Buaya Masih Mengganas, Santri Dilarang ke Sungai

Minggu, 13 Januari 2013 – 13:41 WIB
SAMPIT – Tewasnya Agus Riadi (12), santri Pondok Pesantren (Ponpes) Sabilal Muhtadin di Desa Jaya Karet, Kecamatan Mentaya Hilir Selatan, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), akibat dimangsa buaya, Selasa (8/1) lalu, masih menimbulkan trauma. Pengasuh pondok pesantren itu pun kini melarang santrinya untuk mandi dan mencuci di sungai.

H Maki, salah satu pengajar di Pondok Pesantren Sabilal Muhtadin, menyebutkan, kebijakan melarang santri beraktivitas di sungai sebagai antisipasi agar tragedi jatuhnya korban dimangsa buaya terulang lagi. Apalagi, buaya ganas tersebut hingga saat ini masih berkeliaran di Sungai Mentaya.

“Saya lihat santri kami masih ketakutan. Kami terpaksa melarang mereka untuk turun ke lanting, baik mandi, cuci maupun keperluan lainnya yang berkaitan dengan air sungai,” katanya.

Untuk memenuhi kebutuhan air, pondok pesantren menyiasatinya dengan memaksimalkan peralatan yang ada, seperti membuat pipa saluran air untuk mengisi bak mandi menggunakan pompa air. “Sekarang kita sudah fokus untuk memperbaiki peralatan mandi yakni menggunakan pipa untuk mengambil air di sungai. Tujuannya mengantisipasi supaya santri kami tidak lagi turun ke lanting untuk mandi maupun cuci pakaian,” sambungnya.

Mengenai proses belajar mengajar di Pondok Pesantren Sabilal Muhtadin pasca musibah tewasnya santri mereka, menurut H Maki, hingga saat ini berjalan lancar. “Untuk proses belajar hingga sekarang masih normal. Namun, santri kami masih terlihat trauma. Semoga trauma yang dialami para santri kami itu secepatnya hilang supaya mereka bisa menatap masa depan yang lebih baik lagi,” pungkasnya.

Tidak hanya santri Pondok Pesantren Sabilal Muhtadin, tewasnya santri akibat dimangsa buaya juga membuat masyarakat Desa Jaya Karet Kecamatan Mentaya Hilir Selatan, ketakutan. Mereka kini membatasi aktivitas di sungai dan lebih memilih memaksimalkan pompa air untuk menyedot air.

“Warga Desa Jaya Karet trauma. Mereka tidak berani turun kesungai alasannya, takut karena buaya pemangsa itu masih keliaran di Sungai Mentaya khususnya di sekitar desa kami ini. Saya lihat sekarang warga kami tidak lagi turun ke sungai. Mereka rata-rata menggunakan mesin pompa untuk mengambil air di sungai. Maklum, masih trauma dan lagi buaya pemangsa manusia itu belum dikonservasi atau ditangkap,” ungkap Kepala Desa Jaya Karet, Fauji.

Menurut Fauji, kejadian mengerikan yakni buaya memangsa manusia di kawasan itu bukan pertama kali terjadi di wilayah Kecamatan MHS ini. Sebelumnya insiden serupa terjadi di Bagendang Kecamatan Mentaya Hilir Utara.

“Sudah ada tiga kejadian buaya makan manusia, tapi yang hebohnya di Desa Jaya Karet ini. Sebelumnya masyarakat tetap saja turun ke lanting untuk mandi dan cuci. Sekarang tidak terlihat lagi karena trauma dan takut menjadi mangsa buaya berikutnya,” jelasnya.

Mengenai informasi warga akan menggunakan jasa pawang untuk memanggil buaya pemangsa tersebut, Fauji tidak membantahnya. Hanya, saja pawang yang dimaksud itu tidak bisa hadir karena telah meninggal dunia. “Rencana keluarga korban akan menggunakan jasa pawang dari Tumbang Samba. Ternyata, pawang tersebut sudah lama meninggal dunia. Sekarang sudah ada penggantinya namun belum ada hasilnya,” ceritanya.

Sedangkan mengenai informasi yang beredar dimasyarakat bahwa apabila menemukan buaya pemangsa tersebut akan dibunuh beramai-ramai, Fauji mengaku bingung. Pasalnya, tidak mungkin bisa melarang masyarakat untuk membunuh binatang buas yang telah memakan manusia.

“Informasi yang saya dengar bahwa warga akan membunuh buaya pemangsa itu apabila menemukannya. Secara pribadi saya tidak bisa melarang karena yang bergerak itu warga. Saya mohon kepada aparat untuk ikut memantau situasi selanjutnya,” harapnya. (fin)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Rp10 Miliar untuk Atasi Banjir

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler