jpnn.com, JAKARTA - Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) menggelar investigasi terkait unjuk rasa menentang pengesahan UU Cipta Kerja yang serentak di sejumlah daerah, Kamis (8/10) lalu.
Hasilnya, ditemukan ada indikasi keterpautan beragam kepentingan dan kelompok pemain di balik aksi tersebut.
BACA JUGA: Boni Hargens: BIN Sudah Bekerja Maksimal, Seharusnya Kita Hargai
Menurut Direktur LPI Boni Hargens, secara garis besar ada dua kelompok yang terlibat dalam aksi 8 Oktober lalu, yang juga akan bergabung dalam aksi lanjutan 13 Oktober yang akan datang.
Pertama, kelompok buruh dan para aktivis yang ideologis ingin memperjuangan kepentingan buruh.
BACA JUGA: Kecurigaan Boni Hargens soal KAMI dan Penyandang Dana di Baliknya
Kelompok ini mempersoalkan pasal-pasal yang menurut mereka berpotensi multitafsir, sehingga dalam perumusan peraturan pemerintah (PP) nanti ada potensi kepentingan buruh dikorbankan.
"Tipe ini tentu penting untuk diterima sebagai kritik dan saran untuk evaluasi dalam konteks judicial review jika itu dinilai perlu," ujar Boni dalam keterangannya, Senin (12/10).
BACA JUGA: Forum Rektor Indonesia Minta Mahasiswa dan Dosen tidak Terpancing Demo UU Cipta Kerja
Kelompok kedua, kata Boni, massa yang diduga dimobilisasi oknum dari partai politik oposisi dan kelompok antipemerintah, yang selama ini memainkan peran sebagai oposisi jalanan.
Massa ini datang dari berbagai latar belakang. Ada yang massa partai, massa ormas dan bahkan ada kelompok pengacau yang biasa dikenal sebagai kaum anarko.
"Massa tipe kedua inilah yang kemarin terlibat aksi anarkisme, perusakan fasilitas umum, termasuk penyerangan terhadap aparat keamanan dari kepolisian. Massa tipe kedua ini yang dibayar oleh bandar politik yang bertebaran dari daerah sampai Jakarta," ucapnya.
Boni tidak mengungkap identitas oknum yang dimaksud.
Ia menegaskan, pihaknya tidak mempunyai otoritas untuk membeberkan identitas dari para penyumbang dana dalam aksi kemarin.
Karena itu wilayah hukum yang menjadi yurisdiksi kepolisian.
"Namun, apa yang dikatakan pemerintah melalui beberapa tokoh di pemerintahan, sungguh benar bahwa ada bandar yang mendanai aksi 8 Oktober dan aksi-aksi lanjutannya," kata Boni.
Dia juga mengemukakan sejumlah alasan pihak-pihak tertentu bersedia menggelontorkan anggaran.
Antara lain, menaikkan popularitas untuk memastikan kemenangan di Pilkada 2020 dan persiapan Pemilu 2024.
Peraih gelar doktor filsafat politik dari Walden University, Minneapolis, Amerika Serikat menyebut, jika ambang batas parlemen dinaikkan menjadi tujuh persen pada Pemilu 2024, maka partai oposisi ada yang terancam punah.
"Nah, mereka ini bekerja keras untuk mendegradasi citra partai pendukung pemerintah untuk menyelamatkan partai mereka di Pilkada 2020 dan Pemilu 2024," katanya.
Kelompok lain adalah oposisi jalanan. Boni menilai mereka berkepentingan menaikkan posisi tawar dalam rangka persiapan Pilpres 2024.
"Jadi, ada banyak aktor yang bermain dalam aksi ini, tetapi sebagian besar memikirkan kemaslahatan buruh, sekadar menjadikan isu buruh sebagai pintu masuk untuk menyerang pemerintah," tuturnya.
Dari hasil investagi dimaksud, Boni menyebut tidak mengejutkan ada temuan di lapangan, banyak peserta aksi tidak memahami pasal-pasal dalam RUU Ciptaker.
"Mereka hanyalah massa mengambang yang dimobilisasi untuk menyerang pemerintah. Kelompok ini yang secara pragmatis direkrut dan dimobilisasi untuk terlibat dalam aksi anarkis," pungkas Boni. (gir/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ken Girsang