jpnn.com, PATNA - Babia Devi menangis tersedu. Dia tak kuat menahan kesedihan mengetahui bakal kehilangan putri kecilnya, Munni. Bocah berusia 5 tahun tersebut kini dirawat di Shri Krishna Medical College, Distrik Muzaffarpur, Bihar, India, dengan dugaan menderita radang otak akut. Buah leci diduga jadi awal tragedi ini.
''Dokter mengatakan bahwa Munni tidak akan bisa bertahan hidup,'' ujar Devi sesenggukan. Jumat (14/6) Munni baik-baik saja. Tetapi, keesokan harinya badannya panas. Devi langsung membawa putrinya tersebut ke rumah sakit. Tetapi, sejak tiba di rumah sakit hingga kemarin (18/6), Munni tak kunjung membuka mata. Kondisinya tidak membaik sama sekali.
BACA JUGA: Perang Dagang Lagi, India Naikkan Tarif Produk AS
Devi maupun dokter tidak tahu apa yang menyebabkan anaknya tak sadarkan diri. Munni bukan satu-satunya. Ada ratusan anak lainnya di Muzaffarpur yang mengalami hal serupa. Sebanyak 103 anak meninggal karena menderita penyakit acute encephalitis syndrome (AES) alias radang otak akut. Lebih dari 200 anak masih dirawat di rumah sakit.
''Dalam dua hari terakhir, tidak ada anak-anak yang sembuh di rumah sakit ini. Semua meninggal,'' ujar Ruby Khatoon. Putranya, Tamanna, dirawat di Muzzaffarpur Medical College dengan gejala radang otak akut. Khatoon takut putranya yang berusia 4 tahun tersebut menjadi korban meninggal.
BACA JUGA: Demi Selingkuh, Pengusaha India Teror Maskapai Jet Airways
Penduduk dan para orang tua di Muzaffarpur berang. Mereka menuding pemerintah setempat bertindak terlalu lambat dan tak peduli dengan penyakit mematikan yang kini diidap ratusan anak itu.
Mereka kian marah ketika Menteri Kesehatan Bihar Mangal Pandey justru bertanya tentang skor pertandingan kriket India melawan Pakistan kepada para jurnalis saat menggelar siaran pers terkait penyakit (AES) yang kini mewabah.
BACA JUGA: Donald Trump Geram Atas Perlakuan India ke Harley Davidson
Kepala Pemerintahan Bihar Nitihs Kumar bahkan baru kemarin mengunjungi para penderita di Sri Krishna Medical College. Padahal, puluhan kematian terjadi sejak awal Juni. ''Anak-anak sekarat karena kurangnya obat-obatan dan perawatan,'' cuit tokoh oposisi Rabri Devi sebagaimana dikutip AFP.
AES terjadi setiap tahun saat musim panas di Muzaffarpur sejak 1995. Biasanya penyakit tersebut memwabah berbarengan dengan musim panen buah leci. Dalam penelitian yang dirilis pada 2015, sebanyak 390 anak yang sakit diobservasi. Para peneliti menyimpulkan bahwa leci menjadi penyebab kematian mayoritas penderita.
Muzaffarpur adalah distrik miskin. Banyak anak yang makan buah leci dalam kondisi perut kosong. Padahal, buah leci punya zat yang bisa menurunkan dan menghambat produksi glukosa dalam tubuh. Penderita akan merasa pusing, mual, sakit kepala, dan yang paling parah adalah koma hingga tewas.
''Korban mengalami kehilangan gula darah secara tiba-tiba,'' ujar petugas kesehatan Ashok Kumar.
Buah leci tak bisa disalahkan sepenuhnya. Bisa jadi anak-anak tersebut terinfeksi virus atau bakteri saat kondisi tubuhnya lemah. Mayoritas anak-anak yang masuk rumah sakit juga mengalami malanutrisi. Penyebab pasti wabah AES itu masih diselidiki.
Komisi HAM Nasional meminta PM Narendra Modi dan pemerintah Bihar untuk melakukan vaksinasi. Juga membuat program penyuluhan agar insiden serupa tidak berulang setiap tahun. Penanganan cepat secara tepat bisa mencegah kematian.
Media lokal setempat mengungkapkan bahwa pada 2014 tim pakar dari Indo-AS telah menyelamatkan 74 persen anak-anak yang menderita AES. Mereka melakukan intervensi medis sederhana. Sayangnya, hal serupa tidak dilakukan pada tahun-tahun berikutnya. Pemerintah India menyatakan bahwa pihaknya akan membantu Bihar dan keluarga yang terdampak. Namun, tidak dijelaskan bentuk bantuan yang akan diberikan. (sha/c4/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Cuaca Ekstrem Hantam India: Badai di Barat, Kemarau di Timur
Redaktur & Reporter : Adil