jpnn.com, TUNIS - Presiden Tunisia Kais Saied berjanji dirinya tidak akan menjadi diktator, menyusul penangkapan dua anggota parlemen setelah Saied mencabut kekebalan hukum mereka, Jumat (30/7).
Saied juga menolak tuduhan telah melakukan kudeta setelah membekukan pemerintah pekan ini.
BACA JUGA: Ekonomi Remuk Dihantam Pandemi, Pemerintah Tunisia Akhirnya Dibubarkan
Tunisia terjerembab ke dalam krisis politik setelah pada Minggu Presiden Saied memecat perdana menteri (PM) dan membekukan parlemen selama 30 hari.
Akibat tindakannya itu, partai-partai besar Tunisia menuduh Saied melakukan kudeta.
BACA JUGA: Puasa 54 Tahun Berakhir, Tunisia jadi Tim ke-8 yang Tembus Perempat Final Piala Afrika 2019
Dia belum mengambil langkah-langkah penting untuk meyakinkan rakyat Tunisia seperti menunjuk PM sementara dan menyusun peta jalan (roadmap) untuk mengakhiri tindakan-tindakan darurat.
"Saya tahu isi konstitusi dengan sangat baik, menghormatinya dan mengajarkannya, dan setelah semua ini saya tidak akan berubah jadi diktator seperti dikatakan sejumlah orang," kata kantor kepresidenan mengutip Saied, mantan profesor hukum.
BACA JUGA: Jelang Pemilu, Calon Presiden Tunisia Malah Mendekam di Penjara
Tunisia menjadi negara demokrasi sejak revolusi 2011 dan peristiwa politik dalam sepekan terakhir telah meningkatkan kekhawatiran terhadap hak dan kebebasan di negara itu.
Pada Jumat, anggota parlemen dan penulis blog berpengaruh Yassin Ayari ditangkap dan pemerintah mengumumkan investigasi atas dugaan kekerasan yang dilakukan oleh pengunjuk rasa pada Senin yang memprotes langkah Saied.
Peradilan militer mengatakan Ayari telah ditahan berdasarkan keputusan pengadilan tiga tahun lalu dalam kasus pencemaran nama baik tentara.
Saied pada Minggu mencabut kekebalan para anggota parlemen yang membuat mereka bisa ditangkap.
Anggota parlemen lainnya, Maher Zid dari partai Muslim Karama yang konservatif, ditahan pada Jumat malam, menurut pengacaranya.
Zid dipenjara dua tahun pada 2018 karena menyerang pribadi orang di media sosial dan menghina presiden saat itu.
Pada Senin, Ennahda, partai terbesar di parlemen yang berhaluan Islam moderat, melakukan aksi duduk di luar parlemen setelah mereka dikepung tentara.
Ratusan pendukung Ennahda dan Saied terlibat bentrokan, beberapa saling melemparkan batu dan botol.
Peradilan mengatakan mereka telah memulai penyelidikan terhadap empat orang dari Ennahda karena "mencoba melakukan tindak kekerasan" selama aksi protes.
Dari keempat orang itu, seorang di antaranya merupakan anggota dewan partai dan dua lainnya memiliki hubungan dengan pemimpin partai.
Langkah Saied membekukan wewenang eksekutif tampaknya mendapat dukungan luas di Tunisia.
Negara itu selama bertahun-tahun mengalami salah urus, korupsi, kelumpuhan politik dan stagnasi ekonomi.
Kondisi itu diperberat dengan dengan adanya lonjakan kasus COVID-19 tahun ini.
Amerika Serikat pada Jumat mengirimkan 1 juta dosis vaksin Moderna ke Tunisia melalui program COVAX, kata kedutaan besar AS di Tunisia.
Saied pada Jumat memindahkan waktu pemberlakuan jam malam COVID-19 dari pukul 19 ke pukul 22.
Meski mengalami krisis politik, belum ada tanda-tanda kerusuhan terjadi di Tunisia sejak aksi protes di luar parlemen pada Senin.
Washington telah menjadi pendukung vokal demokrasi Tunisia sejak revolusi.
"Kami mendesak Presiden Saied untuk memberi peta jalan yang jelas dan segera mencabut aturan darurat, serta menghentikan pembekuan parlemen," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Jalina Porter pada Jumat. (ant/dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil