Gayuh Gagal Bawa Singkong Rebus ke Jakarta

Jumat, 11 April 2014 – 05:04 WIB
Menteri BUMN Dahlan Iskan (kiri) bersama Istrinya Nafsiah Sabri saat menghadiri pemutaran perdana film Sepatu Dahlan di XXI Epicetrum, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (1/4). Foto: Ricardo/JPNN

Mulai Kamis (10/4) film Sepatu Dahlan tayang di bioskop-bioskop seluruh Indonesia. Diangkat berdasar kisah nyata masa kecil Menteri BUMN Dahlan Iskan, film tersebut menginspirasi bahwa kemiskinan bukan halangan menuju sukses. Salah seorang bintang yang menarik perhatian adalah pendatang baru Sarono Gayuh Wilujeng. Bocah ndeso dengan tawa khas yang melumerkan hati itu berperan sebagai Kadir, teman dekat Dahlan.
 
PANJI DWI ANGGARA, Madiun
 
Gayuh kaget. Baru saja menyelesaikan soal nomor dua mata pelajaran bahasa Indonesia dalam ujian akhir semester (UAS) awal Desember 2013, tiba-tiba Wakil Kepala Sekolah Bambang Agus Pramunto masuk ke kelas dan mengajaknya keluar.
 
"Saya sudah telepon dan minta izin orang tua kamu. Sekarang balik ke kelas dan ambil buku serta tas kamu. Kita ke Kediri," ujar Gayuh menirukan perintah gurunya itu.
 
Di mobil, siswa kelas satu SMPN 1 Mejayan, Madiun, itu baru mengerti mengapa dirinya diajak ke Kediri. Pram "sapaan Bambang Agus Pramunto" menyatakan bahwa Gayuh lolos seleksi casting film tentang masa kecil Menteri BUMN Dahlan Iskan itu. Hari itu syuting akan dilakukan di Kediri. Gayuh diplot menjadi Kadir, teman masa kecil Dahlan di Madrasah Tsanawiyah Pesantren Sabilil Muttaqien, Takeran, Magetan.
 
"Tapi, ujian saya gimana, Pak?" tanya Gayuh saat itu kepada Pram.
 
"Tenang saja. Saya sudah minta izin kepada Pak Hendro (Kepala SMPN 1 Mejayan, Madiun, Hendro Suwondo, Red). Kamu minggu depan ulangan susulan. Ini mimpi kamu kan, Nak?" ujar Pram menenangkan.
 
Jadilah, selama perjalanan dari Mejayan, sebuah kecamatan di Kabupaten Madiun, ke Kediri, hati Gayuh bungah tak keruan. "Saya senang sekali melihat dia tersenyum saat itu. Sebab, beberapa hari sebelumnya, dia merengut terus," ungkap Pram yang ditemui di sekolah pada Selasa siang lalu (8/4).
 
Gayuh memang sempat sedih. Teman-teman yang ikut casting bersama dirinya mulai dipanggil untuk syuting. Sementara itu, Gayuh yang merasa sudah all-out dan lolos sampai beberapa tahap casting tidak juga dipanggil. Karena itu, undangan syuting mendadak film berdasar novel karya Krishna Pabichara tersebut bagaikan mimpi yang jadi kenyataan.
 
Selain Pram, dalam wawancara Selasa siang itu, guru teater sekaligus bahasa Indonesia Sri Handajati dan Kasek Hendro Suwondo turut menemani. Tiga orang itulah yang berada di balik layar keberhasilan anak-anak SMPN 1 Mejayan membintangi film garapan Sutradara Terbaik FFI 2010 Benny Setiawan tersebut.
 
Selain Gayuh, siswa SMPN 1 Mejayan yang lolos casting di antaranya Putri Ageng Nuraini yang berperan sebagai Komariah dan Hitnas Oris Eka sebagai Zainal, keduanya juga teman sekolah Dahlan (diperankan Osa Aji Santosa).  Sekolah di pinggiran Madiun itu juga meloloskan 28 siswa lainnya sebagai pemeran figuran.
 
Yang menarik, kata Handa, panggilan Sri Handajati, sebenarnya Gayuh tidak lolos casting. Tim produksi film inspiratif itu sudah memiliki calon pemeran Kadir dari Jogjakarta. Namun, saat hari H, anak itu ngambek, tidak mau menjalani proses pengambilan gambar.
 
"Saya yang sedang di lokasi (syuting) menemani anak-anak yang lain didatangi kru. Saya diminta memanggil Gayuh. Tapi, saya minta jaminan kalau Gayuh memang benar-benar ikut syuting," cerita Handa.
 
Permintaan tersebut bukan tanpa alasan. Setelah lolos beberapa tahap casting, Gayuh menaruh harapan yang sangat besar. Bahkan, karena ingin menghayati peran sebagai Kadir yang dalam cerita pandai memainkan gitar, bungsu empat bersaudara itu sempat meminta dibelikan gitar kepada sang ayah yang bekerja sebagai buruh tani. "Saya ingin bisa main total," ucap bocah kelahiran Madiun, 15 Mei 2001, tersebut.
 
Bagi keluarga petani, membeli gitar seharga ratusan ribu rupiah tentu bukan perkara mudah. Karena itu, sang ayah, Jaimin, sampai harus lembur menggarap lahan milik tetangga agar bisa mengumpulkan uang dengan cepat.
 
"Itu sebabnya, kalau ternyata dia dipanggil ke Kediri namun tidak jadi syuting, kan saya tidak enak kepada orang tuanya," ungkap Handa.
 
Sesampai di Kediri, tidak butuh waktu lama untuk reading, Gayuh sudah paham apa yang harus dilakukan. Take pertama dilalui dengan mulus tanpa mengulang sekali pun. Barulah para kru yakin akan kemampuan anak yang menekuni ekstrakurikuler (ekskul) teater sejak kelas tiga SD itu. Apalagi kesan lugu dan ndeso Gayuh terlihat benar-benar natural. Tidak heran, hanya dalam waktu singkat, dia berhasil mengambil hati sutradara dan tim film berdurasi 110 menit tersebut.
 
Ketika ditanya scene yang paling sulit, Gayuh mengaku tidak ada yang sulit. Hampir semua dilalui dengan lancar. "Saat syuting, semua menyenangkan. Apalagi pas ambil gambar di ladang tebu," ungkapnya dengan ekspresi lucu.
 
Menyebut ladang tebu, tiba-tiba Handa tertawa. "Gayuh lah yang ngajari anak-anak dan asisten sutradara cara nyuri tebu. Awalnya, akting anak-anak terlihat kaku. Tetapi, setelah Gayuh mencontohkan cara mencuri tebu yang benar, baru kelihatan bagus semua," kata Handa.
 
"Hehehe... iya. Kalau lagi iseng saya sama teman memang sering ambil tebu di dekat rumah," tambah Gayuh.
 
Tidak hanya sukses mengajari cara mencuri tebu, penyuka nasi goreng tersebut mampu melahirkan trademark gaya tawa lucu yang sangat khas. Mereka yang menonton film ini pasti terpingkal-pingkal melihat dan mendengar tawa Kadir yang superlucu.
                     ***
 Gayuh memang anak desa. Dia tinggal bersama orang tuanya di Dusun Kedung Dawung, Desa Wonorejo, Caruban. Letak dusunnya cukup "terpencil". Jalan menuju rumah Gayuh juga "angker".
 
Jalan tersebut tidak terlalu lebar. Kurang dari 3,5 meter. Jika ada mobil yang berpapasan, salah satunya harus mengalah dengan menepi sedikit ke bahu jalan. Kendaraan sudah tentu tidak bisa dipacu dengan cepat. Jalan aspal dan makadam silih berganti menyapa setiap pengendara.
 
Bagi yang belum terbiasa, melewati jalan itu cukup menguji nyali. Baru masuk 100 meter dari Jalan Raya Caruban, Madiun"Surabaya, di sisi kiri langsung disambut pemakaman Islam. Kira-kira 500 meter kemudian giliran makam Tionghoa yang terlihat.
 
Tantangan selanjutnya adalah pohon tebu dengan tinggi lebih dari 2 meter yang terhampar luas di kanan dan kiri jalan. Dulu, kalau malam, menurut warga, tempat tersebut jarang dilalui. Selain karena angker dekat makam, sering terjadi tindak kriminal. Baru setelah hampir 4 kilometer berjalan, terlihat rumah-rumah penduduk sederhana yang cukup membuat setiap orang yang lewat merasa lega menemukan tanda-tanda kehidupan.
 
Di permukiman itulah orang tua Gayuh tinggal. Ayah Gayuh, Jaimin, sehari-hari menjadi buruh tani; sedangkan ibunya, Dami, menjadi pedagang kelontong. Di rumah itu ada pula kakak kandung Gayuh  yang menjadi guru SD.
 
Mencari rumah Gayuh terasa mudah sejak dia terlibat dalam pembuatan film Sepatu Dahlan. "Namanya di desa, Mas. Ketika satu hal terjadi pada warganya, pasti dalam hitungan menit sudah tersebar," ungkap Jaimin.
 
Sembari mengelap peluh di wajah, Jaimin yang baru pulang nandur jagung bercerita tentang keberhasilan anaknya bermain film. Sebagai petani yang tidak mengenyam pendidikan tinggi, dirinya pasrah saja saat sekolah meminta izin mengikutsertakan anaknya bermain film. "Kalau itu dirasa baik, ya pasti baik. Wong saya ini ya ndak tahu apa-apa," katanya.
 
Namun, sejak awal Jaimin meminta kepada Gayuh untuk tidak banyak berharap. Hampir setiap selesai salat berjamaah, pria 55 tahun itu selalu menasihati. "Saya minta dia fokus sekolah saja. Meski saya hanya petani, saya pastikan anak-anak tidak perlu nyambi bekerja," ujarnya.
 
Begitu mendapat kabar bahwa Gayuh akhirnya ikut main film, Jaimin merasa sangat senang dan bersyukur. Meski begitu, sampai sekarang Jaimin maupun istrinya, Dami, belum sempat menyaksikan aksi anak ragilnya itu di film yang banyak mendapat pujian dari penonton itu.
 
Kapan berencana menonton" Jaimin dan Dami menjawab tidak tahu. Apalagi, seumur hidup mereka belum pernah masuk ke bioskop. "Saya belum pernah nonton film di bioskop," ujar Jaimin.
 
Sukses Gayuh memerankan Kadir dalam Sepatu Dahlan mendapat apresiasi produser film ibu kota. Remaja itu langsung mendapat tawaran main di tiga film lagi. Namun, orang tuanya berkeberatan. Pasalnya, pembuatan film tersebut tidak berada di bawah bimbingan sekolah seperti Sepatu Dahlan. Apalagi tawaran itu menuntut Gayuh berada di Jakarta dalam waktu lama.
 
Selain aktif di sekolah dengan mengikuti ekskul teater, PMR, serta pramuka, Gayuh rajin di rumah. Setiap sore dengan sarung cokelat favoritnya Gayuh pergi ke masjid yang tidak jauh dari rumah untuk mengaji.
 
Malamnya, bersama ibu serta nenek, Gayuh membantu melayani orang yang belanja di toko kelontong keluarganya. "Kalau libur, dia sering ikut saya ke pasar untuk belanja barang yang akan dijual lagi. Biasanya pukul 2 pagi," ungkap Dami.
 
Apakah Gayuh sering ke sawah juga" Dengan polos Gayuh menjawab kadang. "Kapan" Kok kamu nggak pernah cerita ke aku kalau pernah ke sawah?" protes Putri Ageng Nuraini, teman satu sekolah Gayuh pemeran Komariah.
 
Didesak seperti itu, Gayuh pun menjawab. "Kadang kok. Kan aku jawab kadang. Nah, kadangnya itu ya pas panen aja. Setahun sekali," kata Gayuh yang kemudian disusul tawa iseng.
 
"Kalau gitu bukan kadang, tetapi pernah. Secara bahasa, itu salah Yuh," ujar Putri tetap tidak bisa menerima.
 
Sosok Gayuh memang khas anak-anak yang penuh keceriaan. Menurut teman-temannya, meski pernah membintangi film berskala nasional, dia tetap rendah hati. Justru saking rendah hatinya, dia kadang malu jika digojlok. "Aku tuh paling malas kalau teman-teman ngomong, wah artise rek," kata Gayuh.
 
Prestasi Gayuh di sekolah juga memuaskan. Sejak SD dia sering mewakili sekolah dalam olimpiade sains dan lomba debat. Bukan hanya tingkat kabupaten, tingkat Jawa Timur pun pernah diikuti. Ketika ditanya cita-citanya, pencinta bacaan ensiklopedia itu menjawab ingin menjadi profesor di bidang biologi. "Saya ingin menemukan hal yang bermanfaat bagi banyak orang," tegasnya.
 
Khusus untuk film ini, keinginannya hanya satu. Ingin melakukan promo ke kota yang dilalui pesawat. Pada 1 April lalu, misalnya,  sebenarnya dia dijadwalkan ke Jakarta menghadiri gala premiere film yang juga dibintangi Kinaryosih dan Donny Damara itu. Namun, karena jalan menuju Bandara Juanda Surabaya macet total, dia telat. Pesawat sudah terbang. Gayuh pun tak jadi ke Jakarta.
 
Padahal, untuk pergi ke Jakarta itu Gayuh sudah membawa sangu sekotak singkong rebus bikinan ibunya. "Saya paling nggak bisa nahan lapar. Karena itu, sebelum berangkat, ibu bawain saya singkong rebus. Katanya buat makan di pesawat. Soalnya, makanan di sana pasti mahal," ucapnya lalu tertawa.
 
Masih banyak kisah di balik produksi Sepatu Dahlan yang tak kalah menariknya dibanding dengan filmnya. (bersambung/c5/ayi)

BACA JUGA: Tiga Yatim Piatu yang Tinggal di Pekuburan Mulai Diperhatikan Pemerintah

BACA ARTIKEL LAINNYA... Yatim Piatu, Hamidah dan Dua Adiknya Tinggal di Pekuburan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler