''Jika di Ponorogo ada reog, di sini ada barongan karena kesenian ini sudah mendarah daging bagi warga Blora,'' ujar Pudiyatmo, kepala Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga (DPKPOR) Blora, Minggu (20/12)
Selain Bupati Yudhi Sancoyo dan Ketua DPRD Maulana Kusnanto, deklarasi itu juga dihadiri para pejabat pemkab setempat dan Profesor Slamet, ahli kebudayaan dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta
BACA JUGA: Mulai Berani Go Public Bareng Yuni
'Kami ingin pemkab mengembangkan kesenian ini dan menjadikan kesenian ini kebanggaan dan budaya lokal yang adiluhung,'' tambah Pudiyatmo.Enam ratus grup barongan itu tampil memanjang hingga lebih dari dua kilometer
BACA JUGA: Penuh Aksi di Iron Man 2
Kesenian itu merupakan kesenian asli BloraBACA JUGA: Sudah Sehat Lahir Batin
Setiap tahun, kesenian barongan berkembang''Sebelum tahun 1945 kesenian Barongan masih merupakan kepercayaan dan olah kanuragan,'' tuturnya.Sejak 1945 sampai 1965, kesenian barongan menjadi propaganda politikMelalui kesenian ini, warga Blora ingin menggelorakan perlawanan pada penjajahKarena itu, ada sebuah wadanan atau olok-olok untuk baronganYakni, barongan ora galak, barongan moto belingBarongan ora galak, endas butak ditempiling (Barongan tidak galak, barongan bermata kacaBarongan tidak galak, kepala botak di tempeleng)''Wadanan ini isyarat karena mengandung makna semangatKepala botak yang dimaksud adalah penjajah saat itu sehingga harus ditempeleng dan diusir dari negeri ini,'' jelasnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, barongan menjadi seni pertunjukan, meski masih ada unsur mistiknyaMenurut Slamet, barongan sebagai alat mengusir energi jahat ketika itu masih ada.
Sejak 1965 sampai 1998, lanjut dia, kesenian ini terpengaruh dengan kuda lumpingSehingga kuda lumping pun dimasukkan''Dan hingga sekarang barongan menjadi kesenian yang masih digemari,'' ujarnya(ono/aj)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rianti Belum Targetkan Menikah
Redaktur : Tim Redaksi