BNPB: Indonesia Masih Rawan Tsunami

Minggu, 16 November 2014 – 15:23 WIB
Juru Bicara BNPB, Sutopo Purwo Nugroho. Foto: dok/JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA - Peringatan tsunami yang dikeluarkan pemerintah atau instansi berwenang, tak jarang mendapat kritikan saat nyatanya tsunami itu tak jadi datang. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) cukup sering menerima kritikan tersebut.

Juru Bicara BNPB, Sutopo Purwo Nugroho mengakui, cukup sering BNPB dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) disalahkan. "Ketika ada peringatan dini tsunami, namun tsunami besar tidak datang sebagian dari kita sering menyalahkan sistem yang ada. Mengapa harus ada peringatan dini, hanya bikin panik saja?" kata Sutopo, Minggu (16/11).

BACA JUGA: Ical Dicap Seperti Raksasa, Kuat dan Pintar Lobi

Namun hal itu disebut Sutopo sudah biasa. "(Tapi) tidak mengapa, itu artinya mereka masih selamat dari tsunami," ungkap Sutopo.

Dijelaskannya, bencana tsunami pernah beberapa kali terjadi di Indonesia. Sudah menjadi tugas pemerintah untuk melindungi masyarakat dari ancaman tsunami. Dia membeberkan, tsunami di Flores pada 1992 menyebabkan 2150 orang tewas dan hilang. Begitu juga tsunami di Banyuwangi 1994 ada 238 orang tewas. Di Biak 1996 menyebabkan 60 orang tewas dan 134 orang hilang.

BACA JUGA: Priyo Tolak Munas Golkar Aklamasi

Mega tsunami di Aceh 2004 menyebabkan 283.000 orang tewas dan hilang, dan di Pangandaran 2006 ada 600 orang tewas. "Memang Indonesia rawan tsunami. Antara 1629-2014 ada 174 tsunami di Indonesia," kata Sutopo.

Dia menjelaskan, ada sekitar lima juta jiwa penduduk tinggal di daerah rawan sedang-tinggi dari tsunami. Menurutnya, waktu yang tersedia (golden time) untuk evakuasi hanya rata-rata 30 menit setelah gempa bumi. "Ini jika sumber gempanya lokal berada di sekitar Indonesia," ujar Sutopo.

BACA JUGA: Priyo Klaim Kantongi Dukungan 380 DPD

Dengan waktu 30 menit itu, pasti terjadi kepanikan. "Itu berlaku universal," ungkap Sutopo lagi.

Tapi, ia melanjutkan, jika gempanya jauh seperti saat tsunami di Sendai Jepang 2011, waktunya bisa sekitar lima jam. "Di Jepang pun masyarakat juga panik," katanya. 

Berdasarkan survei saat gempa 8,5 SR dan tsunami di Aceh 2012, rata-rata 79 persen masyarakat keluar rumah saat gempa dan 21 persen tetap berada di rumah. Sedangkan 63 persen tidak mendengar sirine tsunami. Kemudian, 75 persen masyarakat evakuasi dengan membawa kendaraan sehingga macet, dan 71 persen masyarakat belum pernah ikut latihan. "Selain itu infrastruktur peringatan dini tsunami masih terbatas," ungkapnya.

Dia menambahkan, dari 4500 kilometer panjang pantai yang rawan tsunami hanya ada 38 sirine tsunami dari kebutuhan 1.000 sirine. "Shelter evakuasi hanya ada sekitar 50 unit dari kebutuhan 2500 unit. Ini adalah fakta," katanya.

Sutopo mengungkapkan, tsunami harus mendapat perhatian serius dari pemerintah guna melindungi masyarakat dari ancaman tsunami. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Diminta Tingkatkan Fasilitas Kesehatan di Pesisir


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler