jpnn.com - JAKARTA - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berupaya meningkatkan pengawasan farmakovigilans lewat perencanaan manajemen risiko (PMR).
Kepala BPOM Penny K Lukito mengatakan PMR merupakan dokumen yang dirancang untuk mengidentifikasi, menentukan karakteristik, mencegah, atau meminimalkan risiko obat sebelum diedarkan. Dengan demikian, farmakovigilans bisa diimplementasikan secara efektif pada saat obat beredar.
BACA JUGA: BPOM Diminta Tak Tebang Pilih Soal Regulasi Pelabelan BPA pada Kemasan Galon
"Industri farmasi memiliki kewajiban untuk menyusun dokumen PMR secara holistik yang mencakup proses pengembangan hingga distribusi produk. Dokumen ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen registrasi produk," kata Penny dalam keterangan tertulis, Rabu (20/9).
Penny menjelaskan bahwa penerapan kewajiban penyusunan dokumen PMR dilakukan secara bertahap.
BACA JUGA: 4 Obat yang Dijamin Ampuh Turunkan Asam Lambung dengan Cepat
Berdasarkan data periode Januari-Agustus 2023, persentase penyerahan dokumen PMR baru mencapai 30 persen dari seluruh permohonan registrasi obat baru yang diterima oleh BPOM.
Oleh karena itu, BPOM menggelar workshop PMR selama tiga hari, 19-21 September 2023, di Jakarta. Workshop itu diikuti lebih dari 350 peserta yang terdiri dari pegawai BPOM hingga industri farmasi.
BACA JUGA: K-FOOD Consumer Experience Event 2023 Hadirkan Pengalaman Membuat Makanan Khas Korea
Adapun workshop itu digelar bertujuan untuk memperkuat kapasitas BPOM dan industri farmasi dalam penerapan PMR, termasuk environmental risk assessment (ERA) di tahap registrasi obat.
"Satu persyaratan registrasi yang mensyaratkan adalah dokumen RMP yang di dalamnya terdapat satu aspek yaitu ERA. Mengidentifikasi dari awal kira-kira risiko/dampaknya pada lingkungan, dan apa plan of action-nya agar risiko itu tidak terjadi," ujar Penny. (mcr4/jpnn)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Ryana Aryadita Umasugi