jpnn.com - Tidak banyak yang mengenal Giring Ganesha sebagai ketua partai politik. Namun, mungkin cukup banyak yang mengenal Giring sebagai vokalis grup band pop Nidji, terutama dari kalangan anak-anak muda dan milenial.
Beberapa waktu yang lalu foto Giring muncul di beberapa sudut kota dalam baliho-baliho besar.
BACA JUGA: Analisis Pengamat soal Strategi Giring Menyerang Anies Lewat Pidato
Giring tidak sedang mempromosikan album baru, tetapi menjajakan diri sebagai calon presiden 2024.
Tidak ada hujan tidak ada angin, Giring tiba-tiba mencuri start dengan mempromosikan diri sebagai calon presiden 2024.
BACA JUGA: Pengamat Menilai Serangan Giring ke Anies Baswedan Bikin Publik Tidak Simpati
Pada baliho itu Giring memakai pakaian putih dengan peci hitam dan badge bendera merah putih. Giring diperkenalkan sebagai pelaksana tugas (plt) ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan calon presiden RI 2024.
Mungkin publik malah jadi bingung, dari mana Giring bisa mencalonkan diri sendiri menjadi presiden, padahal partainya tidak lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold), dan tidak punya satu kursi pun di DPR RI.
BACA JUGA: Giring: Indonesia Akan Suram Jika yang Terpilih Pembohong dan Pernah Dipecat Pak Jokowi
Rupanya Giring mau mengetes angin, mengecek ombak, atau sekadar iseng-iseng berhadiah. Dia ingin mengukur reaksi publik terhadap pencalonannya itu.
Ternyata publik tidak bereaksi sama sekali, adem ayem saja. Buktinya? Nama Giring tidak pernah terbaca oleh survei. Mungkin popularitas dan elektabilitasnya sebagai capres masih nol, atau paling banter, nol koma.
Baliho itu kemudian hilang dengan sendirinya. Ketika ramai-ramai muncul parade baliho Puan Maharani, Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar, Agus Harimurti Yudhoyono di berbagai kota, baliho Giring tidak tampak sebiji pun.
Mungkin dia sudah tahu diri dan sadar namanya tidak layak dan tidak laku jual.
Nama Giring tenggelam, nyaris tidak terdengar, hilang di tengah berbagai isu yang lalu lalang bergelombang.
Tiba-tiba beberapa hari terakhir ini namanya muncul lagi dan menjadi viral. Kali ini dia muncul dengan pernyataan politik yang cukup sensasional dengan mengatakan bahwa Indonesia akan suram jika dipimpin oleh presiden 'pecatan' dan pembohong.
Giring menyampaikan hal itu pada acara ulang tahun partainya (23/12) yang dihadiri Jokowi.
Giring tidak menyebut nama maupun inisial. Namun, semua orang tahu bahwa Giring menyasar Anies Baswedan. Jokowi hanya senyam-senyum saja ketika Giring menyebut pembohong.
Mungkin Jokowi merasa kikuk juga karena selama ini lawan-lawan politik Jokowi menuduhnya sebagai pembohong.
Label pembohong lebih banyak ditempelkan kepada Jokowi daripada kepada Anies.
Proyek mobil Esemka menjadi monumen kebohongan yang dilekatkan kepada Jokowi. Klaim mengenai uang triliunan di kantong juga menjadi guyonan yang diasosiasikan dengan kebohongan Jokowi.
Majalah inernasional ‘’The Economist’’ menyoroti kebohongan Jokowi yang mengatakan tidak akan mewariskan kekuasaan politik kepada anak-anaknya.
Kebohongan bukan kebohongan kalau dilakukan oleh pemilik kekuasaan. Kebohongan disamarkan atau malah dilenyapkan dan diubah menjadi ‘’post truth’’, setelah kebenaran.
Zaman kita sekarang inilah yang disebut sebagai era post-truth.
Ada juga yang menyebut zaman sekarang post-fact atau alternative facts. Tidak ada kebohongan, yang ada adalah setelah kebenaran. Tidak ada bohong, yang ada pascafakta. Tidak ada penipuan, yang ada fakta alternatif.
Itulah tesis utama yang diajukan Tom Phillpis dalam buku ‘’Truth: A Brief History of Total Bullshit’’ (2019). Orang bisa berbohong secara telanjang, tetapi tetap dianggap melakukan kebenaran, dan malah bisa menjadi orang terkenal, sangat dihormati, dan dianggap sebagai pahlawan dan bapak bangsa.
Zaman sekarang orang bisa berbohong dengan enteng dan tidak ada rasa berdosa sama sekali. Itulah yang disebut sebagai post-truth. Orang awam tidak ingin mendengarkan kebenaran, tetapi ingin mendengar apa yang ingin mereka dengarkan meskipun itu bohong.
Karena itu masyarakat awam semacam ini suka mendengar kebohongan, bahkan ketika mereka tahu bahwa mereka dibohongi.
Kalau zaman sekarang disebut sebagai post-truth apakah sebelumnya kita hidup di zaman ‘’truth’’, zaman yang penuh dengan kebenaran?
Ternyata tidak juga. Zaman sebelum post-truth juga penuh dengan kebohongan, tetapi kebohongan itu tetap menjadi kebohongan. Beda dengan era post-truth ketika kebohongan bukan lagi sebuah kebohongan.
Sebagaimana pos-modernisme, pos-strukturalisme, dan sederet istilah “pos” lainnya, konsep post-truth berkonsekuensi kepada anggapan bahwa pernah ada era truth. Bahwa kebenaran pernah mendominasi kepercayaan dan pembuatan keputusan di masyarakat.
Dalam praktiknya, kebohongan dan manipulasi telah mendominasi kepercayaan dan diskursus politik sejak awal peradaban manusia. Pada Republik Romawi Kuno, misalnya, orasi-orasi populis dalam senat lebih mementingkan kelincahan retorika daripada ketepatan data.
Bahkan di era modern, hoaks dan sentimen telah menjadi bahan bakar konflik terbesar sepanjang sejarah seperti yang dilakukan Nazi dengan berbagai propagandanya dalam Perang Dunia Kedua.
Sejak zaman Romawi sampai zaman Nazi dan berlanjut sampai era Jokowi sekarang era “kebenaran” bisa dibilang tidak pernah ada.
Prasangka, emosi, dan kepercayaan sejak dulu lebih mudah mendominasi pendapat publik daripada rasio.
Oxford Dictionaries, salah satu kamus online terkemuka di dunia yang dibuat oleh Universitas Oxford, telah memilih 'post-truth' sebagai 'Word of the Year' atau 'Istilah Tahun Ini' pada 2016.
Menurut Oxford Dictionaries, post-truth diartikan sebagai ‘’istilah yang mewakili situasi-situasi di mana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibanding fakta-fakta yang obyektif.
Post truth adalah kondisi ketika fakta objektif tidak lagi memberikan pengaruh besar dalam membentuk opini publik, justru malah keyakinan pribadi dan keterkaitan emosional yang mendapatkan dukungan terbanyak dari masyarakat.
Secara literat, “setelah kebenaran” berarti kebenaran sudah ditinggalkan. Lalu bagaimana kisahnya hingga kebenaran ditinggalkan dan digantikan oleh opini yang tidak harus benar, asalkan banyak yang setuju dan sesuai dengan keyakinan pribadi kita
Sebelum membaca suatu berita atau artikel internet, warganet sudah memiliki pendapat pribadi yang telah terbentuk dari stereotype-stereotype yang ada tanpa mencari fakta.
Berbagai opini itu sudah tertanam dan seakan telah menjadi fakta sehari-hari yang memang benar, padahal belum tentu.
Pengetahuan-pengetahuan yang belum tentu fakta itu telah tertanam di benak masyarakat melalui berbagai cara. Dapat disebabkan oleh berita palsu (hoaks), salah asuhan/didikan, pergaulan yang kurang baik, hingga ke sumber informasi naif dari orang terdekat yang telah dipercayai sepenuhnya.
Kemudian, berbagai pengetahuan dan stereotype yang telah tertanam pada khalayak itu, ditampilkan kembali pada artikel, posting di media sosial atau bentuk berita lain yang ada di internet.
Sehingga, pembaca memiliki keterkaitan emosional terhadap apa yang disampaikan oleh berita yang sebetulnya belum tentu benar tersebut.
Hoaks dapat menyebar luas dengan mudah karena kondisi post-truth yang makin berkembang di era media sosial ini.
Hoaks akan diakui kebenarannya tanpa pembuktian, karena ikatan emosional banyak orang telah tertuju pada tesis yang sama dan biasanya bersifat menghakimi.
Saat itu terjadi, maka suatu kebohongan pun telah menjadi argumen yang bahkan mengalahkan fakta objektif.
Terlebih lagi jika fakta yang sebenarnya sangatlah tidak menyenangkan atau membuat masyarakat tidak nyaman.
Makin banyak orang yang tidak menyukai fakta itu, maka akan makin tidak dipercayai pula kebenaran yang telah dibuktikan tersebut. Seiring dengan ditinggalkannya fakta, kebohongan yang menyenangkan akhirnya akan lebih dipercayai oleh masyarakat luas.
Seseorang juga dapat dengan mudah menjadi kambing hitam karena terjadinya fenomena ini. Sesuatu yang sebetulnya tidak benar terpaksa diangkat menjadi patokan kebenaran karena tekanan publik yang mengiyakan kesalahan tersebut.
Banyak yang telah menjadi korban scapegoat seperti ini. Ucapan Giring dianggap provokatif untuk mencari panggung politik dengan mengeksploitasi kebencian terhadap figur tertentu, dalam hal ini Anies Baswedan.
Serangan itu kemudian diamplifikasi melalui media sosial sebagai upaya panjat sosial alias pansos.
Warganet dapat mengarak seseorang dan menghakiminya karena dianggap telah melakukan hal negatif yang sebetulnya tidak ia lakukan, tetapi sudah telanjur menjadi kesalahan yang dibenarkan.
Para politisi, amatir maupun profesional, dengan sadar memilih untuk berada di atas kebenaran dengan mengorbankan etika dan akhlak. Berbohong dilakukan atas nama post-truth, dan menyerang lawan dengan cara membabi buta, dilakukan atas nama post-truth. (*)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror