jpnn.com, JAKARTA - Kepala Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri (BSKDN) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Yusharto Huntoyungo menyampaikan pilkada harus mampu melahirkan pemimpin daerah yang kuat, bersih, dan berintegritas.
Hal itu Yusharto ungkapkan saat BKSDN menggelar rapat evaluasi pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024, di Aula BSKDN pada Rabu, (22/1).
BACA JUGA: Penasihat Hukum Minta Majelis Hakim Soroti Rekomendasi Bawaslu terkait Pilkada Madina
Dia mengatakan, pihaknya telah memetakan isu-isu strategis yang muncul dalam pelaksanaan Pilkada 2024, salah satunya terkait keberadaan calon tunggal di 37 daerah.
Kondisi ini menunjukkan tantangan dalam menciptakan demokrasi yang kompetitif.
BACA JUGA: Sidang Sengketa Pilkada Siak 2024, Ratusan Alat Bukti Siap Menangkis Gugatan Alfedri-Husni di MK
Adapun rapat itu juga digelar untuk menyusun rekomendasi desain Pilkada 2029 yang lebih efektif, efisien, dan demokratis.
"Terdapat 37 daerah dengan calon tunggal. Terbanyak yaitu ada di Provinsi Sumatera Utara dengan enam daerah dengan calon tunggal," ungkap Yusharto.
Selain adanya calon tunggal, isu utama yang dibahas dalam evaluasi adalah masih ditemukannya pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) selama Pilkada 2024.
Yusharto berharap, ke depan penguatan pengawasan dan penegakan aturan untuk mencegah terjadinya pelanggaran serupa dapat terus ditingkatkan.
Selain itu, biaya politik tinggi juga menjadi perhatian utama dalam evaluasi tersebut. Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyoroti kurangnya transparansi dalam pembiayaan kampanye.
Politik biaya tinggi sering kali terjadi di ruang yang tak dapat diketahui, tanpa adanya laporan dana kampanye yang jelas. Ini menjadi tantangan besar untuk menciptakan demokrasi yang lebih sehat dan transparan.
"Tetapi problemnya politik biaya tinggi itu di ruang gelap, kalau kita baca ruang-ruang terangnya laporan dana kampanyenya tidak ada itu politik biaya tinggi. Tidak ada instrumen kuantitatif formal resmi yang bisa menunjukkan itu (politik biaya tinggi)," jelasnya.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan menambahkan pilkada yang ideal harus berlandaskan pada filosofi Pancasila dan UUD 1945, menghormati kekhususan daerah, serta menjamin integritas elektoral.
Menurutnya, pilkada juga harus dilakukan secara kompetitif, aman, dan nyaman. Sebab, kata dia, pilkada yang efisien dan demokratis adalah kunci untuk melahirkan pemimpin daerah yang kuat dan bersih.
"Pemilihan pemimpin harus dilakukan secara free dan fair, secara bebas, jujur, adil. Lalu juga harus aman dan nyaman. Tidak boleh kemudian pemilihan itu menimbulkan korban. Itu harus dihindari," ujarnya.
Di lain pihak, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro menyoroti fenomena "pokoknya menang" yang menciptakan iklim politik yang tidak sehat.
Ia juga menyinggung anomali seperti pilkada melawan "kotak kosong" sebagai salah satu indikasi sistem yang tidak ideal.
Menurutnya, upaya perbaikan harus difokuskan pada memperkuat hukum, menegakkan etika, dan meningkatkan literasi politik masyarakat.
"Ketika kita memaksakan satu sistem yang tidak aplikatif untuk kondisi kita dan tercerabut dari akar kita, maka dampaknya adalah hilangnya etika, bahkan hukum sering kali dilanggar," pungkas Djohermansyah.(mcr10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul