jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR RIÂ Kurniasih Mufidayati menyatakan kondisi surplus pada tahun anggaran 2020 Rp 18,7 triliun yang dialami BPJS Kesehatan, seharusnya bisa membuat ada peninjauan kembali kenaikan tarif.
Kenaikan tarif BPJS Kesehatan itu sebelumnya didasari Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
BACA JUGA: BPJS Kesehatan Surplus Rp18,7 Triliun, Iuran Kembali Semula?
Sosok yang karib disapa Mufida itu mengatakan bahwa berdasar Perpres 64/2020 , tarif peserta kelas 1 naik menjadi Rp 150 ribu, kelas 2 menjadi Rp 100 ribu, dan kelas 3 Rp 35 ribu dengan adanya subsidi Rp 7000.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menyatakan dengan adanya surplus ini, sudah selayaknya iuran BPJS khususnya kelas 3 dikembalikan seperti semula yaitu Rp 25.500.
BACA JUGA: Soal Iuran BPJS, Politikus PKS Mufida: Pemerintah Tak Beriktikad Baik Kepada Rakyat Kecil
"Direksi BPJS Kesehatan yang akan berakhir masa kerjanya, harusnya menutup masa kerjanya dengan memberikan kado terbaik untuk rakyat dengan menurunkan premi BPJS Kesehatan sama dengan besaran premi yang lama," kata Mufida dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu.
Mufida mengatakan sejak awal pemberlakukan Perpres 64/2020 ini, ia bersama Fraksi PKS di DPR RI sudah menolak kenaikan iuran bagi peserta kelas 3 pada kelompok bukan pekerja (BP) dan pekerja bukan penerima upah (PBPU).
BACA JUGA: Kunjungi RSJ, Wagub NTT Kesal, Langsung Telepon BPJS Kesehatan
Menurut dia, hal tersebut dikarenakan kenaikan iuran pada saat ekonomi masyarakat sangat terpukul akibat pandemi Covid-19 tentu saja sangat memberatkan.
Sebagaimana diwartakan, arus kas Dana Jaminan Sosial Kesehatan yang dikelola oleh BPJS Kesehatan untuk pembiayaan Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) pada 2020 surplus Rp 18,7 triliun tanpa meninggalkan tunggakan pembiayaan klaim rumah sakit yang gagal bayar.
"Laporan keuangan unaudited Dana Jaminan Sosial Kesehatan surplus Rp 18,7 triliun, tagihan rumah sakit juga sudah dibayarkan semua. Ini karena pemerintah sangat mendukung, sehingga tidak terjadi gagal bayar yang menjadi dampak," kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris dalam konferensi pers daring yang dipantau di Jakarta, Senin (8/2).
BPJS Kesehatan hanya menyisakan pembayaran klaim rumah sakit pada akhir 2020 sebesar Rp 1,19 triliun yang masih dalam proses verifikasi di 2021.
Sementara klaim pembiayaan program JKN-KIS kepada rumah sakit yang gagal bayar sama sekali tidak ada.
Hal ini menunjukkan arus kas Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan yang sangat sehat dibandingkan 2019, di mana BPJS Kesehatan mengalami gagal bayar klaim rumah sakit Rp 15,5 triliun, dan gagal bayar klaim Rp 9,16 triliun 2018.
âKondisi keuangan DJS Kesehatan yang berangsur sehat ini ditunjukkan dengan kemampuan BPJS Kesehatan dalam membayar seluruh tagihan pelayanan kesehatan secara tepat waktu kepada seluruh fasilitas kesehatan, termasuk juga penyelesaian pembayaran atas tagihan tahun 2019," kata Fachmi.
Data unaudited mencatat setelah dilakukan pembayaran kepada seluruh fasilitas kesehatan, posisi per 31 Desember 2020, DJS Kesehatan memiliki saldo kas dan setara kas Rp 18,7 triliun.
Selain itu dengan tata kelola yang andal, Program JKN-KIS diharapkan pada 2021 mulai dapat membentuk dana cadangan teknis untuk memenuhi persyaratan tingkat kesehatan keuangan DJS Kesehatan sesuai regulasi. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy