jpnn.com - Bripka Yogi Aryo Yudistiro merupakan salah satu korban peledakan bom di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu (24/5) malam. Dia mengalami luka mulai kaki sampai pelipis. Korban lain sampai merasa trauma untuk naik Transjakarta.
Juneka Subaihul Mufid-Andra Nur Oktaviani, Jakarta
BACA JUGA: Mantan Anggota Brimob Bantah Terkait Bom Kampung Melayu
TEPAT ketika dipindah dari ruang operasi ke ICU (intensive care unit) kemarin (25/5), Yuli Hari Utomo baru tahu betapa parahnya luka-luka sang anak, Yogi Aryo Yudistiro. Tangan kirinya patah. Begitu pula jari manis kiri dan kaki kirinya.
’’Daging jari kelingking hilang 1,5 cm,’’ imbuh Yuli sambil memegang jari kelingkingnya.
BACA JUGA: Di Timur Tengah Digempur Habis-habisan, Paling Aman Lari ke Indonesia
Pria 51 tahun itu semula melihat sang anak hanya mengalami luka di pelipis kiri dan telinga. Tapi, saat pemindahan ke ICU itu pula dia tahu ada serpihan logam putih yang dia duga sebagai timah. Sebab, lebih berat dari aluminium.
Logam yang berlumuran darah seukuran tiga jari itu sudah melengkung. ’’Melengkung hampir kayak keong,’’ jelasnya kepada Jawa Pos di ICU RS Premier Jatinegara, Jakarta Timur, kemarin.
BACA JUGA: Terungkap! Pelaku Bom Kampung Melayu Minta Restu ke Nusakambangan
Yogi, polisi berpangkat bripda, adalah salah seorang korban ledakan bom di halte Transjakarta Kampung Melayu pada Rabu malam (24/5). Dia selamat, tapi mengalami luka paling parah sehingga harus dirawat di ICU.
Di rumah sakit itu, ada tiga korban selamat yang lain, yakni Jihan Thalib (mahasiswi Universitas Azzahra Jatinegara), Ferri Nurcahyo (anggota polisi), dan Nugroho Agung Laksono (sopir Kopaja S612). Tiga korban itu sudah dipindahkan ke RS Polri Kramat Jati sekitar pukul 15.00 kemarin.
Di hadapan luka-luka di sekujur tubuh sang anak itu, tentu saja Yuli cemas. Tapi, yang menguatkan dia dan sang istri, Puji Kusraety, Yogi masih bisa menjawab pertanyaan dokter saat di ruang operasi. Itulah yang membuat dia yakin Yogi bakal pulih.
’’Dia bisa jawab dua saat ditanya dokter terakhir makan kapan. Meskipun mulutnya seolah terkunci,’’ kata Yuli.
Dan, kemarin, meski masih dirawat di ICU, kondisi Yogi memang terus membaik. Dia sudah bisa menghabiskan separo mangkuk bubur. Sudah bisa pula meminta minuman kepada sang ibu.
’’Tadi buburnya disedot,’’ jelasnya tentang putranya yang berusia 22 tahun itu.
Akses kepada Yogi sangat dibatasi sampai kemarin. Tapi, Yuli menuturkan, meski masih terbatas, sang anak mulai bisa bercerita tentang apa yang terjadi pada dirinya di Rabu malam nan nahas itu.
’’Dia cerita kalau ledakan pertama sempat diangkat (orang untuk diselamatkan). Tapi, pas ada ledakan kedua, ditinggal lari (oleh yang akan mengangkat),’’ ujar pria yang bekerja di Kantor Imigrasi Depok itu.
Memang ada dua ledakan pada Rabu malam itu, dengan selisih sekitar 5 menit. Jarak lokasi pertama dan kedua pun cuma sekitar 10 meter. Tragedi tersebut menewaskan tiga personel polisi dan kedua pelaku.
Yuli ingat betul menandatangani tujuh berkas tindakan. Enam di antaranya untuk operasi, sedangkan satu lagi adalah berkas pemindahan dari ruang operasi ke ICU.
Terakhir operasi sekitar pukul 06.00. Sekitar pukul 09.00, Yogi dipindah dari ruang operasi di lantai 5 ke ICU di lantai 4.
Yogi adalah anak pertama di antara tiga bersaudara. Menurut Yuli, sejak kecil anaknya yang bertinggi badan 182 cm itu memang bercita-cita menjadi polisi. ’’Karena melihat mbahnya pelatih Brimob resimen pelopor,’’ ungkap Yuli.
Yogi sempat mencoba masuk akademi imigrasi, tapi nasib akhirnya membawanya ke cita-cita awal sebagai polisi. ’’Anaknya ini masih polos. Sehari-hari masih suka main hape (telepon seluler) saja,’’ ujar Yuli.
Lewat telepon seluler pula Yogi terakhir berkabar kepada sang bapak sekitar lima jam sebelum ledakan bom pertama pada pukul 21.00 WIB.
’’Dia kasih tahu dapat tugas mendadak ke Kampung Melayu. Mengawal kirab jelang Ramadan FPI,’’ ujar Yuli.
Dia lantas menunjukkan pesan pendek tersebut. Yogi keliru menuliskan FPI dengan FBI. Dia lantas meralatnya pada pesan berikut.
Lalu, siapakah yang berusaha mengangkat tubuh Yogi seusai ledakan pertama? Apakah Nugroho Agung Laksono yang juga mengalami luka parah? Karena masih membutuhkan perawatan intensif dan akses dibatasi, keduanya belum bisa dimintai konfirmasi.
Yang pasti, Dewi Sunarti, ibunda Agung, menuturkan, ketika bom pertama meledak, sang anak yang bekerja sebagai sopir Kopaja S612 itu sedang menikmati minuman dingin sembari menunggu penumpang.
Sumber ledakan dari dekat toilet umum Terminal Kampung Melayu tersebut tidak jauh dari posisinya saat itu. Agung pun langsung berlari ke lokasi.
Dia melihat ada seorang polisi yang terkapar. Tanpa pikir panjang, pemuda 18 tahun itu langsung berusaha menyelamatkan polisi tersebut dengan memanggil warga sekitar. Tidak lama, ledakan susulan terjadi.
Kali ini suaranya begitu keras sampai telinga Agung sakit. ’’Karena ledakannya kencang sekali,’’ tutur Dewi saat ditemui di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur.
Agung, kata Dewi berdasar penuturan sang anak, menyadari bahwa kondisi di sana sangat tidak kondusif. Dia memutuskan untuk pergi dari lokasi menuju warung kakaknya yang tidak jauh dari situ.
Saat berjalan tergesa itulah Agung baru menyadari bahwa kakinya terluka parah dan berdarah karena terkena serpihan ledakan. Belum sampai warung kakaknya, Agung pun pingsan.
Untung, kata Dewi, ada tukang koran yang datang menyelamatkan anaknya itu. Informasi dari tukang koran tersebut, Agung lantas dibawa ke RS Premier. ’’Luka di kakinya seperti terbakar,’’ ungkap Dewi.
Korban lainnya, Jihan Audria, mengingat betapa kaget dirinya ketika mendengar ledakan pertama. Bersama dua rekannya, mahasiswi 19 tahun itu sontak berteriak dan berlari.
’’Waktu itu, kami langsung berlari. Kami menyeberang dari pintu keluar halte Kampung Melayu dan berhenti di sebuah konter ponsel untuk melihat apa yang telah terjadi,’’ tutur mahasiswi semester IV STIE Matraman tersebut kepada Jawa Pos saat ditemui di kediaman neneknya di kawasan Kampung Pulo, Jakarta Timur, kemarin.
Dari konter ponsel itu, Jihan dan dua temannya melihat kepulan asap. Sembari mencoba mengatur napas, Jihan dan teman-temannya memeriksa tubuh masing-masing.
Ternyata, pakaian seorang teman Jihan berlumuran darah serta serpihan daging. ’’Tapi, itu bukan darah dia. Saya yakin itu darah dari ledakan sebelumnya,’’ ungkap sulung dua bersaudara itu.
Tidak lama, ledakan kedua menyusul. Boom! Jihan dan dua temannya kembali berlari. Jihan berpikir, ini bukan kejadian biasa. Dia harus segera menyelamatkan diri.
Tanpa pikir panjang, Jihan lari sekencang-kencangnya menuju tempat tinggalnya di Rusun Jatinegara Barat, tidak jauh dari Terminal Kampung Melayu.
Jihan tidak merasakan sakit sedikit pun. Meskipun dekat dari lokasi kejadian, kondisi Jihan baik-baik saja.
’’Waktu itu, sampai rumah tidak ada siapa-siapa. Saya langsung telepon orang tua. Saya meminta mereka cepat pulang,’’ kata Jihan.
Tidak lama, ayahnya pulang. Tidak kuasa menahan rasa takut, Jihan pun menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya. Ayahnya panik. Dia memeriksa sekujur tubuh Jihan untuk memastikan anaknya tidak terluka.
’’Ketika memeriksa bagian kepala, ayah menemukan benjolan di kepala saya. Saya sendiri tidak tahu itu benjolan apa. Tapi, saya tidak merasakan ada sesuatu yang menghantam,’’ ungkapnya.
Ayah Jihan langsung membawa anaknya itu ke RS Hermina Jatinegara untuk mendapat perawatan. Setelah ditangani di unit gawat darurat, memar di bagian kepala Jihan tidak berbahaya.
Jihan pun diperbolehkan pulang. ’’Setelah itu, saya langsung pulang ke rumah nenek di sini,’’ ungkapnya.
Cedera fisik yang dialami Jihan boleh jadi memang tidak seberapa. Namun, secara psikologis, dia mengaku agak trauma untuk naik bus Transjakarta. Padahal, selama ini bus tersebut menjadi alat transportasi andalan Jihan untuk bepergian ke mana-mana.
Menurut dia, dalam waktu dekat ini, dia belum berani naik bus Transjakarta. ’’Sekarang kalau ke mana-mana mungkin cari transportasi alternatif dulu,’’ ujarnya. (*/c5/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Denanda Histeris, Nyaris tak Percaya Kakak Tersayang Korban Bom Kampung Melayu
Redaktur : Tim Redaksi