JAKARTA--Rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang diimbangi dengan kompensasi bantuan langsung tunai (BLT) mendapat kritik dari DPR. Kalangan dewan menilai kebijakan kompensasi tunai tersebut bakal dimanfaatkan menjadi instrumen politik bagi partai penguasa.
"Kalau pemerintah masih bertahan dengan proposal yang sama, parlemen pasti akan menolak," ujar Pramono Anung, wakil ketua DPR bidang energi, di Jakarta Jumat (3/5).
Menurut Pram -sapaan akrab Pramono Anung, Undang-Undang APBN sudah memberikan ruang yang cukup luas kepada pemerintah untuk memutuskan rencana kenaikan harga BBM. Pemerintah bahkan sudah setahun lebih mewacanakan itu. Namun, karena terlalu berwacana, tampaknya, pemerintah menghadapi persoalan tersendiri. "Muncul ide dua harga, lalu dicabut. Lalu, kenaikan satu harga. Lantas, ini diredusir seakan-akan persoalan dengan DPR," ujar Pram.
Lamanya pertimbangan pemerintah terhadap kenaikan BBM, menurut Pram, memunculkan persoalan kelangkaan solar di beberapa daerah. Sebagian masyarakat melihat spekulasi mulai berjalan sehingga masyarakat lebih luas yang menjadi korban.
Sementara itu, pengalaman munculnya BLT menjelang Pemilu 2009 justru dimanfaatkan partai penguasa untuk mendongkrak popularitas. "Karena punya pengalaman di Pemilu 2009, jadi tidak adil pertarungan di lapangan," ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
Jika alasannya terkait dengan defisit APBN untuk menaikkan harga BBM, Pram mengingatkan bahwa harga minyak dunia justru turun. Bahkan, harga BBM di Tiongkok justru diturunkan sejak dua minggu lalu. "Ini yang menjadi pertanyaan, apa betul defisit itu terjadi. Atau, karena inefisiensi, atau ada keinginan mau pemilu, kemudian ada dana yang diturunkan," sorotnya.
Hingga sekarang, lanjut Pram, RAPBN perubahan terkait dengan kenaikan BBM masih sebatas wacana. DPR saat ini menunggu apa yang diinginkan pemerintah, sementara energi yang menjadi sumber BBM terus tersedot gara-gara polemik yang dibuat pemerintah. "Siapa pun pasti ingin memberikan bantuan kepada rakyat tidak mampu karena dampak (kenaikan BBM) ini. Tapi, yang harus diatur, jangan ada partai yang diuntungkan karena keputusan yang diambil," tegasnya.
Terkait dengan kekhawatiran anggota dewan bahwa kompensasi BBM bakal dijadikan alat politik, pihak istana membantah kekhawatiran itu. Menurut Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Firmanzah, kompensasi merupakan bentuk tanggung jawab negara untuk membantu masyarakat kurang mampu terkait dengan kenaikan harga BBM.
"Kompensasi bukan alat politik, tetapi tanggung jawab negara untuk membantu masyarakat kurang mampu agar tidak terlalu menderita akibat kenaikan BBM," jelas Firmanzah kepada koran ini kemarin.
Mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu menekankan, pemberian kompensasi bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah tersebut tidak permanen. Dengan target kelompok masyarakat miskin dan hampir miskin, pemberian bantuan kompensasi itu dalam bentuk percepatan perluasan program perlindungan sosial (P4S) diperkirakan senilai Rp 20 triliun. Pemberian bantuan kompensasi tersebut hanya dilakukan dalam jangka waktu enam bulan.
"Jumlah tersebut masih dihitung ulang oleh Kementerian Keuangan. Tapi, yang jelas, dana sebesar itu digunakan untuk subsidi pangan, program keluarga harapan (PKH), beasiswa siswa miskin (BSM), dan bantuan langsung sementara (BSLM) selama enam bulan," tegasnya. (bay/ken/c4/fat)
"Kalau pemerintah masih bertahan dengan proposal yang sama, parlemen pasti akan menolak," ujar Pramono Anung, wakil ketua DPR bidang energi, di Jakarta Jumat (3/5).
Menurut Pram -sapaan akrab Pramono Anung, Undang-Undang APBN sudah memberikan ruang yang cukup luas kepada pemerintah untuk memutuskan rencana kenaikan harga BBM. Pemerintah bahkan sudah setahun lebih mewacanakan itu. Namun, karena terlalu berwacana, tampaknya, pemerintah menghadapi persoalan tersendiri. "Muncul ide dua harga, lalu dicabut. Lalu, kenaikan satu harga. Lantas, ini diredusir seakan-akan persoalan dengan DPR," ujar Pram.
Lamanya pertimbangan pemerintah terhadap kenaikan BBM, menurut Pram, memunculkan persoalan kelangkaan solar di beberapa daerah. Sebagian masyarakat melihat spekulasi mulai berjalan sehingga masyarakat lebih luas yang menjadi korban.
Sementara itu, pengalaman munculnya BLT menjelang Pemilu 2009 justru dimanfaatkan partai penguasa untuk mendongkrak popularitas. "Karena punya pengalaman di Pemilu 2009, jadi tidak adil pertarungan di lapangan," ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
Jika alasannya terkait dengan defisit APBN untuk menaikkan harga BBM, Pram mengingatkan bahwa harga minyak dunia justru turun. Bahkan, harga BBM di Tiongkok justru diturunkan sejak dua minggu lalu. "Ini yang menjadi pertanyaan, apa betul defisit itu terjadi. Atau, karena inefisiensi, atau ada keinginan mau pemilu, kemudian ada dana yang diturunkan," sorotnya.
Hingga sekarang, lanjut Pram, RAPBN perubahan terkait dengan kenaikan BBM masih sebatas wacana. DPR saat ini menunggu apa yang diinginkan pemerintah, sementara energi yang menjadi sumber BBM terus tersedot gara-gara polemik yang dibuat pemerintah. "Siapa pun pasti ingin memberikan bantuan kepada rakyat tidak mampu karena dampak (kenaikan BBM) ini. Tapi, yang harus diatur, jangan ada partai yang diuntungkan karena keputusan yang diambil," tegasnya.
Terkait dengan kekhawatiran anggota dewan bahwa kompensasi BBM bakal dijadikan alat politik, pihak istana membantah kekhawatiran itu. Menurut Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Firmanzah, kompensasi merupakan bentuk tanggung jawab negara untuk membantu masyarakat kurang mampu terkait dengan kenaikan harga BBM.
"Kompensasi bukan alat politik, tetapi tanggung jawab negara untuk membantu masyarakat kurang mampu agar tidak terlalu menderita akibat kenaikan BBM," jelas Firmanzah kepada koran ini kemarin.
Mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu menekankan, pemberian kompensasi bagi masyarakat kalangan menengah ke bawah tersebut tidak permanen. Dengan target kelompok masyarakat miskin dan hampir miskin, pemberian bantuan kompensasi itu dalam bentuk percepatan perluasan program perlindungan sosial (P4S) diperkirakan senilai Rp 20 triliun. Pemberian bantuan kompensasi tersebut hanya dilakukan dalam jangka waktu enam bulan.
"Jumlah tersebut masih dihitung ulang oleh Kementerian Keuangan. Tapi, yang jelas, dana sebesar itu digunakan untuk subsidi pangan, program keluarga harapan (PKH), beasiswa siswa miskin (BSM), dan bantuan langsung sementara (BSLM) selama enam bulan," tegasnya. (bay/ken/c4/fat)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hatta Disambut Ribuan Mahasiswa
Redaktur : Tim Redaksi