jpnn.com - Terlalu sulit untuk memungkiri betapa para guru honorer selama ini sudah banyak berjasa bagi dunia pendidikan. Dengan gaji minim, mengabdi puluhan tahun di daerah pedalaman, layak kiranya jika mereka menuntut agar pemerintah membuka jalan yang mudah bagi mereka menjadi CPNS.
---
Ayam jantan subuh berkokok. Sabah Noor, guru honor berusia 50 tahun, bangun dari lelap. Usai ibadah, dia kemudian menyiapkan makan untuk suami anak-anaknya yang masih kecil.
Matahari terbit. Sabah Noor masih harus mengurus ini dan itu. Baju sekolah anak-anak. Buku-buku untuk mengajar. Beres-beres sisa makan.
BACA JUGA: Kurang Baik Bagaimana Lagi Presiden Jokowi kepada Honorer?
Matahari mulai naik, suami berangkat kerja naik mobil antar jemput perusahaan. Sementara Sabah menghidupkan motor bebek tuanya, mengantar anak-anak ke sekolah, sekaligus berangkat ke tempat mengajar.
Sudah puluhan tahun guru itu mendidik anak-anak. Tahun 2002 dia diangkat jadi guru honor di SMPN 1 Pulau Laut Barat. Sebelum di sana, Sabah sudah pula menjadi honorer di beberapa sekolah lainnya.
BACA JUGA: Tolak Solusi, Honorer K2: Hanya Satu Kata, Lawaaann..!!!
Puluhan tahun silam, jumlah guru tidak sebanyak sekarang. Meski hanya lulusan SMEA (SMA sederajat), tapi Sabah Noor diminta mengajar oleh sekolah.
Bertahun-tahun mengajar, jadi kebiasaan. Kontribusi Sabah di dunia pendidikan diberikan apresiasi oleh pemerintah daerah. Bertahun silam statusnya diangkat jadi guru honor daerah. Artinya pemerintah resmi mempekerjakannya di dunia pendidikan.
BACA JUGA: MenPAN RB: PPPK juga Mirip PNS, Bedanya di Pensiun Saja
Uang honor dipakai untuk biaya hidup keluarganya. Suami Sabah hanya karyawan biasa di sebuah perusahaan pelabuhan di Pulau Laut Barat, dengan gaji yang juga pas-pasan.
Mendengar tidak ada kuota PNS untuk usia di atas 35 tahun, Sabah mengaku sedih. Bukan semata karena dirinya sendiri. "Masih banyak yang tua yang sudah sarjana, tapi tidak bisa daftar PNS. Saya tahu betul, gaji honor tidak cukup," ujarnya.
Tidak usah katanya diceritakan detail kehidupan guru honor. Semua tahu. Mereka pontang-panting untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kadang harus gali lobang tutup lubang.
Saat kabar tentang penerimaan CPNS, Ehen langsung gembira. Dia merasa inilah peluangnya setelah menunggu selama belasan tahun. Namun harapan pria 36 tahun itu sirna kala akhirnya peerintah memberi batasan usia maksimal bagi pendaftar, tidak boleh lebih dari 35 tahun.
Sudah lebih dari satu dekade sejak tahun 2005 Ehen mengabdikan diri mengajar di Sekolah Dasar Terpencil di Desa Aniyungan Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Kalsel, sekitar 60 kilometer dari ibukota Balangan, Paringin. Sekolah itu terletak di tengah hutan Meratus.
Perjuangan? Tak perlu diragukan, dedikasi Ehen untuk mencerdaskan anak pedalaman Meratus penuh duka. Dia menerima gaji Rp 250 ribu per bulan selama bertahun-tahun.
Jangan kira mengajar di pedalaman gampang. Untuk menuju sekolah saja sudah membutuhkan kekuatan yang tidak sembarang guru mau melakukannya.
Jarak menuju sekolah ini dari pusat Kecamatan Halong hanya 30 menit menggunakan kendaraan bermotor yang sudah dimodifikasi khusus jadi semi trail. Namun jika hujan, tak jarang satu-satunya akses jalan terdekat terputus akibat longsor dan banjir.
Akibatnya para guru harus mengambil jalan mengeliling dengan jarak tempuh lebih jauh. Tak jarang, sesampainya di sekolah, para murid sudah pada pulang.
Untunglah, sejak satu tahun terakhir jalan menuju sekolah sudah dilakukan pengerasan oleh pemerintah daerah.
Kini sebagai tenaga honor daerah, Ehen sudah menerima gaji Rp1,1 juta sejak tahun 2015. Jumlah itu masih jauh dari cukup. Karena itu, Ehen juga bekerja sampingan sebagai penyadap karet.
“Jadi sebelum pergi ke sekolah, menyempatkan diri ke kebun dulu buat menyadap karet jam empat subuh,” ujarnya.
Ehen yang mengajar pelajaran Olahraga merangkap guru kelas ini memang hanya mengantongi ijazah SMA, tetapi ia berharap ada kebijakan khusus dari pemerintah untuk memperhatikan keberlangsungan pendidikan di pedalaman.
Rekan Ehen, Ressa bahkan hanya menerima tak lebih dari Rp500 ribu per bulan. “Pernah menerima gaji dari Rp50 ribu saat tahun-tahun pertama ngajar. Mulai ngajar di sini tahin 2005. Tapi karena kita ikhlas mendidik itu tidak jadi masalah. Sekarang sudah ada tambahan tunjangan dari pemerintah daerah sekitar Rp500 ribu per bulan,” ucapnya.
Namun Ressa sedikit lebih beruntung, karena usianya masih 34 tahun. Kesempatan sarjana pendidikan ini untuk menjadi PNS bisa ia dapatkan melalui tes di jalur umum.
SD Terpencil Aniyungan saat ini memiliki delapan orang guru. Lima guru sudah berstatus PNS, sisanya masih honor yang rata-rata sudah mengabdi sejak tahun 2005 ke bawah.
Muridnya tergolong sedikit yaitu 14 orang. Bahkan ada dua kelas yang hanya diisi satu orang murid. Namun setiap tahunnya selalu ada murid baru yang diterima sekolah.
Lelu Dinata, PNS di SD Terpencil Aniyungan yang sudah mengajar di sana sejak 2002 sangat berharap teman-teman seperjuangannya bisa bernasib yang sama dengannya: diangkat jadi PNS melalui jalur khusus. Seperti tahun 2007.
BACA JUGA: Ketua Komisi X DPR Yakin Ini Bisa Redam Gejolak Honorer K2
Menurut Lelu, selain merupakan warga sekitar, mereka adalah tenaga pendidik yang benar-benar ikhlas mengajar. Berbagi ilmu. Walau dalam segala keterbatasan.
“Selama ini kita pernah beberapa kali dapat tenaga guru PNS dari luar. Baru satu tahun tugas sudah minta pindah ke sekolah lain dengan berbagai alasan. Kalau para honor sekarang diangkat tidak mungkin mereka minta pindah,” tukasnya. (why)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketua Komisi X DPR Yakin Ini Bisa Redam Gejolak Honorer K2
Redaktur & Reporter : Soetomo