BERSYUKURLAH Indonesia yang punya Lautan Pasir Gunung Bromo. Tempat yang indah dan menakjubkan, dengan deretan gunung, pasir hitam dan bukit mirip di film kartun Teletubbies.
Di tempat ini, beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berbincang dengan ratusan warga Tengger di hamparan pasir nan luas tanpa tenda maupun panggung, layaknya acara presiden di tempat-tempat lain. SBY mengunjungi kawasan Tengger, Bromo, dalam rangka membangkitkan industri wisata pasca-erupsi dua tahun lalu.
Sebagaimana disampaikan masyarakat Tengger, ada penurunan kunjungan wisatawan asing dan domestik setelah letusan. Mungkin sebagian masyarakat masih menilai kawasan Bromo belum normal. Nah dengan kunjungan Presiden, diharapkan image Bromo sebagai third best mountain view in the world dapat kembali menarik wisatawan, khususnya dari luar negeri.
Masyarakat Tengger yang bersahaja sangat antusias menyambut kedatangan Presiden SBY. Mereka mengaku dukungan dari pemimpin nasional sangat penting bagi upaya revitalisasi pariwisata kawasan Bromo.
Tulisan ini akan sedikit “menggelitik” pembaca mengenai relasi rakyat dan pemimpinnya, dan kurangnya apresiasi di era press freedom sekarang ini. “Saya dari Situbondo ke Probolinggo, hingga Bromo terus membuka kaca mobil guna menghormati masyarakat yang berjajar di pinggir jalan. Tapi berita-berita yang begini sulit terlihat di tivi dan media kita. Ya tapi itulah realitas era kebebasan sekarang, saya dan kita harus memahami itu,” kata Presiden. Sepanjang pantauan penulis di lapangan, apa yang dikatakan Presiden SBY di atas bukanlah hal berlebihan.
Misalnya, antusiasme masyarakat kawasan Tapal Kuda di Jawa Timur dengan kedatangan SBY yang tak tersentuh media. Padahal, mereka rela berdiri di pinggir jalan hanya untuk melihat wajah Presiden dan Ibu Negara yang berkendara pelan dengan kaca mobil terbuka.
SBY dan Ibu Ani pun membalas kerelaan warga dengan melambaikan tangan dan menyapa. Bahkan beberapa kilometer jelang Hotel Bromo View, Probolinggo, massa menyemut hampir menutup jalan. Sampai 100 meter jelang hotel, kendaraan RI-1 tak bisa bergerak. Paspampres berusaha membuka kerumunan tapi dicegah oleh Presiden.
Ia justru yang turun dan menyalami masyarakat sambil berjalan kaki ke pintu hotel bintang dua di kota seribu taman tersebut. Itulah potret relasi rakyat dan SBY di tahun 2013—satu tahun jelang deadline masa pemerintahan kedua.
Dan itu bukan cerita satu-satunya. Bulan lalu, saat mengikuti kunjungan Presiden SBY ke Karawang, lebih dari 5 kilometer menjelang lokasi acara di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pasir Putih, Karawang, masyarakat dari mulai anak-anak sampai orang tua berjajar di pinggir jalan. Nyaris sulit dipercaya, di tengah "gempuran" isu negatif di media ke SBY, ia masih memiliki daya tarik di mata rakyat.
Ini bisa jadi karena dua hal, pertama, isu-isu tersebut hanya politisasi yang tak terbukti, sehingga persepsi publik terhadap lembaga Kepresidenan tetap positif. Kedua, kemampuan manajemen isu SBY yang baik, sehingga serangan isu dan fitnah yang hampir dua tahun berjalan mampu dipisahkan dari personal SBY.
Itulah yang tampak. Bagaimana masyarakat, yang sebagian bersandal jepit, rela berjajar menyambut Presiden dan Ibu Negara. Oke, anggaplah anak-anak sekolah di Probolinggo, Bromo dan Karawang yang menyambut Presiden dengan antusias itu dikerahkan. Dugaan ini bisa saja, mengingat sekolah memiliki struktur, mulai dari Kepala Sekolah hingga siswa.
Tetapi, saya tidak yakin ibu-ibu dan orang dewasa mau dan bisa dikerahkan. Jumlah mereka bahkan lebih banyak dari anak-anak sekolah. Ada yang berdiri dengan menggendong anaknya di depan rumah, sementara di beberapa pos ronda jumlah lebih banyak terlihat.
Barangkali bukan hal mengejutkan bila antusiasme publik itu terjadi tahun 2004 lalu, saat dimana fenomena SBY baru muncul. Atau tidak pula terlalu istimewa misalnya sambutan meriah itu berlaku bagi Capres yang akan muncul dan menawarkan “harapan”.
Tetapi bila itu terjadi terhadap seorang SBY yang tinggal kurang 1,5 tahun lagi memerintah, bisa jadi publik cukup merasa puas dengan keadaan saat ini. Walaupun tetap harus digarisbawahi, faktanya masih ada kekurangan dan target-target yang belum tercapai. Itu semua juga diakui SBY.
Hanya saja juga terlalu cepat menyimpulkan pemerintahan SBY tidak mencapai apa-apa, bahkan menuju negara gagal. Penilaian semacam ini juga melawan realitas. Fakta yang nyata itu ada di kehidupan masyarakat, di hati rakyat. Mereka yang sesungguhnya paling jujur untuk mengatakan, apakah kehidupannya membaik atau justu lebih buruk delapan tahun ini.
Bila kita menggunakan indikator pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6,23% (2012) dan tingkat kemiskinan 11,6% (2012), maka sejatinya kondisi bangsa ini cukup baik. Terutama pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terbaik kedua di dunia, saat banyak kawasan belum pulih akibat badai krisis ekonomi global.
Kalaupun ukuran-ukuran di atas terlalu abstrak, kita bisa gunakan yang lebih spesifik untuk memotret apakah kelas menengah ke bawah berada pada posisi bergerak dinamis atau stagnan. Kredit Usaha Rakyat (KUR) merupakan instrumen yang bisa kita gunakan untuk melihat dinamika kegiatan ekonomi menengah ke bawah. Sebagaimana data Kementerian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (KUKM), KUR pada 2012 lalu sudah tersalur sebesar Rp 32,6 miliar, melebihi target yang dipatok pemerintah yang sebesar Rp 30 miliar.
Ini menunjukkan sektor ekonomi mikro bergerak dinamis, sekaligus mengindikasikan daya beli masyarakat bawah terus menguat. Kita juga bisa gunakan prediksi Asian Development Bank (ADB) setahun ke depan, dimana Indonesia diperkirakan akan mencapai pertumbuhan tertinggi dalam 15 tahun, sebesar 6,6 persen. Jadi dengan kata lain, tidak benar bila dikatakan bahwa ekonomi kita tengah lesu sekarang ini.
Itulah sepotong persepsi rakyat menengah ke bawah terhadap SBY di kehidupan keseharian.
Lalu bagaimana respon kelas menengah dan kaum terdidik kritis terhadap SBY? Ini bisa dilihat, paling tidak dari respon pengguna internet terhadap akun @SBYudhoyono yang resmi diluncurkan Presiden sebulan lalu. Hingga awal Mei 2013, “pengikut” SBY hampir menembus 2 juta orang. Akun @FaktaKeren mengomentari fenomena SBY ini sebagai sesuatu yang luar biasa. Misalnya kicauannya yang mengatakan, “Tidak pernah ada akun twitter naik 400.000 dalam satu hari. Hanya @SBYudhoyono Presiden kita”.
Akun ini juga membandingkan akun SBY dan Barrack Obama dalam hal kecepatan meningkatnya jumlah follower. Akun @SBYudhoyono hanya memerlukan 4 hari untuk menembus 1 juta follower, melampaui akun PM India, PM Malaysia dan Presiden Filipina.
Dengan kata lain SBY masih populer di mata rakyat, termasuk kelas menengah pengguna internet (komunitas dunia maya). Kelompok ini biasanya mereka yang terdidik, muda dan kritis. Ada banyak alasan orang untuk mem-follow orang lain, utamanya tokoh.
Namun dari semua alasan subyektif tiap orang, benang merahnya adalah soal kesukaan. Tidak mungkin, atau sangat jarang kita mengikuti akun tententu bila tidak tertarik. Ini silogisme sederhana.
Namun demikian, bila antusiasme di level rakyat biasa, sebagaimana yang terlihat di Probolinggo, Bromo dan Karawang serta respon positif kelas menengah di internet seolah tak terlihat, tentu ada yang salah dengan rejim “kebebasan” kita. Apakah memang itu tujuan demokrasi yang kita dorong bersama? (***)
*Penulis adalah Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Publikasi
Di tempat ini, beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berbincang dengan ratusan warga Tengger di hamparan pasir nan luas tanpa tenda maupun panggung, layaknya acara presiden di tempat-tempat lain. SBY mengunjungi kawasan Tengger, Bromo, dalam rangka membangkitkan industri wisata pasca-erupsi dua tahun lalu.
Sebagaimana disampaikan masyarakat Tengger, ada penurunan kunjungan wisatawan asing dan domestik setelah letusan. Mungkin sebagian masyarakat masih menilai kawasan Bromo belum normal. Nah dengan kunjungan Presiden, diharapkan image Bromo sebagai third best mountain view in the world dapat kembali menarik wisatawan, khususnya dari luar negeri.
Masyarakat Tengger yang bersahaja sangat antusias menyambut kedatangan Presiden SBY. Mereka mengaku dukungan dari pemimpin nasional sangat penting bagi upaya revitalisasi pariwisata kawasan Bromo.
Tulisan ini akan sedikit “menggelitik” pembaca mengenai relasi rakyat dan pemimpinnya, dan kurangnya apresiasi di era press freedom sekarang ini. “Saya dari Situbondo ke Probolinggo, hingga Bromo terus membuka kaca mobil guna menghormati masyarakat yang berjajar di pinggir jalan. Tapi berita-berita yang begini sulit terlihat di tivi dan media kita. Ya tapi itulah realitas era kebebasan sekarang, saya dan kita harus memahami itu,” kata Presiden. Sepanjang pantauan penulis di lapangan, apa yang dikatakan Presiden SBY di atas bukanlah hal berlebihan.
Misalnya, antusiasme masyarakat kawasan Tapal Kuda di Jawa Timur dengan kedatangan SBY yang tak tersentuh media. Padahal, mereka rela berdiri di pinggir jalan hanya untuk melihat wajah Presiden dan Ibu Negara yang berkendara pelan dengan kaca mobil terbuka.
SBY dan Ibu Ani pun membalas kerelaan warga dengan melambaikan tangan dan menyapa. Bahkan beberapa kilometer jelang Hotel Bromo View, Probolinggo, massa menyemut hampir menutup jalan. Sampai 100 meter jelang hotel, kendaraan RI-1 tak bisa bergerak. Paspampres berusaha membuka kerumunan tapi dicegah oleh Presiden.
Ia justru yang turun dan menyalami masyarakat sambil berjalan kaki ke pintu hotel bintang dua di kota seribu taman tersebut. Itulah potret relasi rakyat dan SBY di tahun 2013—satu tahun jelang deadline masa pemerintahan kedua.
Dan itu bukan cerita satu-satunya. Bulan lalu, saat mengikuti kunjungan Presiden SBY ke Karawang, lebih dari 5 kilometer menjelang lokasi acara di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pasir Putih, Karawang, masyarakat dari mulai anak-anak sampai orang tua berjajar di pinggir jalan. Nyaris sulit dipercaya, di tengah "gempuran" isu negatif di media ke SBY, ia masih memiliki daya tarik di mata rakyat.
Ini bisa jadi karena dua hal, pertama, isu-isu tersebut hanya politisasi yang tak terbukti, sehingga persepsi publik terhadap lembaga Kepresidenan tetap positif. Kedua, kemampuan manajemen isu SBY yang baik, sehingga serangan isu dan fitnah yang hampir dua tahun berjalan mampu dipisahkan dari personal SBY.
Itulah yang tampak. Bagaimana masyarakat, yang sebagian bersandal jepit, rela berjajar menyambut Presiden dan Ibu Negara. Oke, anggaplah anak-anak sekolah di Probolinggo, Bromo dan Karawang yang menyambut Presiden dengan antusias itu dikerahkan. Dugaan ini bisa saja, mengingat sekolah memiliki struktur, mulai dari Kepala Sekolah hingga siswa.
Tetapi, saya tidak yakin ibu-ibu dan orang dewasa mau dan bisa dikerahkan. Jumlah mereka bahkan lebih banyak dari anak-anak sekolah. Ada yang berdiri dengan menggendong anaknya di depan rumah, sementara di beberapa pos ronda jumlah lebih banyak terlihat.
