jpnn.com - Minat anak muda untuk menggeluti kewirausahaan semakin menggembirakan. Salah satunya, William Lautama. Alumnus Teknik Industri ITB ini beberapa kali mewakili Indonesia dalam event entrepreneurship internasional. September lalu William meraih penghargaan dari Global Entrepreneurship Summer School di Jerman.
Gunawan Sutanto, Jakarta
BACA JUGA: Di Indonesia Baru Terdeteksi Seorang, Itu pun Tinggal di Eropa
Penampilannya khas anak muda. Tangan kiri mengapit tas selempang, sementara tangan kanan menenteng tablet canggih produksi Amerika. Ketika ditemui di sebuah pusat perbelanjaan di kawasan Jakarta Utara, William tengah menikmati libur akhir tahun. Sejenak dia keluar dari rutinitasnya yang banyak dihabiskan di Bandung.
Di area foodcourt, William berbagi cerita seputar pengalamannya mengikuti sejumlah event entrepreneurship internasional. Salah satu yang membanggakannya adalah Global Entrepreneurship Summer School (GESS) yang diselenggarakan di Munich, Jerman, 18–26 September 2013.
BACA JUGA: Tergerak setelah Penasaran Lihat Kera Sedih Terus
Kompetisi kewirausahaan untuk mahasiswa berskala internasional tersebut digelar 4Entrepreneurship, sebuah institusi gabungan empat universitas di Munich. Ketika mendaftar untuk ikut kompetisi, William memang belum lulus dari ITB. Baru Juli lalu dia diwisuda dengan menggondol gelar sarjana teknik.
Di ajang itu William dinobatkan sebagai juara atas konsep bisnisnya yang berkaitan dengan pendidikan. ’’Saya adalah satu dari 35 peserta yang lulus seleksi dari seluruh mahasiswa dunia. Kebetulan saya satu-satunya perwakilan Indonesia,’’ ujarnya sembari menunjukkan foto-foto aktivitasnya di Jerman.
BACA JUGA: Sejak Bayi Dimanja, Hasilkan Mutiara Kelas Dunia
Dalam ajang pelatihan dan kompetisi calon wirausaha muda tersebut, panitia membagi 35 peserta menjadi sejumlah tim kecil yang beranggota 5-6 orang. Mereka lantas diadu untuk membuat konsep bisnis yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Sebab, GESS tahun ini mengangkat tema Rethingking Education.
’’Seru sekali mengingat diskusi saat itu. Sebab, anggota tim kan berasal dari negara-negara yang berbeda. Tentu persoalan pendidikan di negara mereka berbeda-beda. Persoalan bahasa di antara kami juga sedikit menjadi masalah,’’ jelas pemuda kelahiran 7 Januari ini.
Untuk membuat sebuah konsep bisnis yang berkaitan dengan edukasi tentu para anggota tim harus mencari persoalan-persoalan yang terjadi di dunia pendidikan. Di awal diskusi, William mengutarakan problem pendidikan di Indonesia, seperti kekurangan guru, terutama di daerah-daerah pelosok. Atau persoalan ekonomi keluarga yang kerap membuat pelajar akhirnya putus sekolah. ”Saya tidak sadar problem seperti itu kan tidak terjadi di negara-negara maju. Padahal, anggota tim saya kebanyakan dari negara maju,’’ papar pemuda 24 tahun itu. Anggota tim
William adalah Priscila (perempuan asal Argentina, Yara (perempuan dari Ukraina), serta Christian dan Melanie (keduanya dari Jerman).
’’Untuk memenangkan kompetisi, tentu kami harus membuat konsep bisnis yang merepresentasikan problem pendidikan secara general. Yakni, yang terjadi di negara mana pun,” jelasnya.
Akhirnya dari brainstorming yang panjang, tim yang diberi nama LoHoop (berasal dari kata Love dan Hope) tersebut memutuskan mengangkat konsep bullying (intimidasi).
