Akting istimewa para murid SMPN 1 Mejayan, Madiun, dalam Sepatu Dahlan tidak lepas dari kerja keras Sri Handajati, guru bahasa Indonesia sekaligus guru teater. Mengantarkan anak didiknya bermain dalam film yang tayang di bioskop-bioskop mulai Kamis (10/4) itu, banyak pengalaman mengundang senyum yang dirasakan.
Panji Dwi Anggara, Madiun
Tidak ada lagi bumbu pecel pedas plus rempeyek udang dan perkedel di meja makan Sri Handajati dalam beberapa bulan terakhir. Padahal, itu adalah menu favorit sang suami, Beni Setia. Sebagai ganti, pecel berbungkus daun pisang yang dijual mbok tua ujung gang menjadi menu pembuka hari keluarga itu.
Handa "sapaan Sri Handajati" memang sedang sibuk mengurus keperluan para muridnya yang terlibat dalam pembuatan film Sepatu Dahlan. Dalam sebulan, dia bisa tiga minggu berada di kota lain untuk syuting. Untungnya, suami yang seorang seniman dan penulis itu memahami betul kondisi tersebut.
"Giliran saya sudah di rumah, suami malah melarang untuk banyak beraktivitas. Katanya biar ndak capek. Jadi, ya belum keturutan buatkan pecel lagi," cerita Handa pada Selasa (8/4).
Pada masa mudanya, Handa merupakan aktivis teater yang kerap naik panggung di kota kelahirannya, Surabaya. Menjadi guru PNS tidak mematahkan semangatnya untuk terus aktif dalam dunia seni peran. Hanya, kini dia lebih banyak mengajari akting ketimbang berakting sendiri. Dari situlah jalan murid-muridnya bermain dalam Sepatu Dahlan terbuka.
Tim casting mulanya mencari pemain anak-anak di sekitar Madiun. Beberapa kali datang ke sekolah-sekolah setempat, mereka tidak juga menemukan sosok yang pas. Hingga mereka mendapat rekomendasi untuk menemui Handa yang sudah terkenal sering mengantarkan sekolahnya meraih prestasi berkat teater.
Di antara 62 murid yang ikut casting, 31 anak lolos. Dua di antaranya bahkan mendapat scene lumayan banyak. Yaitu, Sarono Gayuh Wilujeng (berperan sebagai Kadir) dan Putri Ageng Nuraini (Komariah). Akting dua anak itu dipuji banyak orang, termasuk Menteri BUMN Dahlan Iskan, yang menonton pada gala premiere film di Surabaya pada Sabtu (5/4).
"Luar biasa. Saya tidak menyangka anak-anak ini dari Madiun. Akting mereka bagus," puji Dahlan ketika itu.
Handa selalu menemani para muridnya tersebut sejak casting pada November 2013, masa produksi, hingga sesi promosi saat ini. Banyak cerita menarik yang dirasakan ibu tiga anak tersebut. Mulai dikomplain orang tua yang anaknya tidak lolos casting hingga harus merasa deg-degan karena tertinggal pesawat.
Cerita pertama datang ketika syuting film sudah dilakukan. Saat itu ketika mereka baru pulang syuting di Kediri, telepon genggam Handa berbunyi. Belum sempat mengucapkan salam, suara di seberang sudah bernada protes. "Kenapa anak saya tidak lolos" Memangnya tidak bagus?" ungkapnya mengulang percakapan malam itu.
Setelah menenangkan, barulah Handa tahu bahwa yang menelepon tersebut adalah orang tua salah seorang murid yang tidak lolos casting. Mengapa sampai marah begitu" Menurut Handa, ada penyebabnya. "Sejak awal kru meminta saya mencari gadis lugu berambut lurus untuk karakter Komariah," cerita dia.
Komariah adalah salah seorang teman kecil Dahlan. Si anak tersebut mencoba daftar ikut casting. Handa dengan terpaksa menolak. "Maaf Nak, kamu nggak bisa ikut karena tidak sesuai dengan yang diminta. Rambutmu keriting," katanya.
Handa tidak menyadari bahwa ucapannya itu ditanggapi berbeda oleh murid tersebut. Selang dua hari kemudian, si anak itu kembali menghadap Handa. Tapi, kali ini penampilannya sudah beda. Rambut keritingnya hilang. Dia sudah rebonding!
"Saya kaget setengah mati. Lha kok rambutnya jadi lurus begini" Namun, agar tidak mengecewakan, saya tetap ikutkan dia menghadap kru. Tapi, ya ternyata memang tidak cocok. Jadi, ya ndak dipakai," ujar perempuan yang sudah 32 tahun mengabdi sebagai guru itu.
Penolakan atas usaha itulah yang membuat orang tua gadis tersebut sangat kecewa. "Saya jelaskan alasan sebenarnya. Bukan hanya karena rambut. Mereka mengerti sih, meski ya belum seratus persen," ucap Handa.
Kisah kedua terjadi ketika dirinya bersama Gayuh dan Putri berencana berangkat ke Jakarta pada 1 April lalu untuk menghadiri gala premiere.
Diantar Yudi, sopir sekolah, mereka meninggalkan Madiun tepat pukul 6 pagi menuju Bandara Juanda Surabaya. Jadwal pesawat yang akan membawa ketiganya terbang ke Jakarta adalah pukul 12.20. "Biasanya empat jam sudah sampai di Surabaya," ungkapnya.
Namun, cerita tertulis lain. Perjalanan yang semula lancar ternyata tersendat di kawasan Sepanjang, Sidoarjo. Selama lebih dari sejam mobil hanya berjalan merambat. Handa memutuskan untuk menumpang ojek yang mangkal di daerah itu. Dengan mengendarai motor, dia berharap perjalanan bisa lebih cepat.
Jadilah dia menyewa dua ojek. Di motor pertama, Handa bersama Putri, sedangkan ojek satunya ditumpangi Gayuh. "Satu ojek saya bayar seratus ribu. Pokoknya harus cepat," ungkapnya.
Sayangnya, meski tukang ojek sudah gas pol, ternyata kemacetan karena kampanye itu sulit ditembus. Ujung-ujungnya, mereka tertinggal pesawat.
"Padahal, sesampai di bandara, kami sudah lari ke sana-kemari," kata ibu Lazuardi, Khaira, dan Fortunella tersebut. "Melihat muka sedih anak-anak, saya nangis. Nggak tega," imbuhnya.
Tertinggal pemutaran perdana, mereka ternyata juga nyaris gagal menyaksikan premiere kedua di Surabaya (5/4). Dalam undangan yang dikirim, mereka diminta datang pukul 08.00. Tidak ingin kembali dihadang kemacetan, Handa memutuskan untuk berangkat pagi buta, sekitar pukul 03.00.
Mereka memang tidak terlambat. Bahkan, pukul 06.15 sudah tiba di depan Tunjungan Plaza, tempat penayangan film tersebut. Namun, karena tidak terbiasa dengan mal, melihat pintu belum dibuka, mereka hanya duduk menunggu di mobil.
"Setiap setengah jam saya lihat pintunya juga belum dibuka-buka. Ya sudah, kembali lagi ke mobil," ungkap Handa.
Padahal, pukul 08.00, acara sudah dimulai. Undangan yang datang tinggal bilang kepada petugas sekuriti mal bahwa mereka akan menghadiri acara nonton bareng di XXI setempat. Pintu pasti dibuka dan diarahkan menuju lokasi. Handa sempat curiga saat itu karena melihat beberapa orang berhasil masuk. Namun, dia enggan bertanya.
Akhirnya, ketika jam operasi mal dimulai, tepatnya pukul 10.00, mereka bertiga masuk menuju bioskop. Sesampai di sana, Handa heran karena menemukan lobi bioskop yang lengang.
"Setelah tanya sama petugas, saya diberi tahu bahwa semua sedang nonton. Setelah masuk bioskop, film sudah berjalan separo," cerita Handa lalu tersenyum simpul.
Ada suka, ada duka. Namun, Handa menganggap terlibat dalam Sepatu Dahlan merupakan pencapaian terbesarnya sebagai guru teater. Apalagi Gayuh dan Putri selalu menghibur lewat celotehan. Handa berusaha menunjukkan betapa cairnya hubungan guru-murid itu.
"Yuh, kamu naksir Putri ndak" Dia lho manis," tanya Handa kepada Gayuh.
"Kalau naksir sih ndak. Kami kan sudah berteman sejak SD," jawab Gayuh.
"Tapi, Putri cantik kan?" ujar Handa mengejar. "Iya, kalau cantik memang cantik. Tapi..." ungkap Gayuh.
"Tapi apa Yuh?"
"Hehehe... tapi mukanya berminyak," ujar Gayuh yang langsung mengundang tawa.
"Gayuh itu ya begini. Kalau sudah ngomong, memang lucu. Belum lagi kalau sudah menasihati orang, wah seperti kakek-kakek. Mereka inilah yang selalu menghibur," ungkap Handa.
Bukan hanya Handa yang mempunyai cerita seru. Produser Eksekutif Thamrin Anwar juga memiliki kisah apik. Belum pernah sekali pun bertemu Dahlan, dia sudah rela mengucurkan miliaran rupiah untuk produksi. Untung atau rugi tidak jadi masalah. Yang penting bagi dia, masa kecil idolanya tersebut bisa menginspirasi keluarga Indonesia. (bersambung/c5/ayi)
BACA JUGA: Gayuh Gagal Bawa Singkong Rebus ke Jakarta
BACA ARTIKEL LAINNYA... Senang Bisa Temukan Jejak Keluarga Tentara Sekutu
Redaktur : Tim Redaksi