Brutus

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 16 Juni 2021 – 11:55 WIB
Adegan Brutus dan para senator Roma menghabisi Julius Caesar dalam serial Rome di HBO. Foto: tangkapan layar YouTube/HBO

jpnn.com - Dalam drama Julius Caesar karya William Shakespeare digambarkan pemberontakan oleh orang sekitar istana.

Julius Caesar terbunuh oleh pengkhianatan orang-orang terdekatnya.

BACA JUGA: Megawati Terima Gelar Profesor Kehormatan, Begini Respons Jokowi

Caesar tidak menyangka sahabatnya ikut dalam komplotan konspirasi para senator dan menikamnya dari belakang.

Pada 44 Sebelum Masehi, Caesar sebagai penguasa Republik Romawi ditikam hingga tewas oleh sejumlah senator.

BACA JUGA: Ganjar Bisa Bernasib Sama dengan Jokowi, Pengamat: Asalkan..

Komplotan itu melibatkan Marcus Junius Brutus yang juga sahabat Caesar, Gaius Cassius Longinus, Decimus Junius Brutus, dan beberapa senator Romawi.

Rencana itu bermula dari ketakutan para senator terhadap Julius Caesar yang makin berkuasa.

BACA JUGA: Teh Botol

Brutus, yang sebelumnya pernah dimaafkan Julius Caesar, dibujuk oleh para senator untuk menggulingkan junjungannya.

Hari kematian Julius Caesar ditentukan ketika ia menerima undangan Senat.

Istri Julius Caesar, Calpurnia, sempat melarang Julius Caesar. Toh, Julius Caesar tetap menerima undangan Senat.

Brutus bersama anggota Senat menikam Julius Caesar puluhan kali. Kemudian jasad Julius Caesar dibakar.

Sejak itu Brutus dijadikan simbol untuk para pengkhianat politik dan konspirator yang berupaya menggulingkan teman atau pemimpin sendiri.

Dalam berbagai cerita sejarah politik dunia selalu ada Brutus.

Pun dalam sejarah politik Indonesia, banyak Brutus bermunculan datang dan pergi.

Siapa yang menjadi Brutus dan siapa yang menjadi Caesar?

Beberapa waktu terakhir muncul spekulasi bahwa telah muncul Brutus di sekitar Jokowi.

Orang-orang yang selama ini menjadi kepercayaan presiden ternyata melakukan plot untuk mengkhianatinya.

Ini adalah spekulasi politik yang tidak mudah dibuktikan, tetapi juga tidak mudah diabaikan begitu saja.

Beberapa indikasi menunjukkan bahwa ada upaya-upaya menjadikan Jokowi sebagai Caesar yang bakal terkaget-kaget ketika meregang nyawa ditikam oleh Brutus. Jokowi sebagai Caesar akan menjadi korban Brutus.

Namun, apa tidak mungkin ada skenario lain yang menjadikan Jokowi berperan sebagai Brutus? Lantas, siapa yang menjadi Julius Caesar?

Ada lagi spekulasi politik yang beredar beberapa hari terakhir yang mengatakan para petugas partai mulai mbalelo.

Begitu kata para pengamat ketika menyaksikan Presiden Jokowi tidak menghadiri undangan pengukuhan Megawati sebagai profesor di Universitas Pertahanan (Unhan).

Alih-alih ke kampus Unhan di Sentul yang tak begitu jauh dari Istana Bogor, Jokowi memilih melakukan kunjungan kerja ke Semarang.

Tentu saja dia bertemu dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Mega dikukuhkan sebagai profesor kehormatan oleh Unhan pada Jumat lalu (11/6). Jokowi diundang untuk hadir, tetapi dia hanya mengirim pidato sambutan via video.

Dalam pidato pengukuhan, Mega tidak menyebut nama Jokowi. Dia hanya menyebut nama Menhan Prabowo Subianto dan Mendikbud Nadiem Makarim.

Jokowi dan Ganjar adalah dua petugas partai di PDIP. Jokowi boleh menjadi presiden dan Ganjar menjadi gubernur.

Namun, di mata Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, baik Jokowi maupun Ganjar hanyalah petugas partai yang ditugaskan untuk menjadi presiden dan gubernur.

Oleh karena itu ketika Jokowi si petugas partai tidak datang pada acara yang sangat penting bagi ketua parpolnya, dia telah mengirim sinyal politik yang jelas.

Jokowi mungkin menganggap acara itu tidak penting.

Sebaliknya Jokowi memilih bertemu Ganjar di Semarang. Ini menjadi sinyal bahwa Jokowi lebih memprioritaskan Ganjar ketimbang Mega.

Ini bisa dianggap sebagai sinyal mbalelo, menentang ketua partai. Atau, mungkin, sudah terlihat ada proses "brutuisasi" atau pembrutusan di antara dua kekuatan.

Mega dengan tegas mengatakan, siapa pun yang tidak menjalankan kebijakan partai harus out dari PDIP. Meskipun Mega tidak menyebut nama, tetapi isyarat itu juga menjadi sindiran untuk Ganjar.

Sebagai ketua umum partai, Mega merasa mempunyai kuasa untuk menentukan siapa yang layak ditugaskan mengisi pos-pos eksekutif, mulai dari level kabupaten/kota sampai ke level presiden. Mega ingin menjadi 'the king maker' yang tidak tersaingi.

Akan tetapi, Jokowi punya pikiran lain. Dia juga ingin menjadi the king maker untuk memilih siapa yang menjadi suksesornya.

Oleh karena itu, Jokowi menjadi gerah ketika mulai muncul wacana PDIP berkoalisi dengan Gerindra untuk mengusung Prabowo-Puan pada Pilpres 2024.

Ketika Prabowo bersedia bergabung ke kabinet Jokowi pascapilpres yang panas pada 2019, banyak yang mempertanyakan kompensasi apa saja yang bakal diterima mantan Danjen Kopassus itu sebagai mitra koalisi.

Kompensasi dua pos menteri, yaitu menteri pertahanan dan menteri perikanan dan kelautan, dianggap terlalu murah bagi Prabowo.

Oleh karena itu, muncul spekulasi bahwa Prabowo akan menerima kompensasi yang lebih besar dari sekadar dua pos menteri.

Tidak lama berselang bocorlah informasi bahwa Megawati telah menyepakati 'Perjanjian Batutulis Part II’ yang berisi kesepakatan untuk menduetkan Prabowo Subianto dengan Puan Maharani.

Dengan tawaran yang cukup menggiurkan, wajar jika Prabowo tertarik dan dengan cepat menyambar tawaran itu. Perjanjian Batutulis Part I ditandatangani pada 2009 berisi pernyataan Megawati akan mendukung Prabowo pada Pilpres 2014.

Alih-alih memenuhi janji itu, Mega meninggalkan Prabowo. Putri Proklamator RI Bung Karno itu menandatangani surat rekomendasi yang berisi dukungan PDIP untuk Jokowi.

Kali ini Mega bertekad untuk memenuhi janjinya. Duet Prabowo-Puan akan membuka jalan bagi trah Sukarno untuk kembali memimpin Indonesia, meskipun harus melewati tangga wakil presiden.

Kesepakatan ini tidak memuaskan semua pihak. PDIP adalah partai pemenang dengan elektabilitas yang konsisten di puncak tangga di setiap survei.

Sebagai partai pemenang dan partai penguasa, the ruling party, PDIP seharusnya mengincar kursi RI 1 daripada hanya menjadi ban serep di posisi RI 2.

Kesepakatan itu, mungkin, tidak memuaskan Jokowi karena dia tidak bisa menentukan siapa yang akan menjadi penggantinya.

Sangat penting bagi Jokowi untuk mempunyai pengganti yang bisa dipercaya untuk mengamankan masa pensiunnya setelah lengser.

Tanpa pengamanan politik yang memadai dari presiden mendatang, Jokowi akan menjadi telur di ujung tanduk.

Jokowi juga ingin mengamankan posisi trah politiknya -Gibran di Solo dan Bobby di Medan— yang masih membutuhkan proteksi politik karena political positioning-nya yang masih belum mantap.

Tentu Jokowi ingin memilih suksesornya sendiri. Oleh karena itu, Jokowi mau menjadi the king maker yang bisa memilih the next king sebagai suksesornya.

Di sisi lain Mega juga punya kepentingan yang sama, menjadi the king maker sekaligus mengamankan dan memuluskan jalan trah politiknya.

The show down, perang terbuka, antara Jokowi melawan Mega tidak terhindarkan. Siapa mengkhianati siapa. Siapa yang menjadi Caesar dan siapa yang menjadi Brutus, belum bisa diketahui sekarang.

Baru nanti di akhir episode akan terungkap ketika Caesar meregang nyawa dan baru menyadari bahwa Brutus telah bersekongkol dengan beberapa senator dan menikamnya dari belakang.

Dalam tarikan napas terakhir Caesar yang kaget berkata, "Et tu, Brute?", Bahkan, engkau Brutus? (*)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Jokowi   Megawati   PDI   Cak Abror   Ganjar   Pilpres 2024  

Terpopuler