Boni Hargens Soroti Konsep Vaksinasi Ideologi yang Dikemukakan Bamsoet

Selasa, 07 September 2021 – 20:01 WIB
Ilustrasi - Direktur LPI Boni Hargens (kiri) menyoroti konsep vaksinasi ideologi yang dikemukakan Ketua MPR Bambang Soesatyo. Foto: Ist for jpnn.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Boni Hargens menyoroti pernyataan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo yang memaparkan konsep vaksinasi ideologi untuk merespons kebangkitan radikalisme di Indonesia.

Menurut Boni ide tersebut sangat tepat, pasalnya, kemenangan Taliban di Afghanistan diprediksi telah membangkitkan militansi kelompok radikal dan teroris di Indonesia.

BACA JUGA: Perempuan Lebih Kuat Menahan Lapar dari Pria, Ini Penyebabnya

"Saya kira konsep vaksinasi ideologi dari Ketua MPR Bambang Soesatyo merupakan terobosan berpikir yang cerdas dalam merespons kebangkitan radikalisme di Indonesia,” ujar Boni dalam keterangannya yang diterima Selasa (7/9).

Pandangan senada juga sebelumnya dikemukakan Boni pada webinar kebangsaan yang digelar Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) dan Forum Intelektual Muda bertajuk ‘Vaksinasi Ideologi: Kiat Menangkal Radikalisme pasca kemenangan Taliban di Afghanistan’yang diselenggarakan di Hotel Aryaduta, Semanggi, Jakarta, Senin (6/9).

BACA JUGA: Julukannya Tanaman Panjang Umur, Khasiatnya Banyak Banget

Menurut Direktur LPI ini, kemenangan Taliban di Afghanistan telah meningkatkan militansi kelompok radikal dan teroris di tanah air.

Bahkan, sel-sel tidur ISIS, dalam banyak studi para ahli terorisme, mengalami rekonsolidasi yang serius.

BACA JUGA: Kabar Terbaru Bocah AP yang Hendak Dijadikan Tumbal Pesugihan Orang tua

“Ini jelas potensi ancaman bagi demokrasi kita,” ucapnya.

Menurut Boni, vaksinasi ideologi harus menyasar kaum milenial yang rentan menjadi korban proyek disinformasi, desepsi dan propaganda yang dilancarkan kelompok radikal di media sosial maupun di dunia nyata.

“Merawat ke-Indonesiaan yang berdasarkan Pancasila memerlukan kebijakan dan gerakan strategis dari negara yang melibatkan masyarakat sendiri. Karena radikalisasi terus meningkat dalam aspek militansi."

"BNPT memang meyakini potensi radikalisme menurun ke 14 persen dari 38,4 persen di 2019. Namun militansinya justru meningkat, itu yang harus disikapi dengan tegas dan jelas,” katanya.

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo yang memberikan sambutan secara virtual dalam acara webinar tersebut mengakui keberhasilan Taliban merebut kekuasaan di Afghanistan sedikit banyak memengaruhi kondusivitas politik dalam negeri.

Karena itu, kata Bamsoet, sapaan akrabnya, perlu kewaspadaan.

Sebab tumbuh radikalisme di dalam negeri juga dipicu oleh dinamika global termasuk kemenangan Taliban di Afghanistan.

“Tidak ada salahnya mengedepankan sikap kewaspadaan. Penting untuk kita ingat bersama, bahwa alat pertahanan terbaik dalam menangkal radikalisme bukan semata mengandalkan tindakan represif, melainkan dengan penguatan benteng ideologi,” ucapnya.

Bamsoet juga mengatakan paham radikalisme tidak semata-mata terpapar dan terdistribusi melalui proses indoktrinasi yang dilakukan secara langsung, atau melalui pendekatan dan metodologi konvensional lain.

Menurut dia, perkembangan teknologi informasi memungkinkan paparan paham radikalisme dapat dijangkau dan diakses hanya dalam batas sentuhan jari di layar smartphone.

"Inilah yang memungkinkan, misalnya, remaja wanita di Inggris atau Australia, dapat dengan mudahnya bergabung dengan ISIS di Irak. Era disrupsi yang menghantarkan fenomena 'the internet of things' menjadikan ancaman paparan radikalisme terasa begitu dekat, di mana jarak dan waktu tidak lagi menjadi hambatan dan kendala," kata Bamsoet.

Lebih lanjut politikus Partai Golkar ini menyebut hasil penelitian serta survei sejumlah lembaga, menunjukkan radikalisme di Indonesia masih mengkhawatirkan.

Berdasarkan Survei Nasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), tercatat sepanjang 2020 terjadi penurunan angka penyebaran paham radikalisme secara signifikan.

Di mana pada 2017 berada di kisaran 50 persen, turun menjadi 14 persen lebih pada 2020.

Namun, dari aspek kualitas atau tingkat kenekatan, manifestasi dari paham radikalisme justru lebih mengkhawatirkan.

Misalnya, ditandai dengan adanya aksi bom bunuh diri yang melibatkan atau mengorbankan wanita dan anak-anak.

"Survei nasional Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah 2018 mengindikasikan 63,07 persen guru memiliki opini intoleran pada pemeluk agama lain."

"Selanjutnya, pada 2019 penelitian kualitatif SETARA Institute di 10 kampus perguruan tinggi negeri menemukan terdapat wacana dan gerakan keagamaan di perguruan tinggi negeri yang berpotensi mengancam Pancasila," katanya.

Bamsoet juga menyebut hasil survei Wahid Institute di 2020, sikap intoleran dan paham radikalisme mempunyai kecenderungan meningkat dari 46 persen menjadi 54 persen.

Badan Pembinaan Ideologi Pancasila mensinyalir ASN yang pro radikalisme atau bersikap anti terhadap Pancasila jumlahnya lebih dari 10 persen.

Bahkan, TNI dan POLRI juga menjadi lahan untuk mentransmisikan paham radikalisme, di mana tidak kurang dari 4 persen anggota terindikasi terpapar dengan paham radikalisme.

"Karenanya, MPR RI gencar melaksanakan vaksinasi ideologi berupa sosialisasi empat pilar MPR RI ke berbagai kalangan masyarakat."

"Tujuannya, untuk memperkuat imun ideologi setiap anak bangsa dalam menghadapi berbagai gempuran ideologi yang tidak sejalan dengan jati diri bangsa Indonesia," pungkas Bamsoet.(gir/jpnn)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler