Bagi Paw Nay, kawasan konstruksi di Rokeby, Tasmania terasa jauh lebih indah dibandingkan Myanmar.
Paw, yang 15 tahun lalu masih tinggal di Myanmar, kini bekerja sebagai seorang tukang batu di perusahaan bernama Integrate Workforce.
"Di Myanmar, saya hidup di kamp pengungsi ... 11 tahun di sana, lalu di tahun 2008 saya ke Tasmania," katanya.
Paw pindah ke Tasmania setelah pastornya, yang menikah di Tasmania, menyuruhnya ke Hobart untuk memulai hidup baru.
BACA JUGA: Bisnis Ganja di Thailand Menjamur, Pengedar Bebas Berkeliaran
Di Hobart, Paw bertemu dengan Kelvin Smith yang kemudian mengubah hidupnya. Memulai hidup yang baru
Pertemanan di antara keduanya menjadi hubungan profesional sampai akhirnya Paw bisa mencicil rumah, hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya di Myanmar.
BACA JUGA: Puan Maharani Apresiasi Dukungan UEA dan Australia Terhadap Proyek IKN Nusantara
"Saya suka sekali tinggal di Hobart," katanya.
Sebenarnya ada sejumlah pengungsi lain yang datang ke Tasmania dengan kondisi seperti Paw dan berharap hidup mereka bisa stabil dalam jangka panjang. Bukan hanya untuk mereka saja, tapi juga keluarganya.
Kelvin, sebagai warga di Australia, tidak tahan melihat Paw dan pendatang lainnya kesulitan mendapatkan kerja.
Di saat bersamaan, ia pun sadar di tengah berkembangnya industri konstruksi di Australia, ada masalah kekurangan pekerja.
Bagi Kelvin, solusinya sangat sederhana.
"Waktu itu, saya sadar jika industri konstruksi biasanya sangat didominasi orang kulit putih ... saya punya teman yang sebenarnya sangat mampu dan ingin bekerja, masalah mereka hanyalah tidak bisa menemukan kerja," katanya.
Dari sinilah Kelvin akhirnya mendirikan perusahaan bernama Integrate Workforce.Menjembatani perbedaan
Perusahaan Kelvin merekrut orang-orang berlatar belakang migran dan pencari suaka, dengan harapan bisa membantu karir mereka untuk jangka panjang.
Jal David, manager proyek di Pusat Sumber Daya Migran Tasmania, mengatakan perusahaan seperti Integrate Workforce menyediakan tempat bagi pengungsi agar bisa memecahkan masalah-masalah yang biasanya menghambat mereka mencari kerja.
Menurut Jal, masalah perpecahan keluarga, trauma dan kesehatan mental, bisa saja membuat mereka takut untuk memulai hidup yang baru.
Bahasa Inggris juga seringkali menjadi tantangan terbesar bagi para pengungsi.
Kesulitan berbahasa Inggris membuat proses mencari kerja, mulai dari menulis resume hingga wawancara, menjadi tantangan berat.
"Tapi perusahaan seperti ini menolong mereka untuk bisa belajar sambil bekerja ... sisi praktik dari pekerjaan itu memudahkan mereka belajar bahasa Inggris dengan lebih cepat," kata Jal.'Bersyukur bisa datang ke sini'
Tony Htoo pindah ke Hobart ketika usianya baru 11 tahun.
Sebelumnya, ia hanya tahu bagaimana hidup di kamp pengungsi Thailand, karena lahir dan besar di sana dengan keluarga inti dan saudaranya.
Ketika tiba di Tasmania, belajar bahasa Inggris dan beradaptasi dengan kebudayaan berbeda ternyata tidak semudah yang dibayangkan.
"Saya bersyukur karena bisa datang ke sini ... saya tidak punya kesempatan sekolah di Thailand tapi di sini bisa," katanya.
Meski mensyukuri kesempatan sekolah, Tony mengatakan dirinya "nakal ketika di sekolah".
Karena itu, ia tidak pernah membayangkan karier apa yang ingin dimilikinya di masa depan.
"Saya selalu ingin bekerja di bidang konstruksi karena saya merasa punya keahilan dengan keterampilan tangan," katanya.
Tony bertemu dengan Kelvin lewat temannya dan mulai bekerja baru-baru ini.Membangun masa depan cerah
Kelvin merasa kagum melihat dampak dari perusahaan yang dibangunnya.
"Orang seperti Paw, yang datang ke sini dengan masa lalu kelam ... sekarang bisa kerja setiap hari dan membawa kebahagiaan bagi orang-orang," katanya.
Sejauh ini, perusahaan tersebut sudah mempekerjakan 35 pengungsi dan terus ingin menambah jumlahnya.
Jal mengatakan di mata para pekerja keberadaan Integrate Workforce sejauh ini positif.
Ia berharap ke depannya, pemberi kerja bisa melihat keuntungan dari mempekerjakan pengungsi dan migran, serta tak akan pernah melupakan mereka.
"Kesempatan bekerja ini ikut membangun kepercayaan manusia. Karena di sinilah keterampilan baru didapatkan, di samping koneksi sosial, yang turut membangun rasa kepemilikan dan penghargaan diri," katanya.
Bagi Paw dan Tony, pengalaman ini sangat berharga.
"Luar biasa sekali ... seperti mimpi jadi kenyataan," kata Tony.
Diproduksi oleh Natasya Salim dari laporan ABC News dalam bahasa Inggris
BACA ARTIKEL LAINNYA... Robot Produksi Kalifornia Bisa Menggoreng Kentang Lebih Cepat Ketimbang Manusia