Bullying dipilih sebagai tema konsep bisnis tim tersebut karena berangkat atas keprihatinan akan dampak bullying di ranah edukasi. Bullying dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai verbal, virtual, hingga kekerasan fisik. Efek bullying dapat menimbulkan luka fisik, gangguan psikologis, penurunan kinerja, bahkan bunuh diri. ”Bullying ini sudah menjadi isu internasional. Bahkan, di Indonesia banyak terjadi. Akibat di-bully, seorang pelajar memilih tidak melanjutkan sekolah,’’ ujar sulung dari dua bersaudara itu.
Dari tema tersebut akhirnya tim LoHoop membuat konsep bisnis dalam bentuk aplikasi mobile semacam ajang untuk curhat virtual. Aplikasi itu diperuntukkan beberapa platform perangkat bergerak. ”Mengapa kami putuskan membuat konsep aplikasi tersebut" Salah satunya karena korban bullying selama ini kerap tidak memiliki saluran untuk curhat. Mereka takut bercerita kepada orang tuanya. Kalaupun curhat ke teman, juga sering tidak memecahkan masalah,’’ jelas pemuda kelahiran Jakarta itu.
Tak disangka konsep bisnis itu akhirnya dinyatakan sebagai pemenang oleh panitia. William dan timnya pun mendapatkan undangan kehormatan dari Goethe Institut untuk menghadiri Cultural Innovators Network (CIN) yang diselenggarakan di Tunisia, 10–14 November.
Selama menempuh studi di ITB, keikutsertaan William pada event internasional bukan kali itu saja. Dua tahun sebelumnya dia juga terpilih untuk mengikuti kegiatan internasional terkait entrepreneurship di Singapura.
Pada Januari 2013 lalu William juga datang ke Hongkong setelah terpilih untuk mengikuti acara yang berkaitan dengan gerakan-gerakan yang membawa perubahan positif di berbagai negara. Undangan ini diperolehnya setelah menginisiasi gerakan pemberdayaan masyarakat di Cilincing, Jakarta Utara, dengan memberdayakan ibu-ibu untuk membuat dan menjual roti kukus.
Dengan dana Unilever Leadership Actions on Sustainability (ULAS), William dan sejumlah teman kuliahnya mengajari sejumlah ibu rumah tangga menciptakan pendapatan sendiri dari berjualan roti kukus dan susu kacang. Co-writer buku Proud and Rise itu pada Juli-Agustus 2013 juga mendapatkan undangan mengikuti agenda tahunan tentang science, London International Youth Science Forum 2013.
William mengakui, meskipun menimba banyak ilmu dengan mengikuti konferensi-konferensi internasional, dari segi menjalankan usaha dirinya masih pemula. ’’Kalau memulai usaha mandiri, sebenarnya sejak kuliah. Sebab, sejak kecil saya diajari mandiri oleh keluarga saya. Termasuk ketika saya kuliah, ditanamkan rasa malu untuk tetap meminta uang jajan. Dari situlah semangat entrepreneurship saya tumbuh,’’ terangnya.
Berbagai bisnis pernah ditekuni William sejak kuliah. Jatuh-bangun pun dia rasakan. Dia lantas tertawa mengingat saat dia bisnis gadget dan bangkrut karena ditipu orang. ’’Dari jatuh itu saya belajar. Makanya, semakin banyak jatuh jangan semakin menyerah, karena dari situlah kita belajar,’’ ujarnya.
Kini alumnus SMAK 5 BPK Penabur itu mengaku sedang menekuni bisnis kuliner dan kerajinan di Bandung. Dari serangkaian bisnis yang digelutinya itu, William mengaku bisa mandiri selama menempuh kuliah. Bukan hanya tidak meminta uang saku, tapi dia juga bisa membiayai kuliahnya sendiri. Meski banyak waktunya digunakan untuk belajar berbisnis dan memberdayakan masyarakat, kegiatan akademik William tak terganggu. Beberapa kali William mendapatkan beasiswa karena prestasi akademiknya memadai dan akhirnya lulus tepat waktu dari ITB. (noe/c2)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kurang Afdal bila Tak Kirim Kartu Ucapan
Redaktur : Tim Redaksi