Boyamin MAKI Sebut UU Baru KPK Tidak Sah, Begini Argumentasinya

Kamis, 17 Oktober 2019 – 13:06 WIB
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto/ilustrasi: Ricardo/JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Pegiat antikorupsi Boyamin Saiman menilai Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) hasil revisi tidak sah. Pentolan Masyarakat Anti-Korupsi (MAKI) itu menilai UU baru tentang KPK tidak memenuhi mekanisme penyusunan peraturan perundang-undangan.

Boyamin menjelaskan, dalam revisi UU KPK terdapat salah penulisan yang sangat substansial, tetapi hanya dianggap tipo oleh pemerintah dan DPR. Seperti diketahui, salah ketik di UU KPK terjadi pada Pasal 29 Huruf e.

BACA JUGA: Rencana KPK setelah UU Baru Mulai Berlaku

Ketentuan itu mengatur soal syarat usia untuk menjadi pimpinan KPK. Pasal itu menjelaskan, syarat usia minimal komisioner KPK yang angkanya tertulis 50 tahun, tetapi dalam penjelasan hurufnya tertera (empat puluh tahun).

"Permasalahan ini menjadi substansi karena bisa menimbulkan sengketa terkait frasa mana yang sebenarnya berlaku apakah angka 50 atau huruf empat puluh," kata Boyamin, Kamis (17/10).

BACA JUGA: Belum Ada Pertanda dari Plt Menkumham soal Presiden Bakal Terbitkan Perppu KPK

Dengan demikian, kata Boyamin, yang seharusnya diubah adalah angka 50 menjadi 40 jika yang dianggap benar adalah huruf empat puluh. “Ini bukan sekadar tipo, namun kesalahan substantif," tegasnya.

Mantan anggota DPRD Kota Surakarta itu menambahkan, pembetulan atas kesalahan tersebut harus melalui rapat paripurna DPR. Sebab, pengambilan keputusan atas UU KPK yang diwarnai tipo juga melalui rapat paripurna.

"Produk rapat paripurna hanya diubah dengan rapat paripurna. Koreksi yang bukan dengan rapat paripurna menjadikan revisi UU KPK menjadi tidak sah dan batal demi hukum," ulas Boyamin.

Dia menambahkan, dalam bernegara ataupun hukum berlaku asas tentang aturan hanya bisa diubah oleh ketentuan sederajat dengan cara sama. Hal itu pernah terjadi pada putusan Mahkamah Agung (MA) dalam tingkat kasasi tentang perkara Yayasan Supersemar.

Putusan itu menuliskan angka Rp 139 juta yang seharusnya Rp 139 miliar. “Kesalahan ini tidak bisa sekadar dikoreksi dan membutuhkan upaya peninjauan kembali untuk membetulkannya," jelasnya. 

Di sisi lain, lanjut Boyamin, hingga saat ini belum terbentuk alat kelengkapan DPR (AKD) termasuk Badan Legislasi (Baleg) sehingga koreksi tipo oleh parlemen sekarang juga tidak sah. Menurut dia, syarat sahnya pembetulan atas tipo dalam UU KPK hasil revisi adalah melalui Baleg dan rapat paripurna DPR.

"Sepanjang hal ini tidak dilakukan maka revisi UU KPK adalah tidak sah," ujarnya.

Lebih lanjut Boyamin juga menyoroti revisi UU KPK masih menyisakan masalah karena pengambilan keputusannya dalam rapat paripurna DPR pada 17 September 2019 tidak mencapai kuorum kehadiran secara fisik para legislator. “Nyatanya yang hadir saat pengesahan rapat paripurna DPR hanya 89 anggota, jelas-jelas tidak kuorum," ungkap Boyamin.

Selain itu, kata dia, masih ada permasalahan dengan pembacaan revisi UU KPK dalam rapat paripurna DPR. Sebab, Fahri Hamzah selaku pimpinan rapat paripurna DPR kala itu tidak membacakan materi revisi secara utuh.

"Padahal sebelum dimintakan persetujuan harus dibacakan secara utuh untuk menghindari kesalahan sebagaimana terjadi saat ini," pungkasnya.(boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler