimmick yang Tidak Patut dalam Debat


Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler