BPOM Bentuk Satgas Hilirisasi Hasil Riset Obat dan Makanan

Rabu, 11 Desember 2019 – 16:40 WIB
Kepala BPOM Penny Lukito mengajak masyarakat mengawasi peredaran obat dan makanan ilegal melalui gadget dalam genggaman pada Minggu (10/2) di sela-sela acara Car Free Day (CFD). Foto: Mesya/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) membentuk satuan tugas (Satgas) yang diharapkan mempercepat proses hilirisasi hasil riset atau penelitian obat dan makanan. Satgas juga melibatkan ahli dari kementerian/lembaga (K/L) terkait, akademisi, institusi penelitian dan pelaku usaha.

Kepala BPOM Penny Lukito mengungkapkan, tugas satgas, antara lain pendampingan agar produk inovasi riset yang siap dihilirisasi memenuhi syarat untuk dapat izin edar. 

BACA JUGA: DPR Minta Menkes Terawan Tidak Usah Repot soal BPOM

"Ada dua satgas yang telah terbentuk, yaitu Satgas Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan Produk Fitofarmaka, serta Satgas Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan Produk Biologi. Kedua satgas tersebut ditetapkan dengan SK Menteri Koordinator (Menko) Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) pada 13 September 2019," kata Penny, Rabu (11/12).

Upaya itu dilakukan agar hasil riset di bidang obat dan makanan tidak berhenti di penulisan jurnal ilmiah. Riset harus dikomersialisasikan hingga menjadi produk inovasi unggulan dalam negeri. Hal itu sekaligus mengurangi ketergantungan Indonesia pada produk impor.

BACA JUGA: Menteri Muhadjir Dorong Percepatan Izin Edar BPOM untuk UMKM

Penny menyebut produk hasil riset yang berhasil mendapat izin edar, yaitu stem cell produksi Pusat Pengembangan Penelitian Stem Cell Universitas Airlangga Surabaya bersama PT Phapros. Produk lainnya adalah albumin dari ikan gabus yang dikembangkan Universitas Hasanudin Makassar bersama PT Royal Medika.

“Produk biologi lainnya adalah enoxaparin bersumber domba, trastuzumab dan sejumlah vaksin antara lain MR, Hepatitis B, Tifoid, Rotavirus dan Polio. Untuk produk fitofarmaka antara lain ekstrak seledri, binahong, daun kelor, daun gambir dan bajakah,” tuturnya.

BACA JUGA: BPOM Diminta Pertegas Larangan Visualisasi Gelas pada Iklan SKM

Upaya pendampingan juga dilakukan pada produk darah sebagai bagian dari pengembangan industri fraksionasi plasma. Langkah awal untuk penyediaan bahan baku plasma melalui percepatan sertifikasi Cara Produksi Obat yang Baik (CPOB) Unit Transfusi Darah (UTD) Palang Merah Indonesia (PMI).

“Saat ini sudah ada 13 UTD PMI yang sudah tersertifikasi dan 4 sertifikat CPOB diberikan dalam acara ini,” ucapnya.

Kepala BPOM menegaskan kembali komitmennya dalam menjalankan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2016 untuk percepatan kemandirian industri obat, obat tradisional dan pangan di Indonesia.

“Sebagai otoritas obat dan makanan di Indonesia, Badan POM melakukan pengawalan sepanjang product life cycle yang merupakan siklus mata rantai tidak terpisahkan, karena merupakan satu kesatuan mencakup pre dan post-market,” tuturnya.

Data yang diperoleh dari hasil evaluasi pre-market, lanjut Penny, terutama yang menunjukkan risiko akan menjadi input bagi pengawasan post-market. Dengan demikian, risiko dapat dicegah, dikendalikan atau diminimalisir. Begitupun sebaliknya, data pengawasan post-market menjadi input untuk evaluasi produk yang sedang proses registrasi atau perizinan.

“Siklus ini merupakan unsur kritikal bagi efektivitas perlindungan masyarakat dari risiko obat dan makanan yang membahayakan kesehatan masyarakat,” pungkasnya.(esy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler