jpnn.com, JAKARTA - Pengamat Politik sekaligus Direktur Lembaga Pemilih Indonesia, Boni Hargens merespons rencana Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memulangkan 660 warga negara Indonesia atau WNI eks ISIS di Timur Tengah.
Menurut Boni, pemerintah perlu merumuskan pertimbangan yang komprehensif. Repatriasi warga eks ISIS itu bagian dari pertanggungjawaban kemanusiaan yang mesti dipikul oleh negara. Kita semua mengutuk keberpihakan mereka pada ideologi dan gerakan teroris, tetapi bagaimanapun mereka juga warga negara yang memiliki hak asasi yang di dalamnya negara secara etis dituntut memberikan perlindungan. Sejahat apa pun seorang warga negara, harus selalu ada ruang pengampunan di dalam ranah hukum positif entah bentuknya seperti apa.
BACA JUGA: Ingat, WNI Eks ISIS Sudah Beda Ideologi
Meski demikian, Boni mengingatkan kita harus akui bahwa repatriasi eks teroris tidak mudah. Dilemanya cukup serius karena di satu sisi, meskipun mereka memiliki hak asasi yang perlu dilindungi negara, mereka juga berpotensi menjadi masalah bagi keselamatan banyak orang lain. Di lain sisi, negara akan tampak kehilangan kualitas moralnya ketika membiarkan warga negaranya melarat di luar negeri meksipun karena kesalahannya sendiri. Dalam situasi seperti ini perlu ada jalan tengah.
Boni mengusulkan, repatriasi secara bertahap. Pertama, para eks ISIS ini dilokalisasi di suatu tempat seperti warga yang datang dari China ditampung di Natuna untuk redoktrinasi nilai-nilai dasar tentang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam bingkai NKRI. Perlu ada proyek semacam “cuci ulang otak” sebelum mereka boleh bergabung dalam kehidupan sosial dengan masyarakat yang lain.
BACA JUGA: Boni Hargens: Keputusan Mencalonkan Idham Azis Sebagai Kapolri Sangat Tepat
"Ideologi teroris itu bukan hal yang sederhana untuk dikikis atau dinetralisir. Butuh waktu. Untuk itu, mesti ada regulasi yang jelas dari pemerintah tentang bagaimana proses redoktrinasi sebagai langkah awal dari tahapan repatriasi," kata Boni.
Kedua, setelah “cuci otak” berhasil dilaksanakan, para warga eks ISIS ini mesti diberi kepastian tentang matapencaharian, ruang social tempat mereka akan tinggal di Tanah Air. Akan sangat problematik kalau mereka kembali tinggal di kampung asal mereka. Hal itu merugikan diri sendiri sekaligus masyarakat di sekitarnya. Stigma sebagai teroris akan terus menjadi aib yang merusak kebahagiaan hidup mereka di tengah masyarakat.
BACA JUGA: Wiranto Ditusuk, Boni Hargens: Parpol Harus Punya Komitmen Lawan Terorisme
Menurutnya, masyarakat juga akan selalu waspada dan curiga. Kehidupan macam itu akan sangat rumit. Untuk itu, perlu ada pemukiman khusus untuk mereka dengan sumber pencaharian yang jelas yang sudah dirancang oleh negara. Langkah ini berguna juga untuk surveillance oleh agensi terkait untuk memastikan pengawasan tentang perkembangan perilaku mereka setelah kembali ke Tanah Air.
Ketiga, setelah kembali menetap di Tanah Air, pemerintah harus sudah memikirkan segala bentuk ekses negatif yang mungkin terjadi akibat perlakuan negara terhadap mereka. Perlakuan yang terlalu istimewa bisa memicu kecemburuan di kalangan masyarakat lain dan bahkan menyuburkan semangat untuk bergabung dengan jaringan teroris karena merasa “teroris dapat diampuni”.
Hal macam ini harus sudah menjadi bagian dari pertimbangan. Sebaliknya, kalau perlakuan negara terlalu dianggap “kejam” maka hal itu akan menjadi dendam sejarah yang terwariskan pada generasi berikutnya dalam keluarga eks ISIS. Artinya, kita sedang memelihara bom waktu. Lantas bagaimana pendekatan yang ideal?
Keempat, sebaiknya seluruh rangkaian repatriasi menjadi kewenangan penuh pihak keamanan dan badan intelijen tanpa eksposur media untuk menghindari efek berita yang tidak positif. Pemerintah Bersama legislative memikirkan aturan hukum atau legislasi dan regulasi yang tepat untuk repatriasi, sedangkan institusi keamanan terkait seperti Kepolisian bekerjasama dengan BNPT dan BIN berperan aktif dalam seluruh rangkaian repatriasi bersama kementerian dan lembaga negara lain yang relevan.
Kelima, sebelum repatriasi perlu ada studi demografik yang komprehensif tentang keluarga eks ISIS, siapa yang secara ideologis paling radikal, siapa yang hanya ikut dan menjadi korban dari keputusan suami/ayah, dan seterusnya. Dari situ, negara dapat membuat skala yang mengelompokkan mereka berdasarkan derajat keberbahayaan atau tingkat bahaya yang mungkin mereka timbulkan. Repatriasi akan berkaitan dengan itu semua.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich