jpnn.com - Tak sedikit panitia kurban yang menjual kulit hewan kurbannya.
Lalu apakah boleh menjual kulit hewan kurban?
BACA JUGA: White Story Hadirkan Masker Mengandung Jeju Volcanic, Harganya Murah Banget
Dalam kitab Hasyiyah al Bajuri ‘ala Ibn Qosim dijelaskan bahwa semua yang terkait dengan hewan kurban mulai dari daging, tanduk, kulit bahkan bulunya tidak boleh dijual, baik itu kurban wajib maupun sunnah.
“Tidak boleh diperbolehkan menjual, maksudnya haram atas mudlahhi (orang yang berkurban) menjual sebagian (dari kurban) baik dagingnya, bulunya atau kulitnya. Haram juga menjadikannya sebagai upah penyembelih walaupun kurban itu kurban sunat.” (al-Bajuri II/301-302).
BACA JUGA: STIP Jakarta Terus Bertransformasi
Keharaman ini diperkuat dengan hadis Nabi sallahu alaihi wa salam yang diriwayatkan Imam Hakim sebagaimana dikutip Syaikh Ibrahim al Bajuri dalam kitabnya sebagaimana berikut:
“Barangsiapa menjual kulit hewan kurbannya maka tidak sah kurbannya,” (HR: Imam Hakim).
BACA JUGA: Si Anu Tiba-tiba Kokoh Berdiri Tanpa Rangsangan Seksual? Jangan Khawatir, Atasi dengan Cara Berikut
Nabi menerangkan hal ini dikarenakan anggapan sebagian orang bahwa kulit kurban tidak termasuk bagian dari kurban yang wajib dibagikan.
Jadi hukumnya tidak boleh menjual daging, kulit, bulu begitu juga dengan tanduknya, hal ini disamakan dengan barang wakaf yang mana tidak boleh diperjual-belikan.
Tak hanya menjual, menjadikan kulit kurban sebagai upah orang yang menyembelih pun dilarang karena hal itu serupa dengan jual beli.
Namun, jika orang yang berkurban memberikan kulit tersebut pada penyembelih/penjagal dengan niatan sedekah bukan sebagai ongkos penyembelihan, maka hal itu diperbolehkan.
Boleh memanfaatkan kulit kurban untuk diri sendiri, seperti dijadikan sandal, timba, pakaian, dan dipinjamkan kepada orang lain. Yang tidak boleh adalah menjual atau menyewakannya.
Kecuali menurut pengarang at Taqrib, yang berpendapat boleh menjual kulit kurban dan mendistribusikan uang hasil penjualannya sebagaimana kurban, namun ini pendapat gharib (aneh).
Menurut al Auza’i, boleh menjual kulit kurban dengan alat-alat rumah tangga, seperti ayakan, timbangan, panci, pisau, dan lain-lain.
Sependapat pula dengan al Auza’i, Abu Tsaur dan an Nakha’i serta menganggapnya sebagai rukhshah (keringanan hukum).
Diceritakan dari Abu Hanifah, ia berkata boleh menjual hewan kurban sebelum disembelih, maupun setelah disembelih, lalu menyedekahkan hasil penjualannya.
Jika menjual kulitnya dengan alat rumah tangga, maka hukumnya boleh. Karena itu sama saja dengan memanfaatkan kulit itu.
Hukum badal (alat rumah tangga) sama dengan hukum mubdal (kulit kurban). Yang tidak boleh adalah menjual dengan barang-barang yang cepat habis (istihlakiyah), seperti uang dirham, makanan, atau minuman. (al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab VIII/420, al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu IV/280).
Menjadikan kulit kurban sebagai upah penjagal disepakati ulama bahwa hukumnya haram.
Namun dalam menjual kulitnya, Syafi’i, Maliki, dan Hanbali mengharamkan, sedangkan Hanafi memperbolehkan dengan syarat tertentu di atas.
Namun jika orang yang berkurban memberikan kulit tersebut pada penyembelih/penjagal dengan niatan sedekah bukan sebagai ongkos penyembelihan, maka hal itu diperbolehkan.(jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy Artada