BPA Menyebabkan Diabetes hingga Infertilitas? Guru Besar IPB & Dokter Ahli Bersuara

Selasa, 10 September 2024 – 21:39 WIB
Ki-Ka: Konsultan endokrin RS St. Carolus Dr. dr. Laurentius Aswin Pramono Sp.PD-KEMD, Guru Besar bidang ilmu Rekayasa Proses Pengemasan Pangan, Teknologi Pangan IPB Prof. Dr. Nugraha Edhi Suyatma, S.T.P., DEA, dan moderator. Foto Mesya/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Guru Besar bidang ilmu Rekayasa Proses Pengemasan Pangan, Teknologi Pangan IPB Prof. Dr. Nugraha Edhi Suyatma, S.T.P., DEA mengatakan masyarakat tidak perlu khawatir dengan BPA (Bisphenol-A). BPA banyak ditemukan pada barang-barang di sekitar kita dan sering berkontak dengan kita. 

Tidak hanya pada kemasan pangan, melainkan juga pada barang-barang lain misalnya thermal paper yang digunakan pada kertas ATM/struk belanja, CD, peralatan olahraga, hingga peralatan medis seperti selang kateter dan tambalan gigi.

BACA JUGA: Ahli Polimer Oka Tan Sebut Jumlah BPA di Campuran Polikarbonat Sangat Kecil

BPA adalah bahan baku pembuatan jenis plastik polikarbonat dan epoksi. 

“BPA diproses dengan bahan lain untuk menjadi polikarbonat. Kalau sudah jadi polikarbonat, dia menjadi material yang kuat. Kandungan BPA-nya sudah hampir tidak ada lagi, dan yang tersisa pun tidak mudah luruh,” papar Prof. Nugraha dalam Diskusi Pakar Bersama Jurnalis Kesehatan: Forum NGOBRAS di Jakarta, Selasa (10/9) 

BACA JUGA: Pelabelan Bahaya BPA di Galon Guna Ulang oleh BPOM Dinilai Sudah Tepat & Penting

Ahli polimer ini menambahkan, sisa BPA yang ada pada kemasan polikarbonat atau epoksi baru dapat berpotensi bermigrasi hanya pada kondisi ekstrem. Polikarbonat itu sangat tahan panas; melting point-nya (titik leleh) 200 derajat Celcius. 

"Proses distribusi pun misalnya terkena panas dan sinar matahari selama perjalanan, tidak akan lebih dari 50 derajat. Jadi risiko migrasi sangat kecil sebenarnya,” terang Prof. Nugraha.

BACA JUGA: Ahli: BPA Belum Terbukti Berdampak pada Kesehatan

Pada kesempatan sama, konsultan endokrin RS St. Carolus Dr. dr. Laurentius Aswin Pramono Sp.PD-KEMD, mengatakan pedoman dunia kedokteran dan kesehatan yaitu evidence-based medicine (kedokteran berbasis bukti). Tingkat tertinggi dalam pembuktian ilmiah yaitu studi meta-analisis. 

“Studi meta-analisis mengompilasi berbagai hasil penelitian lalu dianalisis lagi untuk melihat bagaimana hasil-hasil studi yang ada,” terang ahli endokrin-metabolik ini. 

Dia melanjutkan, sintesis data harus berbasis penelitian pada manusia, bukan di laboratorium pada hewan coba. BPA diberikan secara sengaja dalam dosis yang sangat besar sehingga menimbulkan risiko kesehatan pada hewan coba. 

BPA tidak masuk ke guideline mana pun sama sekali. Dia menegaskan belum ada konsensus bahwa BPA menyebabkan diabetes atau kanker. Belum ada sama sekali. Belum ada bukti (penelitian ilmiah) pada manusia. 

"Yang ada hanya penelitian di lab dengan hewan coba,” ucapnya.

Senada itu, Prof. Nugraha menyampaikan studi-studi terkait BPA belum konsisten dan belum cukup kuat. Dia melanjutkan, penelitian di Makassar menemukan, uji migrasi dari BPA pada kemasan pangan berkisar antara 0,0001 – 0,0009 mg/kg, jauh dari batasan BPOM 0,05 mg/kg. 

Selain itu, terangnya, temuan yang dilakukan oleh peneliti ITB mengemukakan bahwa BPA tidak terdeteksi pada galon dari empat merk yang banyak dikonsumsi di Indonesia. Hasilnya tidak terdeteksi melalui alat yang paling sensitif sekalipun. 

Adapun TDI (tolerable daily intake) yang ditetapkan yaitu 4 mg/kg BB. Jadi misal berat badan (BB) 75 kg, maka batas asupan harian BPA maksimal yaitu (4 x 75) = 300 mg. Sekalipun air minum terpapar oleh BPA, kadarnya hanya 1/1.000 bagian. 

“Butuh 10 ribu liter air dalam sekali minum untuk bisa mendapatkan kadar BPA yang melebihi ambang batas aman. Itu kan hal yang mustahil,” ujar Dr. dr. Aswin.

Fakta lainnya, tambahnya, tubuh kita akan memetabolisme berbagai zat kimia termasuk BPA. BPA yang secara tidak sengaja masuk ke dalam tubuh, akan dibuang dan tidak terakumulasi di dalam tubuh.

Hati atau liver bisa memecah rantai BPA, dan dibuang melalui saluran pencernaan lewat BAB. Ada sebagian yang masuk ke ginjal, dan dibuang melalui urin. 

Ditegaskan dr. Aswin, isu bahwa BPA menyebabkan diabetes, kolesterol tinggi, kanker, infertilitas dan lain-lain, adalah mitos yang menyesatkan. 

“Tidak ada satu pun dari penyakit ini yang disebabkan oleh BPA. Penyebab diabetes bukanlah BPA, melainkan penurunan produksi insulin akibat gaya hidup yang kurang baik, dan usia,” terang Dr. dr. Aswin. 

Demikian pula dengan kanker, infertilitas, obesitas, dan berbagai penyakit degeneratif lainnya.

Dr. dr. Aswin maupun Prof. Nugraha mengingatkan, jangan mudah termakan isu yang beredar dan tidak bisa dipercaya kebenarannya. (esy/jpnn)


Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesyia Muhammad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler