jpnn.com, LONDON - Pembicaraan selama enam pekan itu berujung tanpa hasil. Partai Buruh tetap tak sepakat dengan pemerintah. Mereka bersiap menolak Brexit dalam pemungutan suara di parlemen yang diperkirakan berlangsung awal Juni mendatang.
Padahal, sebelumnya, sangat besar harapan partai yang dipimpin Jeremy Corbyn itu mendukung pemerintah pada akhir diskusi. Dengan begitu, pemungutan suara bisa berlangsung mulus tanpa ganjalan.
BACA JUGA: Inggris Mesra dengan Huawei, AS Ancam Putus
"Diskusi sudah berjalan sejauh yang bisa," bunyi surat Corbyn kepada Perdana Menteri (PM) Inggris Theresa May yang dirilis kemarin, Jumat (17/5).
Dilansir AFP, Corbyn menyatakan, kesenjangan antara Partai Buruh dan Partai Konservatif yang menguasai pemerintahan tidak bisa dijembatani. Selain itu, ada ketakutan bahwa jika memang ada kesepakatan, hal tersebut tidak akan berjalan. Sebab, May sudah menyatakan siap meletakkan jabatannya pasca pemungutan suara Brexit di parlemen pada 3 Juni nanti. Tentunya jika parlemen menyetujui kesepakatan Brexit yang sudah dibahas May dengan Uni Eropa (UE).
BACA JUGA: Pembocor Rapat soal Huawei Terancam Dipidana
Partai Buruh memutuskan hengkang dari pembicaraan lintas partai sehari setelah May menyatakan akan menyusun jadwal pengunduran dirinya. Mereka tak yakin apakah pengganti May nanti menjalankan kesepakatan atau mengingkarinya. Karena itu, daripada bertaruh pada hal yang tidak pasti, mereka lebih memilih keluar dari pembicaraan dan mengambil sikap seperti semula. Yaitu, menolak Brexit dan menginginkan referendum ulang.
BACA JUGA: Lolos dari Pemakzulan, Theresa May Belum Aman
BACA JUGA: Buka Pintu untuk Huawei, Inggris Terancam Diboikot AS
Keputusan Partai Buruh itu tentu membuat May sakit kepala. Anggota parlemen sudah tiga kali menolak kesepakatan May dan Brussel. Mau tak mau, dia akhirnya dua kali meminta agar tanggal Inggris bercerai dari UE alias Brexit diundur. Inggris kini harus ikut terlibat dalam pemilu Eropa. Padahal, jika Brexit berjalan lancar, mereka seharusnya sudah keluar dari UE.
May mencoba melakukan pembicaraan lintas partai dengan Corbyn. Namun, harapannya untuk bisa didukung Partai Buruh gagal total. Versi May, pembicaraan sejatinya berlangsung konstruktif dan ada kemajuan. Namun, Partai Buruh terbelah. Ada yang ingin mendukungnya. Ada pula yang menginginkan referendum kedua digelar. Tujuannya, kembali bertanya kepada penduduk apakah mereka benar-benar ingin keluar dari UE. Saat referendum pertama, banyak penduduk yang tak memberikan hak suara.
"Ada area di mana kami memiliki kesamaan di dalamnya. Tapi, ada masalah-masalah lain yang terbukti lebih sulit (diselesaikan)," ujar May.
Para pengamat politik meyakini bahwa May akan memicu pemungutan suara untuk memilih pemimpin baru Partai Konservatif pasca pemungutan suara di parlemen nanti. Entah itu jika RUU Brexit yang diajukan ditolak atau lolos.
Sosok yang terpilih otomatis menjadi PM untuk menggantikan dirinya. Pemilihan itu bakal berlangsung sebelum konverensi Partai Konservatif pada September mendatang. Mantan Menlu Boris Johnson menyatakan akan ikut dalam pemilihan jika memang ada.
"Sulit melihat dia bakal bertahan lebih dari 2-3 pekan dan peluang rencananya disetujui (parlemen) sudah mendekati nol," ujar Tim Bale, profesor ilmu politik di Queen Mary University, London.
Di tempat terpisah, analis dari University of Surrey Simon Usherwood menegaskan, berakhirnya jabatan May bukan berarti akhir kesepakatan Brexit. PM yang baru nanti diwarisi kesepakatan lama. (sha/c5/sof)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Skotlandia Ingin Merdeka dari Britania Raya
Redaktur & Reporter : Adil