Barangkali bukan hal mengejutkan bila antusiasme publik itu terjadi tahun 2004 lalu, saat dimana fenomena SBY baru muncul. Atau tidak pula terlalu istimewa misalnya sambutan meriah itu berlaku bagi Capres yang akan muncul dan menawarkan “harapan”.
Tetapi bila itu terjadi terhadap seorang SBY yang tinggal kurang 1,5 tahun lagi memerintah, bisa jadi publik cukup merasa puas dengan keadaan saat ini. Walaupun tetap harus digarisbawahi, faktanya masih ada kekurangan dan target-target yang belum tercapai. Itu semua juga diakui SBY.
Hanya saja juga terlalu cepat menyimpulkan pemerintahan SBY tidak mencapai apa-apa, bahkan menuju negara gagal. Penilaian semacam ini juga melawan realitas. Fakta yang nyata itu ada di kehidupan masyarakat, di hati rakyat. Mereka yang sesungguhnya paling jujur untuk mengatakan, apakah kehidupannya membaik atau justu lebih buruk delapan tahun ini.
Bila kita menggunakan indikator pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6,23% (2012) dan tingkat kemiskinan 11,6% (2012), maka sejatinya kondisi bangsa ini cukup baik. Terutama pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terbaik kedua di dunia, saat banyak kawasan belum pulih akibat badai krisis ekonomi global.
Kalaupun ukuran-ukuran di atas terlalu abstrak, kita bisa gunakan yang lebih spesifik untuk memotret apakah kelas menengah ke bawah berada pada posisi bergerak dinamis atau stagnan. Kredit Usaha Rakyat (KUR) merupakan instrumen yang bisa kita gunakan untuk melihat dinamika kegiatan ekonomi menengah ke bawah. Sebagaimana data Kementerian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (KUKM), KUR pada 2012 lalu sudah tersalur sebesar Rp 32,6 miliar, melebihi target yang dipatok pemerintah yang sebesar Rp 30 miliar.
Ini menunjukkan sektor ekonomi mikro bergerak dinamis, sekaligus mengindikasikan daya beli masyarakat bawah terus menguat. Kita juga bisa gunakan prediksi Asian Development Bank (ADB) setahun ke depan, dimana Indonesia diperkirakan akan mencapai pertumbuhan tertinggi dalam 15 tahun, sebesar 6,6 persen. Jadi dengan kata lain, tidak benar bila dikatakan bahwa ekonomi kita tengah lesu sekarang ini.
Itulah sepotong persepsi rakyat menengah ke bawah terhadap SBY di kehidupan keseharian.
Lalu bagaimana respon kelas menengah dan kaum terdidik kritis terhadap SBY? Ini bisa dilihat, paling tidak dari respon pengguna internet terhadap akun @SBYudhoyono yang resmi diluncurkan Presiden sebulan lalu. Hingga awal Mei 2013, “pengikut” SBY hampir menembus 2 juta orang. Akun @FaktaKeren mengomentari fenomena SBY ini sebagai sesuatu yang luar biasa. Misalnya kicauannya yang mengatakan, “Tidak pernah ada akun twitter naik 400.000 dalam satu hari. Hanya @SBYudhoyono Presiden kita”.
Akun ini juga membandingkan akun SBY dan Barrack Obama dalam hal kecepatan meningkatnya jumlah follower. Akun @SBYudhoyono hanya memerlukan 4 hari untuk menembus 1 juta follower, melampaui akun PM India, PM Malaysia dan Presiden Filipina.
Dengan kata lain SBY masih populer di mata rakyat, termasuk kelas menengah pengguna internet (komunitas dunia maya). Kelompok ini biasanya mereka yang terdidik, muda dan kritis. Ada banyak alasan orang untuk mem-follow orang lain, utamanya tokoh.
Namun dari semua alasan subyektif tiap orang, benang merahnya adalah soal kesukaan. Tidak mungkin, atau sangat jarang kita mengikuti akun tententu bila tidak tertarik. Ini silogisme sederhana.
Namun demikian, bila antusiasme di level rakyat biasa, sebagaimana yang terlihat di Probolinggo, Bromo dan Karawang serta respon positif kelas menengah di internet seolah tak terlihat, tentu ada yang salah dengan rejim “kebebasan” kita. Apakah memang itu tujuan demokrasi yang kita dorong bersama? (***)
*Penulis adalah Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Publikasi
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kapolri Janji Selidiki Oknum Polisi Beking Pabrik Panci
Redaktur : Tim Redaksi