HARYADI, Cilacap
Tangis dua perempuan berkerudung tidak bisa dibendung. Keduanya adalah kerabat pasangan Usman dan Munjiah, warga Desa Purwosari Kecamatan Wanareja, Cilacap, Jawa Tengah. Air mata juga tidak bisa ditahan dari mata Usman. Berkali-kali dia harus ditenangkan perawat saat memberikan keterangan kepada sejumlah wartawan pada Kamis (27/6) lalu.
Usman, seperti halnya orang tua yang memiliki anak dengan kelainan, merasa bingung. Apalagi, bayi tersebut memiliki dua kepala dan satu badan. Kasusnya masih sangat jarang terjadi di Indonesia. Terlebih lagi saat dokter spesialis kandungan di RSB Duta Mulya, Majenang, Jawa Tengah, menjelaskan kalau anak tersebut harus mendapatkan perawatan medis di rumah sakit besar.
Kondisi serbabingung dan dipaksa mengambil keputusan tepat membuatnya tidak bisa berpikir. Ditambah lagi kondisi ekonomi keluarga yang serba kekurangan. Sehari-hari Usman hanya membantu kakaknya yang membuka usaha pembuatan mebel berbahan kayu di desanya. "Uang ada, tapi tidak seberapa. Saya tidak tahu harus bagaimana," katanya lirih sembari terus mengusap matanya yang basah.
Kebingungan tersebut sebenarnya sudah dia rasakan dua pekan lalu. Saat itu, setelah memeriksakan istri ke bidan desa, dia disarankan memeriksakan janin ke dokter spesialis untuk USG.
Dia harus pontang-panting mencari pinjaman demi membawa istrinya dengan menyewa mobil. Rumahnya jauh terpencil di Desa Purwosari sehingga kesulitan itu makin menjadi."
Dia ingat betul pada Senin (24/6) atau dua hari sebelum hari kelahiran bayinya. Pagi itu Munjiah dibawa ke tempat dokter praktik. Namun, dokter tidak dia jumpai karena praktik baru buka sore. "Sorenya hujan deras dan tidak jadi periksa," katanya. Baru Rabu (26/6) sore dia kembali memeriksakan istrinya ke bidan terdekat.
Bidan ini kembali menyarankan agar Munjiah dibawa ke dokter untuk USG malam itu juga karena didiagnosis anak dalam rahimnya sungsang atau melintang.
Di RSB Duta Mulya, rasa bingung tidak juga reda, bahkan makin bertambah, tatkala dokter memutuskan untuk melakukan tindakan operasi Caesar untuk menyelamatkan bayi. Rabu (26/6) sekitar pukul 21.25 bayi tersebut lahir. Bayi tersebut lahir dalam kondisi sehat dan memiliki panjang tubuh 46 sentimeter dengan berat badan 4,2 kg.
Akhirnya, ketabahan Usman runtuh dan kebingungan memuncak setelah diberi tahu: anaknya memiliki dua kepala. Apalagi, dokter mengatakan anak laki-lakinya itu harus dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar untuk perawatan lebih lanjut. "Perasaan saya tidak karuan. Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata," ujarnya sambil mencoba tegar.
Tim dokter dan perawat medis malam itu mencoba menenangkan dirinya. Namun, upaya itu, tampaknya, tidak banyak membantu. Dia tetap bingung dengan masalah biaya perawatan. Apalagi, anak pertamanya kini baru naik ke kelas tiga SD yang tentu saja membutuhkan biaya untuk tahun ajaran baru. "Saya bingung karena tidak punya uang. Istri di sini juga butuh perawatan," katanya.
Hingga Kamis pagi (27/6) Usman belum berani melihat langsung anaknya. Berkali-kali dia mencoba menguatkan diri dan masuk ke ruang perinatologi, tempat anaknya dirawat."Namun, langkahnya selalu terhenti di depan pintu. Bahkan, saat diajak petugas, dia mengaku tidak kuat. "Tidak kuat melihat kondisi anak saya," katanya.
Saat ini Usman mengaku hanya bisa memasrahkan semuanya kepada tim dokter. "Saya pasrah ke dokter, apa yang terbaik buat anak saya," katanya memelas.
Kamis itu juga bayi berkepala dua tersebut dibawa ke RSUP dr Sardjito, Jogjakarta, untuk menjalani perawatan intensif. Emosi Usman saat itu mulai terkendali. Maklum, ada informasi yang menyebut bahwa seluruh biaya perawatan buah hatinya itu ditanggung pemerintah. Ini tentu membuatnya sedikit lega. Apalagi, kondisi sang bayi juga berangsur-angsur membaik.
Hingga kemarin bayi berkepala dua itu masih menjalani perawatan intensif. Slang infus dan oksigen terpasang di bagian tubuh bayi tersebut. Secara umum kondisi sang bayi tetap stabil. Hanya, respons kepala kiri lebih lambat daripada bagian kanan. Berat badannya turun dari 4,2 kg menjadi 3,8 kg.
Kepala Bagian Humas RSUP dr Sardjito Trisno Heru Nugroho menyatakan, bayi yang mengalami paragus dicephalus conjoined twins tersebut hingga kini masih dirawat di NICU (neonatal intensive care unit) guna pemulihan kondisi kesehatan.
Pihak RSUP segera membentuk tim dokter untuk memeriksa organ dalam bayi yang belum memiliki nama tersebut. Bila semua organ bayi tidak ada kelainan, kemungkinan tidak diperlukan operasi pemisahan. "Kepala respons bagus, normal, dengan satu badan. Artinya, sampai dewasa insya Allah kondisinya seperti itu," kata Trisno.
Dokter spesialis kandungan di RSB Duta Mulya dr Tatang Mulyana SpOG menambahkan, kasus bayi paragus dicephalus conjoined twins pernah ditemukan pada 1783 di Bengal, India. Menyusul kemudian pada 1811 di Amerika Latin yang diberi nama Chang dan Eng. Pada era modern, lahir bayi dengan kasus seperti itu di AS, tepatnya di Minessota, pada 1990 dan diberi nama Abigail serta Britanny.
Di Indonesia kasus tersebut kali pertama muncul pada 2006. Bayi itu dinamai Syafitri. Kasus kedua terjadi pada 2009. Menurut Tatang, bayi dengan kelainan seperti itu membutuhkan perawatan medis secepatnya setelah dilahirkan. Itu dilakukan untuk observasi mendalam dan memastikan kondisi organ tubuh, terutama organ dalam, berfungsi dengan baik. "Ingat, ini berarti satu badan yang dikendalikan dua kepala dengan dua otak," katanya.
"Harus secepatnya ditangani tim ahli dan peralatan yang memadai. Sebab, mayoritas meninggal setelah dilahirkan. Kondisi anak ini baik, tapi butuh follow up. Biar tahu sejauh mana survive-nya," beber Tatang. (*/c2/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Getol Kampanye Revolusi Orange Dikira Incar Jabatan
Redaktur : Tim Redaksi