Bohong

Selasa, 03 Agustus 2021 – 08:02 WIB
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Kebohongan sudah berkeliling ke separuh dunia, kebenaran masih mengenakan sepatunya.

Begitu kata pepatah Barat yang memperbandingkan kebohongan dan kebenaran.

BACA JUGA: Apa Motif Anak Akidi Tio Bikin Heboh Indonesia?

Berita bohong menyebar dengan cepat dan diibaratkan sudah sampai ke separuh orang di dunia, sementara kebenaran masih sibuk mengenakan sepatu.

Zaman sekarang disebut sebagai era post-truth, pasca-kebenaran. Ada juga yang menyebut post-fact atau alternative facts.

BACA JUGA: Anak Akidi Tio Bikin Heboh soal Bantuan Rp 2 Triliun, Bang Reza: Kenapa Kaget?

Tidak ada kebohongan, yang ada adalah pasca-kebenaran. Tidak ada bohong, yang ada pasca-fakta. Tidak ada penipuan, yang ada fakta alternatif.

Itulah tesis utama yang diajukan Tom Phillpis dalam buku ‘’Truth: A Brief History of Total Bullshit’’ (2019).

BACA JUGA: Badan Rebahan Tetapi Otak Tetap Bekerja, Itu Sama saja Bohong

Orang bisa berbohong secara telanjang, tetapi tetap dianggap melakukan kebenaran, dan malah bisa menjadi orang terkenal, sangat dihormati, dan dianggap sebagai pahlawan dan bapak bangsa.

Zaman sekarang orang bisa berbohong dengan enteng dan tidak ada rasa berdosa sama sekali. Itulah yang disebut sebagai post-truth. Orang awam tidak ingin mendengarkan kebenaran, tetapi ingin mendengar apa yang ingin mereka dengarkan meskipun itu bohong.

Karena itu masyarakat awam semacam ini suka mendengar kebohongan, bahkan ketika mereka tahu bahwa mereka dibohongi.

Kalau zaman sekarang disebut sebagai post-truth apakah sebelumnya kita hidup di zaman ‘’truth’’, zaman yang penuh dengan kebenaran?

Ternyata tidak juga. Zaman sebelum post-truth juga penuh dengan kebohongan, tetapi kebohongan itu tetap menjadi kebohongan. Beda dengan era post-truth ketika kebohongan bukan lagi sebuah kebohongan.

Oxford Dictionaries, salah satu kamus online terkemuka di dunia yang dibuat oleh Universitas Oxford, telah memilih 'post-truth' sebagai 'Word of the Year' atau 'Istilah Tahun Ini' pada 2016.

Menurut Oxford Dictionaries, post-truth diartikan sebagai ‘’istilah yang mewakili situasi-situasi di mana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibanding fakta-fakta yang objektif.

Sentimen politik sejak 2016 mengarah kepada anggapan bahwa fakta-fakta objektif tidak penting. Misalnya, dalam kasus pemilu Amerika Serikat, banyak sekali masyarakat yang merasa berbagai kebohongan-kebohongan dan sikap rasis Donald Trump tidak lagi dianggap sebagai persoalan.

Mereka tetap menilai Trump adalah kandidat presiden terbaik. Trump bisa melenggang ke Gedung Putih karena mampu mengeksploitasi rasa takut penduduk Amerika Serikat, bahkan dengan menggunakan sejumlah kebohongan.

Post truth dipengaruhi oleh cara kebanyakan orang masa kini mendapatkan informasi. Mereka memilih menjadikan media sosial sebagai sumber berita.

Padahal, tidak semua hal yang ada di platform tersebut merupakan kebenaran. Facebook menghadapi tuduhan berkontribusi terhadap kemenangan Trump karena membiarkan adanya akun-akun yang menyebarkan berita palsu.

Virus post-truth menjalar ke mana-mana sampai ke Indonesia. Orang tak lagi bisa berpikir kritis dan hanya menelan mentah-mentah semua informasi yang didapat dari media sosial, terutama informasi yang dianggap sesuai dengan perasaan dan keyakinan pribadi.

Kebenaran dan kebohongan menjadi campur baur dan sulit dibedakan. Tom Phillips melacak jejak sejarah berbagai kebohongan yang dilakukan di muka bumi untuk membuktikan bahwa kebohongan adalah bagian dari realitas kehidupan yang tidak terpisahkan.

Kebenaran lekat dengan fakta dan realitas, sedangkan kebohongan adalah antitesisnya, dipenuhi dengan prasangka dan ilusi manipulatif. Realitas juga dapat dikonstruksi dari tumpukan informasi palsu, sehingga kebenaran dan fakta jadi semakin menjauh.

Berbohong dan kebohongan terjadi karena berbagai hal, vakumnya informasi, bias persepsi dan interpretasi momentum, dan ketidakmampuan berpikir kritis. Akibatnya kebohongan merasuk mulai dari level individu sampai ke level negara.

Sebuah kebohongan akan diteguhkan dengan kebohongan lain untuk memperkuat narasi. Meski demikian, kebohongan tidak pernah sempurna, selalu memiliki cacat. Pada akhirnya, publik akan membongkar sendiri kebohongan tersebut.

Kata Abraham Lincoln, tidak mungkin seseorang bisa membohongi semua orang selama-lamanya. Dia hanya bisa membohongi semua orang beberapa saat, atau membohongi beberapa orang saja setiap saat.

Sejarah akan mencatat dan kebenaran akan memunculkan dirinya. Dalam ruang kebohongan, hal yang benar bisa menjadi tampak bersalah, sedangkan yang salah dan bohong bisa tampil sebagai kebenaran yang membawa kemenangan.

Namun, pada akhirnya kebenaran yang akan menang. Becik ketitik ala ketara.

Kebohongan terjadi dalam berbagai aspek, terutama di ranah ekonomi dan politik. Tom Phillpis menyebut politik adalah bidang yang lekat dengan hal-hal bohong dari waktu ke waktu.

Media, dalam tinjauan ekonomi-politik, memiliki peran penting dalam mengamplifikasi kebenaran atau malah terjebak dalam kebohongan. Hal itu akan sangat bergantung pada komitmen serta keberpihakannya.

Literasi serta kemampuan nalar kritis sangat penting untuk ditumbuhkan.

Media bisa membawa publik hidup dalam dunia simulasi yang penuh dengan kebohongan, yang disebut simulacra oleh Baudrillrad. Kebohongan dapat melebihi realitas atau bahkan terpisah dari realitas itu sendiri menjadi hiper-realitas.

Kebohongan dalam bentuk misinformasi ataupun disinformasi terjadi setiap saat. Dibutuhkan kemampuan verifikasi faktual untuk mengecek kebenarannya. Itulah tantangan besar dalam era transformasi media digital dan media sosial yang menghadapi proses percepatan produksi-distribusi-konsumsi informasi setiap saat.

Dalam catatan Tom Phillpis banyak tokoh-tokoh besar dunia yang menjadi terkenal justru karena bohong. Salah satunya, bapak pendiri Amerika Benjamin Franklin. Phillips mencatat Franklin berbohong dengan mengaku dirinya berhasil memahami petir dengan hanya bereksperimen menggunakan layang-layang.

Meskipun secara ilmiah ‘’penemuan’’ ini tidak terverifikasi, tetapi saat itu ada sejumlah ilmuwan mendukung dan membenarkan temuan Franklin.

Franklin menjadi jurnalis dan penerbit semasa muda. Dalam salah satu berita yang ditulisnya dia sengaja memberitakan seseorang telah meninggal dengan memuatnya di halaman obituari. Ternyata orang tersebut masih hidup, tetapi oleh Franklin sengaja ‘’dimatikan’’, karena dia adalah pesaing bisnisnya.

Selain itu, ia memproduksi sebuah koran palsu dengan berita yang berisi tentang pengulitan kepala terhadap orang-orang Indian-Amerika.

Berita itu ditujukan untuk menyebar ketakutan di kalangan penduduk pribumi Indian yang masih memberontak terhadap orang kulit putih. Berita bohong itu terbukti sukses menjatuhkan mental orang Indian.

Sampai sekarang gambar Franklin diabadikan di setiap lembar uang dolar Amerika, dan di atasnya tertera kalimat ‘’In God We Trust’’. Salah satu ucapan Franklin yang menjadi legend adalah ‘’Honesty is the best policy’’, kejujuran adalah kebijakan terbaik.

Kebohongan tidak dihukum, tetapi malah dipuja-puja. Tidak hanya di Amerika, tetapi di mana-mana, termasuk di negeri kita. (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler