jpnn.com, JAKARTA - Politikus Demokrat Abdullah Rasyid miris mendengar berita yang menggemparkan dunia politik dan hukum di Indonesia dalam dua pekan belakangan ini yakni temuan dua kasus amplop.
Pertama, temuan amplop dalam kasus kader Golkar Bowo Sidik Pangarso yang digarap KPK. Ada barang bukti ratusan ribu amplop dan uang puluhan miliar rupiah yang katanya untuk serangan fajar.
BACA JUGA: Kader Terjerat Korupsi, Elektabilitas Golkar Bakal Melemah
Kedua, heboh amplop yang diberikan Menko Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan kepada kiai di Bangkalan.
"Ternyata amplop memang multifungsi, seiring waktu dan kemajuan, amplop terus mendapat fungsi yang baru. Pada masa Orde Baru dikenal istilah, 'kasih amplop, habis perkara!'. Nah, sejak masa inilah kata amplop jadi terkesan minor," kata Rasyid seperti dikutip dari RMOL.
BACA JUGA: Ada Video Luhut Beri Amplop ke Kiai, Mardani PKS Bilang Begini
(Buka dikit dong: Amplop Pak Luhut Merendahkan Kiai)
Dia menambahkan, di Indonesia, pernah ada masa di mana amplop menjadi senjata pemungkas saat berurusan dengan birokrasi yang terkesan mempersulit langkah. "Ada amplopnya enggak?" lanjut Rasyid.
BACA JUGA: Mardani PKS Desak Bawaslu Segera Garap Pak Luhut soal Amplop ke Kiai
Tradisi jelek dari penyimpangan fungsi amplop itu berlanjut hingga ke era reformasi. Berharap tradisi selesai di era Orde baru, kini justru masih mengkhawatirkan.
"Ternyata semakin parah, amplop bukan diberikan hanya untuk pejabat, tetapi juga untuk rakyat. Dalam demokrasi usai reformasi, ketika menyepakati pemilihan langsung, maka tanpa disadari disepakati juga demokrasi amplop," kata Rasyid yang juga caleg Partai Demokrat untuk DKI Daerah Pemilihan II itu.
"Demokrasi langsung mengakibatkan terjadinya peraktek 'vote buying' atau jual beli suara," tutur Rasyid. (tuahta arief/rmol)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Arief Poyuono: Amplop Cap Jempol untuk Serangan Fajar Jokowi â Maâruf
Redaktur & Reporter : Adek